Pendahuluan
Korupsi selalu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya, baik di tingkat global maupun di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi, yang dapat mempengaruhi berbagai sektor kehidupan. Korupsi adalah masalah serius yang bisa mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, menghambat pembangunan sosial, ekonomi, politik, serta merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas. Seiring waktu, tindakan tersebut seolah telah menjadi bagian dari budaya. Korupsi kini menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan negara. Selama ini, korupsi telah menjadi salah satu faktor utama yang merusak tatanan negara dari dalam. Meski sudah berlangsung lama, bukannya berkurang, kasus korupsi justru semakin meningkat, bahkan baru-baru ini publik dikejutkan dengan munculnya berita mengenai beberapa oknum yang bekerja di sektor eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang justru terlibat dalam penyalahgunaan wewenang, penggelapan, pemerasan, dan menerima suap.
Dalam upaya untuk memahami penyebab terjadinya korupsi, banyak ahli yang mengemukakan berbagai teori. Dua di antaranya adalah teori dari Robert Klitgaard dan Jack Bologna. Klitgaard, seorang pakar dalam bidang korupsi, menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena adanya tiga faktor utama, yaitu kesempatan, motif, dan kelemahan dalam pengawasan. Artinya, korupsi muncul ketika seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi, didorong oleh motif pribadi, dan tidak ada sistem pengawasan yang efektif untuk mencegahnya. Di sisi lain, Jack Bologna berfokus pada pentingnya kesadaran moral masyarakat dan penguatan institusi dalam melawan korupsi. Bologna menekankan bahwa untuk memberantas korupsi, perlu ada perubahan dalam pola pikir dan nilai-nilai moral, serta penguatan institusi yang bertanggung jawab dalam pencegahan dan penegakan hukum.
Apa Itu Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna?
- Pendekatan Robert Klitgaard
Robert Klitgaard adalah seorang pakar dalam bidang antikorupsi yang terkenal dengan teorinya yang mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan korupsi. Menurut Klitgaard, korupsi terjadi apabila ada monopoli, diskresi, dan akuntabilitas yang tidak seimbang. Ketiga faktor ini berinteraksi dalam suatu sistem pemerintahan atau organisasi sehingga menciptakan celah untuk korupsi. Secara lebih rinci, Klitgaard mengemukakan rumus untuk memahami penyebab korupsi sebagai berikut:
C = M + D - A
Di mana:
- C adalah korupsi,
- M adalah monopoli (kekuasaan atau kontrol atas sumber daya tertentu),
- D adalah diskresi (kebebasan atau wewenang yang diberikan untuk mengambil keputusan),
- A adalah akuntabilitas (pengawasan dan tanggung jawab).
Konsep ini menegaskan bahwa ketika seseorang atau kelompok memiliki monopoli atas suatu sumber daya atau keputusan tertentu dan diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan tanpa adanya pengawasan atau akuntabilitas, maka peluang terjadinya korupsi semakin besar.
- Pendekatan Jack Bologna
Jack Bologna memberikan pendekatan yang lebih luas dengan menekankan pentingnya faktor struktural dan budaya dalam penyebab korupsi. Menurut Bologna, korupsi tidak hanya terjadi karena adanya faktor individu yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga disebabkan oleh sistem yang mendukungnya. Dalam hal ini, budaya organisasi dan sistem hukum yang lemah berperan besar dalam memfasilitasi praktik-praktik korupsi. Bologna juga menekankan bahwa korupsi seringkali menjadi bagian dari kultur birokrasi yang sudah mapan, yang bisa jadi tidak hanya menguntungkan individu, tetapi juga menjadi bagian dari sistem yang lebih besar dalam menjalankan roda pemerintahan.
Bologna berpendapat bahwa korupsi seringkali dianggap sebagai bagian dari mekanisme birokrasi yang sudah dianggap "normal", dan bahkan diperlukan dalam beberapa konteks untuk memastikan kelancaran administrasi negara. Ini menunjukkan adanya hubungan antara korupsi dan kultur sosial-politik yang mendasarinya.
Mengapa Korupsi Terjadi di Indonesia?
Penyebab korupsi di Indonesia sangat kompleks dan dapat dijelaskan melalui kedua pendekatan di atas. Mengapa korupsi tetap berkembang meskipun banyak upaya pemberantasan yang dilakukan? Jawaban untuk pertanyaan ini dapat dilihat dalam beberapa alasan utama yang mencakup faktor struktural, kelembagaan, dan budaya.
- Monopoli Kekuasaan dan Pengelolaan Sumber Daya Negara
Dalam konteks Indonesia, banyak sektor penting yang dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu. Misalnya, dalam bidang perizinan, tender proyek, atau pengelolaan keuangan negara. Ketika kontrol terhadap sumber daya ini hanya berada di tangan segelintir orang, maka mereka memiliki peluang besar untuk melakukan tindakan korupsi. Monopoli ini, yang dijelaskan oleh Klitgaard, sangat memungkinkan untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam mengambil keputusan yang menguntungkan diri sendiri.
Contoh konkret dari monopoli ini adalah dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang sering kali dimenangkan oleh perusahaan tertentu dengan cara-cara yang tidak transparan. Ketika hanya ada sedikit pesaing dalam tender proyek, peluang untuk terjadinya suap dan kolusi semakin besar.
- Diskresi yang Berlebihan dalam Pengambilan Keputusan
Banyak pegawai negeri atau aparat pemerintah yang memiliki kebebasan untuk membuat keputusan dalam menjalankan tugasnya. Diskresi yang berlebihan ini memungkinkan mereka untuk memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dalam banyak kasus, keputusan yang diambil oleh pejabat publik atau PNS tidak selalu berlandaskan pada prinsip keadilan atau kebutuhan publik, melainkan lebih pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Sebagai contoh, dalam proses perizinan atau penunjukan kontraktor, seringkali terdapat ruang diskresi yang memungkinkan pejabat untuk menerima suap dari pihak swasta agar proyek bisa dilaksanakan. Tanpa adanya pengawasan yang memadai, tindakan ini menjadi mudah dilakukan.
- Kelemahan dalam Akuntabilitas dan Pengawasan
Akuntabilitas dan pengawasan yang lemah di Indonesia juga merupakan salah satu faktor penyebab korupsi. Banyak lembaga yang seharusnya mengawasi jalannya pemerintahan tidak berfungsi dengan baik. Dalam banyak kasus, baik di tingkat lokal maupun pusat, pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara dan keputusan pemerintah sering kali kurang ketat. Hal ini membuka ruang bagi para pejabat publik untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Sistem pengawasan yang lemah ini juga terkait dengan masalah transparansi dalam administrasi pemerintahan. Banyak proses yang berjalan secara tertutup dan tidak jelas, sehingga mempersulit pihak luar untuk mengetahui apakah suatu keputusan atau kebijakan menguntungkan masyarakat atau justru menyalahgunakan kekuasaan.
- Budaya Korupsi dan Sistem yang Mendukung
Korupsi di Indonesia tidak hanya terjadi karena individu yang menyalahgunakan kewenangannya, tetapi juga karena budaya yang mendukungnya. Banyak masyarakat dan pejabat yang melihat korupsi sebagai suatu hal yang wajar atau bahkan diperlukan untuk mendapatkan fasilitas atau keuntungan. Hal ini dipengaruhi oleh budaya patronase dan hubungan personal yang lebih diutamakan daripada sistem yang berbasis pada hukum dan integritas.
Budaya ini dapat ditemukan pada berbagai tingkatan pemerintahan, baik di daerah maupun pusat. Dalam beberapa kasus, pejabat lebih mementingkan loyalitas dan hubungan pribadi daripada prinsip-prinsip profesionalisme dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.
Bagaimana Mengatasi Korupsi di Indonesia?
Untuk mengatasi korupsi di Indonesia, pendekatan yang dilakukan harus mencakup beberapa aspek penting, baik itu dari sisi kebijakan, kelembagaan, maupun budaya.
- Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan transparansi dalam setiap aspek pemerintahan. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan sumber daya negara dapat dipantau oleh publik. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal, serta memastikan bahwa setiap proses administrasi dilaksanakan dengan keterbukaan. Masyarakat juga harus diberikan akses yang lebih luas terhadap informasi yang berkaitan dengan anggaran negara dan keputusan-keputusan penting lainnya.
- Mengurangi Monopoli dan Diskresi dalam Pengambilan Keputusan
Langkah berikutnya adalah mengurangi monopoli dan diskresi dalam pengelolaan sumber daya negara. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkenalkan sistem yang lebih transparan dan adil dalam proses pengadaan barang dan jasa, serta memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh pejabat publik memiliki dasar yang jelas dan akuntabel. Pembentukan lembaga-lembaga pengawas yang independen dan memiliki wewenang yang kuat juga menjadi langkah penting dalam mengurangi peluang untuk melakukan korupsi.
- Reformasi Budaya dan Penguatan Sistem Hukum
Korupsi juga tidak akan hilang jika tidak ada perubahan budaya yang mendasar. Untuk itu, pendidikan anti-korupsi harus dimulai sejak dini di sekolah-sekolah, dan para pejabat publik harus diberikan pelatihan mengenai etika, integritas, dan tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, sistem hukum harus diperkuat agar setiap pelaku korupsi dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya tanpa pandang bulu.
- Pemberantasan Secara Terpadu
Pemberantasan korupsi memerlukan upaya yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga negara, seperti KPK, kejaksaan, kepolisian, serta masyarakat sipil. Selain itu, dukungan politik dari pemerintah juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional.
Dalam  kaitan  dengan  penjelasan  tersebut,  korupsi  terjadi  karena  tindakan  yang  menyalahgunakan  kewenangan  atau  kekuasan  yang  bukan  untuk  kepentingan  bersama  atau  negara,  melainkan  kepentingan  diri  sendiri  atau  kelompok  tertentu. Korupsi menjadi suatu tindakan yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime). Hal tersebut tidak saja karena modus maupun teknik sistematis yang digunakan, melainkan juga akibat yang ditimbulkannya bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam segi ekonomi, politik, sosial-budaya dan bahkan sampai pada kerusakan moral serta mental masyarakat. Pada pembahasan ini akan mengambil contoh dari kasus "Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) : Putusan Pengadilan Negeri Medan"Â
Hasil dari putusan pengadilan negeri medan yaitu
A. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Tindak Pidana Korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Berdasarkan Putusan PN Medan No. 73/Pid.Sus TPK/2018/PN.Mdn
Hakim, dalam menjalankan tugasnya, diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara pidana, termasuk perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dalam setiap putusan yang dijatuhkan, hakim dituntut untuk bertindak secara adil, objektif, dan profesional. Sebagai bagian dari sistem peradilan, hakim harus mempertimbangkan dengan cermat semua fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan sebelum menjatuhkan putusan.
Dalam menjalankan kewenangannya, aspek utama yang harus diperhatikan oleh Majelis Hakim adalah fakta dan peristiwa yang sebenarnya. Fakta-fakta ini menjadi dasar bagi Majelis Hakim dalam menemukan hukum yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, proses pembuktian yang dilakukan selama persidangan memegang peranan penting. Pembuktian dalam persidangan berfungsi untuk menggali kebenaran, dan fakta yang terungkap harus dianalisis secara seksama oleh Majelis Hakim sebelum membuat keputusan.
Setelah pembuktian dilakukan, Majelis Hakim akan menemukan hukum yang relevan dan sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Proses penemuan hukum ini terkait erat dengan penerapan undang-undang yang tepat untuk kasus tersebut. Undang-undang yang digunakan harus sejalan dengan fakta yang ada, serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, penerapan hukum harus dilakukan dengan memperhatikan tiga prinsip utama: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
- Keadilan (gerechtigheid) merujuk pada perlakuan yang setara terhadap hak dan kewajiban setiap individu tanpa kecuali di hadapan hukum. Keadilan dalam konteks ini berarti memberikan hukuman yang sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam penerapan hukum, keadilan harus menjamin bahwa setiap pihak diperlakukan secara adil dan tidak diskriminatif.
- Kepastian Hukum (rechmatigheid) berarti bahwa hukum harus diterapkan dengan tegas dan tepat. Kepastian hukum penting untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, di mana masyarakat akan lebih taat pada peraturan yang berlaku, mengetahui bahwa setiap pelanggaran akan dihadapi dengan konsekuensi yang sesuai. Dalam hal ini, penerapan hukum yang tepat juga akan memberi rasa aman kepada masyarakat, yang percaya bahwa sistem hukum bekerja dengan benar.
- Kemanfaatan (zwechmatigheid) berarti bahwa hukum yang diterapkan harus memberikan manfaat yang jelas dan kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak hanya berfungsi untuk menghukum, tetapi juga untuk memberi efek jera, mengedukasi masyarakat, dan mencegah terjadinya tindak pidana serupa di masa depan. Tanpa manfaat yang jelas, penerapan hukum bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Penerapan ketiga prinsip ini dalam konteks tindak pidana korupsi harus dilakukan secara hati-hati. Seorang hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana korupsi, terlebih yang melibatkan Pegawai Negeri Sipil (PNS), harus mempertimbangkan baik faktor yuridis (yang didasarkan pada bukti-bukti yang sah) maupun faktor non-yuridis (seperti faktor sosial atau psikologis yang mempengaruhi perilaku terdakwa). Dalam perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan PNS, seperti dalam kasus yang tercermin dalam Putusan PN Medan No. 73/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn, pertimbangan hakim sangat penting untuk menegakkan hukum secara adil dan memberi dampak positif bagi masyarakat.
Majelis Hakim dalam perkara ini melakukan serangkaian pertimbangan yang mendalam berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap selama persidangan, termasuk bukti-bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, keterangan saksi, serta keterangan dari terdakwa sendiri. Fakta yang terungkap dalam persidangan menunjukkan bahwa terdakwa, Juliansyah, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima uang yang tidak sesuai dengan biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh negara.
Berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang diajukan, Majelis Hakim memperoleh fakta-fakta hukum yang jelas dan meyakinkan mengenai perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, hakim menilai bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam pasal-pasal yang relevan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, Majelis Hakim memutuskan untuk menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama satu tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00, dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar, akan diganti dengan kurungan.
B. Penerapan Kebijakan Hukum terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan PN Medan No. 73/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn
Kebijakan hukum yang diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus berdasarkan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Setiap pegawai negeri sipil harus diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa kecuali. Jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana, baik itu tindak pidana korupsi atau pelanggaran lainnya, pegawai negeri sipil tersebut harus dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam hal ini, kebijakan hukum terhadap PNS yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi sangat penting untuk menjaga integritas aparatur negara dan memastikan bahwa mereka tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara harus menjadi contoh dalam hal kepatuhan terhadap hukum, dan ketika mereka melanggar hukum, maka mereka harus mendapatkan hukuman yang setimpal.
Dalam perkara yang tercermin dalam Putusan PN Medan No. 73/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn, terdakwa Juliansyah sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi mendapat hukuman yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Keputusan hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun serta denda sebesar Rp. 50.000.000,00 mencerminkan penerapan kebijakan hukum yang adil. Meskipun terdakwa adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, hukum tetap diterapkan tanpa pandang bulu. Hal ini mengirimkan pesan yang jelas bahwa tidak ada pengecualian bagi siapa pun yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Penerapan kebijakan hukum yang adil terhadap Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi juga diatur dalam berbagai peraturan, termasuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, terdapat juga kebijakan dari pemerintah yang mengatur pemberhentian dengan tidak hormat bagi Pegawai Negeri Sipil yang terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 180/6867/SJ Tahun 2018 mengatur tentang penegakan hukum terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melakukan tindak pidana korupsi, yang memberikan dasar hukum untuk pemberhentian PNS yang terlibat korupsi.
Dengan demikian, penerapan kebijakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Pegawai Negeri Sipil, seperti yang terjadi dalam kasus Juliansyah, menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia berkomitmen untuk menegakkan keadilan dan tidak membeda-bedakan status sosial atau profesi seseorang di hadapan hukum. Hukuman yang diberikan kepada terdakwa harus memiliki efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi lainnya, sekaligus memberikan pesan kepada masyarakat bahwa tindak pidana korupsi tidak akan dibiarkan tanpa sanksi yang tegas.
Kesimpulan
Kasus korupsi yang marak terjadi, terutama yang melibatkan pegawai negeri sipil (PNS), dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan teoritis dari Robert Klitgaard dan Jack Bologna. Pendekatan Klitgaard menyatakan bahwa korupsi terjadi ketika ada tiga faktor yang berinteraksi: monopoli, diskresi, dan akuntabilitas. Monopoli mengacu pada konsentrasi kekuasaan yang diberikan kepada individu atau kelompok tertentu, sementara diskresi berarti kebebasan yang terlalu besar dalam mengambil keputusan tanpa pengawasan yang memadai. Akuntabilitas, yang berarti kurangnya transparansi dan tanggung jawab dalam proses pengambilan keputusan, menjadi faktor penting yang mendorong terjadinya korupsi. Dalam konteks Indonesia, terutama di kalangan PNS, sering kali terdapat celah di mana individu atau kelompok tertentu memiliki monopoli atas sumber daya negara dan memiliki kebebasan besar dalam mengambil keputusan. Kurangnya pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan kekuasaan memperburuk situasi ini, sehingga memberikan peluang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
Sementara itu, Jack Bologna menekankan bahwa korupsi juga dipengaruhi oleh faktor struktural dan budaya. Menurutnya, korupsi sering kali berakar pada budaya organisasi atau negara yang memfasilitasi praktik-praktik koruptif, serta sistem hukum yang lemah. Di Indonesia, budaya yang terkadang lebih menekankan loyalitas atau hubungan personal dibandingkan dengan prinsip keadilan dan integritas, turut mendorong terjadinya korupsi. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan celah dalam sistem yang ada membuat korupsi terus berkembang, terutama di kalangan PNS yang memiliki akses besar terhadap sumber daya negara. Praktik-praktik koruptif ini sering kali dianggap sebagai hal yang wajar atau bahkan diperlukan dalam menjalankan tugas di birokrasi.
Keterkaitan kedua pendekatan ini mengungkapkan bahwa korupsi bukan hanya persoalan individu yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga sebuah fenomena yang bersifat sistemik. Faktor struktural, budaya, dan kelemahan dalam pengawasan menjadi penyebab utama mengapa korupsi terus berlanjut. Untuk memberantas korupsi, diperlukan perubahan yang mendalam dalam sistem pemerintahan, baik itu melalui peningkatan transparansi, pengawasan yang lebih ketat, maupun perubahan budaya organisasi yang mendukung integritas dan akuntabilitas. Tanpa perbaikan di berbagai aspek ini, upaya pemberantasan korupsi akan selalu menghadapi hambatan yang serius.
Daftar pustaka
Harefa, N. S. K., Manik, G. K., Marpaung, I. K. Y., & Batubara, S. A. (2020). Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS): Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 73/Pid. Sus-TPK/2018/PN. Mdn. SIGn Jurnal Hukum, 2(1), 30-42.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI