Mohon tunggu...
Laela Ramadhani
Laela Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

43223010182 | S1 Akuntansi | Ekonomi dan Bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

21 November 2024   09:31 Diperbarui: 21 November 2024   09:32 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korupsi juga tidak akan hilang jika tidak ada perubahan budaya yang mendasar. Untuk itu, pendidikan anti-korupsi harus dimulai sejak dini di sekolah-sekolah, dan para pejabat publik harus diberikan pelatihan mengenai etika, integritas, dan tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, sistem hukum harus diperkuat agar setiap pelaku korupsi dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya tanpa pandang bulu.

  1. Pemberantasan Secara Terpadu

Pemberantasan korupsi memerlukan upaya yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga negara, seperti KPK, kejaksaan, kepolisian, serta masyarakat sipil. Selain itu, dukungan politik dari pemerintah juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional.

Dalam  kaitan  dengan  penjelasan  tersebut,  korupsi  terjadi  karena  tindakan  yang  menyalahgunakan   kewenangan   atau   kekuasan   yang   bukan   untuk   kepentingan   bersama  atau  negara,  melainkan  kepentingan  diri  sendiri  atau  kelompok  tertentu. Korupsi menjadi suatu tindakan yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime). Hal tersebut tidak saja karena modus maupun teknik sistematis yang digunakan, melainkan juga akibat yang ditimbulkannya bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam segi ekonomi, politik, sosial-budaya dan bahkan sampai pada kerusakan moral serta mental masyarakat. Pada pembahasan ini akan mengambil contoh dari kasus "Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) : Putusan Pengadilan Negeri Medan" 

Hasil dari putusan pengadilan negeri medan yaitu

A. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Tindak Pidana Korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Berdasarkan Putusan PN Medan No. 73/Pid.Sus TPK/2018/PN.Mdn

Hakim, dalam menjalankan tugasnya, diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara pidana, termasuk perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dalam setiap putusan yang dijatuhkan, hakim dituntut untuk bertindak secara adil, objektif, dan profesional. Sebagai bagian dari sistem peradilan, hakim harus mempertimbangkan dengan cermat semua fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan sebelum menjatuhkan putusan.

Dalam menjalankan kewenangannya, aspek utama yang harus diperhatikan oleh Majelis Hakim adalah fakta dan peristiwa yang sebenarnya. Fakta-fakta ini menjadi dasar bagi Majelis Hakim dalam menemukan hukum yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, proses pembuktian yang dilakukan selama persidangan memegang peranan penting. Pembuktian dalam persidangan berfungsi untuk menggali kebenaran, dan fakta yang terungkap harus dianalisis secara seksama oleh Majelis Hakim sebelum membuat keputusan.

Setelah pembuktian dilakukan, Majelis Hakim akan menemukan hukum yang relevan dan sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Proses penemuan hukum ini terkait erat dengan penerapan undang-undang yang tepat untuk kasus tersebut. Undang-undang yang digunakan harus sejalan dengan fakta yang ada, serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, penerapan hukum harus dilakukan dengan memperhatikan tiga prinsip utama: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

  1. Keadilan (gerechtigheid) merujuk pada perlakuan yang setara terhadap hak dan kewajiban setiap individu tanpa kecuali di hadapan hukum. Keadilan dalam konteks ini berarti memberikan hukuman yang sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam penerapan hukum, keadilan harus menjamin bahwa setiap pihak diperlakukan secara adil dan tidak diskriminatif.
  2. Kepastian Hukum (rechmatigheid) berarti bahwa hukum harus diterapkan dengan tegas dan tepat. Kepastian hukum penting untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, di mana masyarakat akan lebih taat pada peraturan yang berlaku, mengetahui bahwa setiap pelanggaran akan dihadapi dengan konsekuensi yang sesuai. Dalam hal ini, penerapan hukum yang tepat juga akan memberi rasa aman kepada masyarakat, yang percaya bahwa sistem hukum bekerja dengan benar.
  3. Kemanfaatan (zwechmatigheid) berarti bahwa hukum yang diterapkan harus memberikan manfaat yang jelas dan kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak hanya berfungsi untuk menghukum, tetapi juga untuk memberi efek jera, mengedukasi masyarakat, dan mencegah terjadinya tindak pidana serupa di masa depan. Tanpa manfaat yang jelas, penerapan hukum bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Penerapan ketiga prinsip ini dalam konteks tindak pidana korupsi harus dilakukan secara hati-hati. Seorang hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana korupsi, terlebih yang melibatkan Pegawai Negeri Sipil (PNS), harus mempertimbangkan baik faktor yuridis (yang didasarkan pada bukti-bukti yang sah) maupun faktor non-yuridis (seperti faktor sosial atau psikologis yang mempengaruhi perilaku terdakwa). Dalam perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan PNS, seperti dalam kasus yang tercermin dalam Putusan PN Medan No. 73/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn, pertimbangan hakim sangat penting untuk menegakkan hukum secara adil dan memberi dampak positif bagi masyarakat.

Majelis Hakim dalam perkara ini melakukan serangkaian pertimbangan yang mendalam berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap selama persidangan, termasuk bukti-bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, keterangan saksi, serta keterangan dari terdakwa sendiri. Fakta yang terungkap dalam persidangan menunjukkan bahwa terdakwa, Juliansyah, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima uang yang tidak sesuai dengan biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh negara.

Berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang diajukan, Majelis Hakim memperoleh fakta-fakta hukum yang jelas dan meyakinkan mengenai perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, hakim menilai bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam pasal-pasal yang relevan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, Majelis Hakim memutuskan untuk menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama satu tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00, dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar, akan diganti dengan kurungan.

B. Penerapan Kebijakan Hukum terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan PN Medan No. 73/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn

Kebijakan hukum yang diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus berdasarkan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Setiap pegawai negeri sipil harus diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa kecuali. Jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana, baik itu tindak pidana korupsi atau pelanggaran lainnya, pegawai negeri sipil tersebut harus dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun