Mohon tunggu...
Laeli Nuraj
Laeli Nuraj Mohon Tunggu... Lainnya - Basic Education Research Team

Suka baca, ngopi, jalan pagi, dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Solo Traveling: Melancong ke Tanah Rencong

18 Juli 2024   23:14 Diperbarui: 18 Juli 2024   23:57 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Letaknya yang berada di ujung barat Indonesia, panorama alamnya yang mempesona, dengan segala kejadian akbar yang pernah menimpanya, menjadikan Aceh sebagai daerah yang istimewa. Sudah sejak lama, Pulau Sabang dan Banda Aceh masuk dalam daftar tempat yang akan saya kunjungi. 

Sebelumnya saya merencanakan solo traveling ini pada libur panjang Februari 2024 saat Isra Mi'raj dan Tahun baru Imlek. Lumayan sekali, tidak perlu mengambit cuti. Sayangnya, pilihan transportasi dan penginapan sudah penuh. Jadi terpaksa harus diundur. Akhirnya, saya memutuskan untuk jalan selepas pemilu, 14-18 Februari 2024, selama 4 malam 3 hari.

Perjalanan dari Medan menuju Banda Aceh ditempuh dengan sleeper bus yang super nyaman. Armadanya masih baru, bersih, disediakan bantal guling, selimut dan air mineral. Tenang, tidak ada musik bising, sehingga penumpang bisa tidur nyenyak selama kurang lebih 10 jam perjalanan. Saya memesan tiket bus di JRG seharga Rp 330.000. Worth it sih dengan fasilitas yang naim dan adminnya sangat membantu.

Terminal Batoh

Masih gelap setibanya di Terminal Batoh, rupanya bus berjalan sedikit lebih capat. Sepi, hanya sebagian penumpang yang tinggal. Termenung, antara bahagia akhirnya sampai juga di Banda Aceh tapi juga takut, rasanya jauh sekali dari kampung halaman di Jawa Tengah sana. Sembari menanti subuh di mushola terminal, saya memikirkan moda transportasi menuju Pelabuhan Ule Lheue. 

Gambar 2. Pak Darma & becak motornya - Dok. Pribadi
Gambar 2. Pak Darma & becak motornya - Dok. Pribadi

Beruntung ada Pak Dharma yang baik, pengemudi becak motor yang menawarkan jasanya untuk mengantar saya ke Pelabuhan Ule Lheue. Saya segera setuju, karena harga yang ditawarkan tidak jauh berbeda dengan ojek online. Selain tidak perlu menunggu, becak motor juga lebih nyaman. Saya bisa menaruh barang bawaan dan duduk manis menikmati keramahan kota Banda Aceh yang sejuk di pagi hari. Sepanjang perjalanan kami berbincang. Pak Dharma banyak bercerita tentang kota Banda Aceh, tentang dirinya yang ternyata pernah tinggal di Bogor beberapa tahun, dan tentunya merekomendasikan destinasi menarik di Pulau Sabang. 

Kurang lebih lima belas menit, kami melalui Museum Tsunami, Masjid Baiturrahman yang begitu megah, dan sampailah di pelabuhan. Tidak berhenti di situ kebaikan Pak Dharma, beliau menunjukkan loket pembelian tiket kapal ferry dan menunggu saya untuk bersih-bersih sejenak. Kami bertukar nomor telepon, Pak Dharma dengan senang hati akan menjemput sekembalinya saya dari Sabang.

Gambar 3. Info dari akun Instagram @wisatasabang
Gambar 3. Info dari akun Instagram @wisatasabang

Saya memilih ferry (bukan kapal capat) karena memang tidak terburu-buru. Meskipun memakan waktu dua hingga tiga jam, tetapi harganya lebih murah hanya Rp 33.000. Kapal penyeberangan tidak terlalu dipenuhi banyak penumpang kala itu. Banyak tempat duduk kosong tersedia untuk melanjutkan tidur, karena badan masih lelah setelah semalam perjalanan. Hingga tidak terasa, hampir tiba di Pelabuhan Labohan. Sepertinya menarik bergeser ke lantai kapal paling atas dan membeli kopi untuk menyegarkan badan. Memandangi luasnya samudera dan riak-riak gelombang air laut yang membuntuti kapal. 

Gambar 4. Foto diri - Dok. pribadi
Gambar 4. Foto diri - Dok. pribadi

Pelabuhan Labohan

Sampai juga kami-para penumpang ferry, di Pelabuhan Labohan. Mendung menyambut, agak khawatir kalau tiba-tiba turun hujan. Tapi dalam hati banyak bersyukur, sejauh ini diberi kemudahan olehNya yang Maha Menjaga. Saya menghubungi pemilik motor yang akan saya sewa. Selama di Sabang saya akan berkeliling menggunakan motor, lantaran transportasi umum sepertinya cukup sulit menjangkau tempat-tempat yang akan saya kunjungi. 

Saya memesan di Pasha Rental. Cukup membayar uang muka Rp 50.000 saja. Sebenarnya, tidak perlu booking dulu jika datang bukan di saat hari libur atau hari besar. Banyak penyewa motor di pelabuhan, mungkin harganya bisa lebih murah jika bisa menawar.

Atas rekomendasi Pak Dharma dan penyewa motor, saya memutuskan untuk menuju ke Pantai Sumur Tiga. Kecantikan lautnya yang banyak dijumpai di sosial media sangat menggoda. Sunyi. Tidak banyak yang melintas sepanjang jalan menuju bagian timur Pulau Weh itu. Pelan-pelan saya mengendarai motor seraya melihat ke kiri dan ke kanan barisan pepohonan. Banyak-banyak menghirup udara segar nan bersih seperti tanpa polusi. 

Di tengah perjalanan, saya menyempatkan diri singgah di SPBU, selain untuk mengisi bahan bakar, juga menumpang mandi. 

Berkali-kali saya mengintip google maps untuk memastikan jalan yang saya lalui benar. Jauh di depan, garis cakrawala terlihat begitu elok. Kawanan sapi di pinggiran jalan tidak luput dari pandangan. Beberapa beriringan menyeberang. 

Pantai Sumur Tiga

Akhirnya, tiba juga. Berkali-kali mengucap syukur dan memuji Sang Pencipta atas keindahan yang begitu menawan. Sepoi-sepoi angin laut yang meniup daun kelapa, menyebabkannya berayun syahdu berirama. Sementara, gradasi warna laut biru muda hingga semakin menua di ujung sana. Teriknya surya, birunya langit yang sedikit berawan membentuk panorama yang begitu sempurna. 

Gambar 5. Pantai Sumur Tiga - Dok. pribadi
Gambar 5. Pantai Sumur Tiga - Dok. pribadi

Seketika lelah perjalanan panjang ini seolah lenyap. Deretan penginapan dan cafe-cafe seakan mengundang untuk disinggahi. Freddies menjadi pilihan karena berada tepat di bibir pantai dan ada salah satu sumur yang banyak menyimpan sejarah. Bangunannya tersusun dari kayu-kayu yang nampak sederhana namun elegan. Tidak peduli dengan panasnya siang itu, saya berkeliling dan mengabadikan banyak momen manis untuk dikenang nantinya. Meskipun tidak menginap di sini, pengunjung boleh berjalan-jalan dan singgah ke restonya. Menyicip beragam kudapan yang tersedia. 

Gambar 6. Freddies - Dok. pribadi
Gambar 6. Freddies - Dok. pribadi

Cukup lama rehat di Freddies sembari memikirkan tujuan selanjutnya.  Jika sesuai rencana, saya akan bermalam di dekat sini. Tapi, saya baru teringat bahwa besok hari Jumat, yang mana segala aktivitas di laut diliburkan. Begitu aturan di sini, unik juga ya. Sudah pasti, rencana diving besok pagi tidak akan mungkin terjadi. Baiklah, saya putuskan untuk diving sore hari ini saja di Iboih. Meskipun itu berarti harus membatalkan penginapan yang sudah saya pesan. Yah, sedikit rugi tapi tidak apa. Begini serunya solo traveling, mau berganti agenda, tidak sesuai rencana, tidak mengapa.

NB: Di kawasan timur Pulau Weh ini banyak berdiri banteng-benteng bersejarah peninggalan Jepang dulu. Jika Sobat Kompas punya waktu lebih bolehlah meniliknya. 

Inilah gambaran rute perjalanan dari Pantai Sumur Tiga menuju Iboih. Tidak terlalu jauh ya sepertinya, tapi agak ngeri-ngeri sedap saat melintas jalanan sepi, yang berkelok, yang mana sebelah kiri tebing dan sisi kanannya jurang. Di saat-saat seperti inilah, kekhawatiran dan pikiran-pikiran buruk datang. Membayangkan berbagai kemungkinan yang menakutkan. Selain fokus, kiranya harus banyak memanjatkan doa-doa. Benar-benar, di jalan yang panjang ini, lama tak kujumpai manusia. 

Gambar 5. Rute Pantai Sumur Tiga - Iboih. Dok. pribadi
Gambar 5. Rute Pantai Sumur Tiga - Iboih. Dok. pribadi

Desa Wisata Iboih

Ketegangan sedikit mengendur, tatkala memasuki Desa Wisata Iboih yang nampak makmur. Senyum melebar semakin tidak sabar. Bergegas menyapa si empunya penginapan dan segera menyimpan barang-barang. Di penginapan Iboih Bungalow saya akan bermalam. Dari berandanya di lantai tiga, Pulau Rubiah nampak jelas tertangkap netra. 

