Sebelum naik ke Baduy Luar, kami cek barang bawaan. Jas hujan! Bawalah dari rumah, di sini harganya menjadi lima kali lipat. Selain harga yang nggak kira-kira, kami juga kena isengnya warga setempat untuk membayar administrasi yang entah uang ini masuk ke kantong siapa. Mereka memang iseng, tapi baik. Kami yang menolak tawarannya untuk menggunakan jasa guide seharga empat ratus ribu, dikenalkan dengan warga Baduy Dalam yang sedang ke Baduy Luar. Herman namanya.
Setelannya beda, ia mengenakan baju putih, samping (bawahan), gandongan (tas dari kain), cangklungan (ikat kepala), dan membawa gobang (golok) yang terselip di samping. Begitulah mereka sehari-hari. Kainnya dibuat sendiri, modelnya sama, hitam dan putih saja.
Kemudian kami berkenalan, tanya ini itu tentang Baduy Dalam. Lalu, satu persatu secara bergantian, muncul Agus, Sailin, dan Sapri - teman Herman. Kami mengakrabkan diri.
Perbincangan selama perjalanan sangat seru, ketika tanjakan menyambut, gerimispun membuntuti. Kemudian, terpeleset, terjebak lumpur, kami tertawa. Tepatnya saling menertawakan satu sama lain. Dengan siap dan sigapnya, empat sekawan tersebut mengulurkan tangan. Kami malu, kaki ini benar-benar tak mengenal alam, jauh dari akrab kiranya. Kesal karena terjebak lumpur, kami pun memutuskan untuk menyimpan sepatu. Beralas kaki lebih baik. Bisa merasakan segala macam tekstur tanah yang disajikan oleh-Nya yang Maha mendengar. Mendengar setiap komentarku ketika yang lain sempat terjatuh. Kemudian saya diingatkan dengan terjatuh pula. Nah!!
Beberapa menit berlalu, masih lama dari sampai. Untuk mengobati rasa lelah, kami pun mengabadikan beberapa momen dalam bentuk gambar. Selagi masih di Baduy Luar.
Kalau mau mandi dan cuci, pergilah ke sungai. Cukup. Belajar tentang kecukupan, cukup dengan yang ada di alam, cukup dengan yang diberikan Tuhan, cukup dengan bersyukur. Kami sangat bersyukur dipertemukan dengan empat sekawan ini, yang mana masing-masing dari mereka menjaga kami dengan tulus. Tangannya tak pernah lengah memperhatikan langkah kami. Pekanya terlalu dalam, sebelum aku meminta, mereka sudah bersedia. Apa jadinya tanpa mereka. Mereka yang masih belia, baik hatinya.
Kemudian kami menanyakan usianya, masih belasan. Herman baru akan menginjak delapan belas ketika dijodohkan dengan salah satu perawan Baduy Dalam, Sarah. Ya, pernikahan dini terjadi di sana, orang tua saling menjodohkan putera puterinya. Tiada yang melawan, kalaupun berani, maka beranjaklah dari Baduy Dalam.Â
Adat pernikahannya pun unik, lamaran dilakukan tiga kali yang jaraknya berbulan-bulan. Di mana setiap lamaran, pihak laki-laki akan bekerja untuk pihak perempuan, entah ke ladang, atau apapun. Barulah disahkan oleh Ulun (penghulu alias kepala adat, yang rumahnya tidak boleh dikunjungi pendatang juga warga lokal). Tidak ada ijab qabul, juga janji di depan pendeta, cukup dengan Ulun memberikan beras kepada kedua mempelai dan makan bersama satu kampung. Maka SAH. Karena mereka bukan muslim juga bukan kristiani. Sunda Karawitan, kepercayaannya.
Delapan malam terlewati oleh jarum panjang. Kami masih berjuang di alam. Sesekali berhenti, istirahat di salah satu rumah saudara Herman. Kami disuguhi pisang emas, rasanya nikmat sekali. Sambil menikmati pisang terenak di dunia, kami pun melemaskan otot betis yang membeku kencang, keras.Â