Aceh kini telah pulih, atas bantuan-bantuan dari para relawan, pemerintah, juga dari negara-negara di luar sana.
Rujak Aceh
Keluar dari museum, beberapa penjual rujak berjajar di pinggiran. Sepertinya menarik di hari yang terik. Saya membeli tiga cup dengan bumbu yang berbeda, satu di antaranya seperti halnya bumbu rujak pada umumnya. Yang kedua Salak Sunti, bambu rujak yang diberi asam sunti atau belimbing wuluh yang dikeringkan ditambah garam lalu dijemur hingga menghitam.Â
Rasanya begitu asam, biasanya asam sunti juga ditambahkan pada kuah ikan agar lebih segar. Dan terakhir Salak Pliek U, buah salak yang ditaburi bumbu kering dari ampas minyak kelapa serupa blondo/glendo di Jawa.Â
Atjeh Museum
Sebagai pecinta sejarah, rasanya tidak afdal jika tidak singgah ke Museum Aceh. Salah satu museum tertua yang berdiri pada masa Hindia Belanda. Awalnya hanya berdiri bangunan Rumoh Aceh yang terdiri beberapa ruang, berisi tiruan makam-makam raja, senjata tradisional, tungku tempat memasak disertai alat-alat makan.Â
Museum Aceh semakin berkembang, selain ruang pameran tetap, gedung pameran temporer, ada juga perpustakaan. Tersimpan ribuan koleksi arkeologi, manuskrip berbagai bahasa, diorama flora fauna, juga foto raja-raja dan pahlawan. Museum ini menyiratkan perkembangan peradaban dan kekayaan tradisi dan budaya.
Lonceng Cakra Donya, hadiah dari Laksamana Cheng Ho, simbol persahabatan Kesultanan Samudera Pasai dengan Tiongkok. Jejak sejarah kota Aceh juga ditunjukkan dari berbagai macam rempah-rempah yang bisa dijumpai di Lantai 4 Gedung Pameran. Puas sekali menilik sejarah dengan tiket masuk Rp 3.000 saja. Penting untuk tidak berkunjung pada waktu ibadah sholat, museum akan tutup sejenak.