Gambar 6. Pulau Iboih. Dok. pribadi
Gambar 6. Pulau Iboih. Dok. pribadi
Deretan penginapan, kedai-kedai kupi, pedagang penganan, dan para wisatawan meramaikan hari yang semakin sore. Di Iboih Diving Centre saya akan memulai petualangan baru, menyelami bahari Pulau Sabang yang kecantikannya tersohor para pelancong dari penjuru negeri. Untuk penyelam pemula, Iboih Diving Centre mematok harga Rp 600.000 dengan fasilitas full set alat scuba, instruktur, boat menyeberang ke tepian Pulau Rupiah, wetsuit, dan dokumentasi penyelaman selama kurang lebih dua jam.

Gambar 7. Pulau Iboih - Dok. pribadi
Gambar 7. Pulau Iboih - Dok. pribadi

Diving di Pulau Iboih

Bersama Bang Adison, penyelaman perdana saya dimulai. Satu hal yang baru kusadari, rupanya wetsuit dan air tank ini sangat berat. Dua puluh menit sesi materi pengenalan alat-alat, teknik bernafas di bawah segara, antisipasi hal-hal yang mungkin terjadi: seperti diving mask berkabut, tenggorokan kering, air menyusup melalui snorkel, dan sebagainya. Excited, tapi juga nervous. Beruntungnya Bang Adison sabar mengajari. Ditunjukannya bermacam kode dengan gerakan jari untuk berkomunikasi 

Gambar 8. Persiapan Diving - Dok. pribadi
Gambar 8. Persiapan Diving - Dok. pribadi

Sore itu, hanya ada saya dan tiga pengunjung lainnya yang akan menyelam. Maklum hari sudah beranjak senja. Satu meter, dua meter, lama-lama saya pun menikmati penyelaman pertama ini. Bang Adison di depan saya, memimpin dan menunjukkan arah penyelaman. Beragam jenis ikan muncul, memamerkan motif tubuhnya yang tidak teratur. Di depan segerombolan ikan-ikan lain menyambut, seolah tahu kedatangan tamu yang nyalinya cukup ciut. Sesekali nafas ini tak beraturan, panik, tapi Bang Adison menenangkan. 

Arus di bawah semakin deras, manakala penyelaman semakin dalam. Bang Adison menarik saya untuk sedikit lebih cepat. Tiba-tiba, hal tak terduga mengganggu penyelaman. Saya memberikan kode kepada Bang Adison, ketika Bang Adison mempersilakan, barulah saya mempraktikkan. Bukan diving mask yang berkabut, bukan pula tenggorokan kering, tapi dahak membendung di pangkal tenggorokan. Sedikit ragu untuk membuang, tapi jika tidak dilakukan, pasti akan mengganggu pernafasan. Berhasil! Saya berhasil melepas snorkel sebentar untuk membuang dahak yang kurang ajar. 

Lanjut menyelam, Bang Adison membawa saya semakin dalam. Semakin banyak rupa-rupa binatang laut bermunculan. Agak buram memang, lantaran pasir di dasar ikut terbawa derasnya gelombang. Bintang laut terselip di antara terumbu karang, ikan nemo yang selalu dinanti, semacam belut besar yang bersembunyi, dan masih banyak lagi komplotan ikan yang berenang dengan lincah ke sana kemari.

Gambar 9. Bintang Laut - Dok. pribadi
Gambar 9. Bintang Laut - Dok. pribadi

Telinga terasa sakit, tekanan air semakin menekan. Beberapa kali saya memberikan kode kepada Bang Adison. Aman teratasi. Sepertinya dia melihat kesanggupan saya untuk menyelam lebih jauh. Hingga sampailah di sini. 

Gambar 10. Underwater yoga - Dok. pribadi
Gambar 10. Underwater yoga - Dok. pribadi

Berbagai gaya saya coba, tak terlewatkan yoga yang menjadi andalan. Meskipun tidak sejernih hasil foto-foto yang lain, tidak mengapa. Pengalaman menyelam ini sangat menyenangkan. Siapa sangka, saya yang pemula mampu menembus kedalaman Pulau Iboih sejauh 9,1 meter selama 65 menit. Benar-benar terkejut, ketika kembali ke permukaan dan Bang Adison menunjukkan pencapaian tak terduga ini. Terima kasih Bang Adison, lain kali saya akan coba lagi. 

Lelah menyelam, kami kembali ke daratan. Indomie rebus dan kupi aceh sudah menanti. Mari istirahat merebahkan badan agar energi kembali fit dan siap meneruskan misi ke titik Nol Kilometer di ujung Pulau Sabang.

To be continue...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun