Mohon tunggu...
Laeli Nuraj
Laeli Nuraj Mohon Tunggu... Lainnya - Basic Education Research Team

Suka baca, ngopi, jalan pagi, dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Perjalanan Mahal Menuju Baduy Dalam

16 Juli 2024   22:08 Diperbarui: 17 Juli 2024   20:56 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agus menipu kami, hampir jam sembilan, aroma kampung belum juga tercium. Ia menawari untuk bermalam di rumah kebun saja jika lelah. Tidak, kompak kami. Demi Baduy Dalam, kami saling menguatkan. Mulanya melawan setiap licinnya turunan, lama-lama kami memasrahkan diri untuk terpeleset dan tertawa.

Tidak ada lagi kamera. Leuit-leuit (lumbung padi) berjajar mengucap Selamat Datang di Baduy Dalam!
Suara bambu yang dimainkan orang sungguh menenangkan. Kami semakin dekat dengan kampung mereka, Cibeo. 

https://laelinuraj.blogspot.com/2017/01/perjalanan-mahal-menuju-baduy-dalam.html
https://laelinuraj.blogspot.com/2017/01/perjalanan-mahal-menuju-baduy-dalam.html
Lalu, kami menyeberangi sungai, sungai belakang rumah Agus. Kami sampai! Kami sampai! Tapi gelap, tapi sepi. Hening. Agus mencuci kakinya dengan air dalam ruasan bambu-bambu yang disusun rapi di teras rumah panggungnya. Mempersilakan kami masuk dan mengenalkan ayahnya pada kami. Ambunya sedang berada di rumah kebun bersama tiga orang adiknya. Kami membersihkan diri, mengikuti Agus ke dalam rumahnya yang kini terang karena lilin, dan susunan sumbu, minyak, batu, digantung pada bambu. Tikar digelar, bantal-bantal kapuk dalam karung diturunkan. Kami rebahan. Melemaskan otot-otot kami. Sementara Agus, Herman, Sapri, dan Sailin meemaak bekal kam dengan tungku. Beberapa menit kemudian, gelas-gelas bambu sudah siap dengan teh dan kopi. Kami mengaduknya dengan sendok bambu juga.


Kami berbincang dengan Jakri, ayah Agus. Mencari tahu lebih jauh tentang Baduy Dalam. Sambil melihat desain rumahnya yang tersusun dari bambu, kayu, dan daun atap. Semua rumah Baduy Dalam sama. Jakri banyak cerita, tentang pengalamannya ke Jakarta tiga hari tiga malam. Yang benar saja?? Ya benar,  Jakri jalan kaki, tanpa alas. Mengikuti jalur rel kereta, bertanya pada siapapun yang ditemui tentang sebuah alamat. Alamat orang-orang yang pernah mengunjungi rumahnya. Sampai juga di Jakarta. Heran.


Benar-benar penuh integritas. Orang Baduy Dalam berjalan kaki sepanjang hidupnya. Dimanapun. Pernah sekali ada yang kelelahan dalam sebuah perjalanannya menuju ibu kota, ia pulang dengan kereta. Apa yang terjadi? Ia mengakui kesalahannya, ia memutuskan untuk keluar dari Baduy Dalam. Selamanya tidak akan pernah menjadi Baduy Dalam lagi. Budayanya dibudayakan. Dijaganya dengan sangat maksimal. Kantuk kami segera lenyap mendengar pernyataan Jakri sembari menunggu makan malam, bahwasanya orang luar negeri DILARANG masuk ke Baduy Dalam. Yang benar saja? Mereka lebih memilih mencegah kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi yang mungkin akan mengeruhkan kemurnian Baduy Dalam.

Tiba-tiba bau ikan asin. Oh rupanya Agus sedang menggorengnya, saya membantu eh menungguinya. Di samping ada berbagai jenis kain tenun Baduy, berbagai macam gantungan kunci, berbagai jenis gelang dari akar dan serat pohon. Langsung pindah fokus, dilihatnya dan dicobanya.

Jakri kemudian mempersilakan kami untuk makan malam yang terlalu malam. Kami sungkan. Katanya, tamu harus duluan. Baiklah, kami makan bersama dengan daun sebagai wadah nasinya. Enak. Lalu kenyang. Berbincang sebentar, kemudian tidur. Dingin. Sapri, Sailin, dan Herman ikut tidur di rumah Agus.

Rencana semula kami akan turun pada jam tujuh pagi, agar bisa ikut elf yang hanya ada pada jam dua belas siang untuk sampai ke Rangkas Bitung. Lagi-lagi kami malah sibuk memilih dan memilah kain dan gelang untuk buah tangan. Sayang sekali jika pulang dengan tangan kosong. Perjalanan ini terlalu mahal. Tidak sadar, tawar menawar memakan waktu hingga jam sembilan. Kemudian makan pagi diburu secepat mungkin.

Sepakat dengan harga yang pas untuk anak muda, kami pun bersiap. Jakri mengingatkan untuk memberi seikhlasnya pada Jaro Baduy Dalam. Kami tidak sempat mampir ke rumah Jaro, di sana sangat ramai oleh mahasiswa Banten yang sedang melakukan kunjungan. Kami menyempatkan untuk berkeliling sebentar, sebagian bapak-bapak dan anak-anak sedang berkumpul, ronda katanya. Rondanya siang hari.

Lalu kami berpamitan. Turun melalui jalan yang lain, yang katanya harus melalui enam tanjakan dilengkapi turunan. Tapi lebih cepat sampai, katanya. Jalan pulang tiada beda dengan jalan datang, justru lebih curam, lebih bikin ngosngosan. Masih bersama empat sekawan yang tidak pernah luput memberikan perhatian untuk kami. Akhirnya, tiba juga di perbatasan Baduy Dalam dan Baduy Luar yang ditandai pohon kelapa. Akhirnya, lima tanjakan terlampaui. Kami bisa foto lagi. Tidak peduli dengan bau badan yang belum mandi, yang penting kami sangat senang.

Tiga puluh menit lebih cepat dari jalan berangkat. Kami pun tiba di Ciboleger. Sudah dengan jas hujan masing-masing. Sesuai dengan janji kami dengan Ibu Hj. Entik, kami mampir sejenak untuk istirahat dan membersihkan badan. Sempat tergoda untuk bermalam, tapi esoknya harus kembali bekerja. Kami berpamitan. Menuju warung makan. Makan siang perpisahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun