Malam harinya, saya menyempatkan mampir ke salah satu cafe @moordencoffee yang menyuguhkan nirapresso, paduan kopi arabika dengan nira (je jok) dan buah nira (boh jok). Segar dan unik rasanya. Salman yang baik, dipinjamkannya motor pribadinya untuk keliling kota. Dengan senang hati, saya iyakan. Berbekal petunjuk dari Salman, saya mampir ke salah satu pusat oleh-oleh. Membeli beberapa buah tangan untuk orang-orang tersayang. Berbagai tas, dompet, dengan anyaman khasnya, gantungan kunci dan replika senjata tradisional rencong, kupiah meukeutop, dan beragam jenis panganan tersedia. Saya mengambil sebungkus kue karah (keukarah), jajanan khas yang manis dan renyah terbuat dari tepung ketan dan bentuknya menyerupai bongkahan bihun kering.
Hari ketiga mengembara di daerah istimewa, tujuan pertama adalah Museum Tsunami, musem yang dibangun pada tahun 2009 lalu oleh perancang hebat Ridwan Kamil. Menegangkan ketika memasuki lorong dengan jembatan panjang bergoyang, bergemuruh, dan rintikan palsu air hujan, mengingatkan pada bencana besar yang melanda pada Senin pagi, 26 Desember 2006 silam. Sisa puing-puing dan foto korban berjatuhan ditampilkan di sisi-sisi dinding. Tsunami akbar yang melahap hampir seluruh Kota Banda Aceh, begitu menyesakkan. Video rekaman diputarkan, pilu, kesedihan terasa di lubuk hati yang dalam.Â
Ramai pengunjung hari itu, lebih banyak dari negeri seberang. Beberapa mengamati gambaran kota sebelum dan sesudah terjadinya Tsunami. Sebagian memanjatkan doa, pada Sumur Doa (Space of Sorrow) yang di seluruh dindingnya tertulis nama-nama korban.Â
Museum ini didesain tidak hanya untuk mengingatkan, tetapi juga tempat penyelamatan, jika terjadi lagi, bencana yang tidak dapat dielakkan.
Satu gambar yang menarik, tentang smong, yang berarti hempasan gelombang air laut. Masyarakat Simoulue menuturkan cerita smong secara turun temurun. Agar anak cucunya waspada dan sanggup membaca pertanda, ketika gelombang besar terjadi, harap segera menyelamatkan diri berlindung di tempat yang lebih tinggi.Â