Mohon tunggu...
Laela Indawati
Laela Indawati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Belajar mempelajari kehidupan, karena hidup harus terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Optimalisasi Informasi Kesehatan pada Kondisi Darurat

31 Agustus 2022   21:37 Diperbarui: 31 Agustus 2022   21:54 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi penyakit virus corona 2019 (COVID-19) merupakan salah satu krisis kesehatan masyarakat terbesar dalam sejarah baru-baru ini, yang telah menyebabkan gangguan besar-besaran dan belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi secara global, dan tantangan komunikasi terbesar untuk berbagi informasi publik. 

Pandemi didefinisikan sebagai '' epidemi yang terjadi di seluruh dunia, atau di wilayah yang sangat luas, melintasi batas-batas internasional dan biasanya mempengaruhi sejumlah besar orang''. 

Dengan kondisi tersebut, penting untuk mengetahui bagaimana mengoptimalisasi kesehatan masyarakat, dan pemanfaatan informasi kesehatan, khususnya pada kondisi darurat.

Penulis melakukan penelusuran jurnal dengan bantuan mesin pencari publish or perish dengan sumber dari Google Scholar, periode tahun 2019-2022 dan didapatkan 44 artikel dari penulis Indonesia. 

Kemudian dengan bantuan vos viewer, dilakukan penelusuran artikel penelitian untuk melihat keterkaitan antar artikel, dan didapatkan hasil bahwa penelitian dengan optimalisasi kehatan ini masih berdiri sendiri, belum ada keterkaitan antar satu penelitian dengan penelitian lainnya. 

Artikel penelitian dengan topik ini meliputi peran ibu, peran kader kesehatan, peran masyarakat, pemanfaatan jaminan kesehatan, pemanfaatan pengobatan tradisional, penerapan protokol kesehatan, kesehatan ibu hamil, media sosial, pemanfaatan big data, sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, pemanfaatan lahan perkarangan untuk mendukung ketahanan pangan, kinerja karyawan, pengelolaan kesehatan mental, dan kebijakan pemerintah.

Dengan adanya pandemi kita banyak belajar bagaimana mengoptimalkan sumber daya yang ada. Namun kita juga tidak boleh lengah dengan jumlah kasus yang mengalami penurunan. 

Dengan terjadinya bencana alam akhir-akhir ini, kita perlu mewaspadai meningkatnya jumlah kasus, karena banyak korban bencana yang berada di pengungsian, hal ini dapat mempengaruhi penyebaran virus. Tidak hanya virus COVID-19, tetapi juga penyakit lain yang dapat melemahkan kekebalan kesehatan masyarakat. Hal ini harus kita perhatikan agar tidak terjadi gelombang pandemi seperti yang pernah terjadi.

Bencana adalah suatu kejadian yang mengganggu kondisi normal keberadaan dan menimbulkan tingkat penderitaan yang melebihi kemampuan penyesuaian masyarakat yang terkena bencana. 

Bencana alam adalah peristiwa bencana dengan asal atmosfer, geologi, dan hidrologi (misalnya, kekeringan, gempa bumi, banjir, angin topan, tanah longsor) yang dapat menyebabkan korban jiwa, kerusakan properti dan gangguan lingkungan sosial.

Wabah penyakit menular dapat berkaitan dengan kerusakan lingkungan, kerusakan ekosistem, cuaca ekstrim, dan perubahan faktor lingkungan lainnya. Faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan radiasi ultraviolet (UV) penting untuk penyebaran berkelanjutan SARS-CoV-2 di seluruh dunia. Selain itu, lingkungan erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat (Wang et al., 2020)

Indonesia terletak pada pertemuan lempeng besar dunia dan beberapa lempeng kecil, yang menjadikan Indonesia sebagai daerah rawan gempa dan tsunami. Dari hasil kajian diketahui bahwa di wilayah Indonesia saat ini telah teridentifikasi 295 sumber gempa sesar aktif di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, Bali dan Nusa Tenggara. Berdasarkan data yang diperoleh dari situs BNPB Indonesia, pada tahun 2021 terdapat 8.426.609 korban menderita dan mengungsi.

Bagaimana dengan kondisi kesehatan para pengungsi, khususnya pada kondisi pandemi covid-19?. Berdasarkan penelusuran jurnal pada sciencedirect dengan rentang periode tahun 2020-2022, didapatkan hasil 426 artikel dengan kata kunci natural disaster and covid 19.

Terdapat banyak artikel menarik terkait topik ini, satu diantaranya ditulis oleh Masashi Sakamoto tahun 2020 yang meneliti tentang bencana dan penyakit menular di Jepang, serta tantangan yang dihadapi. Gempa Besar Hanshin-Awaji yang meletus di Prefektur Hyogo Jepang pada tahun 1995 menyebabkan kerusakan yang signifikan di kota-kota Kobe dan Osaka dan menyebabkan 6434 orang tewas. 

Dari jumlah kematian tersebut, 5512 secara langsung disebabkan oleh gempa bumi, yang disebabkan oleh runtuhnya bangunan yang menyebabkan korban hancur dan mati lemas. 

Dari korban yang tersisa, 922 meninggal karena pneumonia, stroke, dan infark miokard yang disebabkan oleh bencana. Sekitar 60-80% kasus pneumonia pada pengungsi yang lebih tua pada saat gempa dianggap atau didiagnosis sebagai pneumonia aspirasi. 

Sebagian besar kasus pneumonia aspirasi yang terjadi di antara orang tua yang mengalami gangguan sistem kekebalan diyakini disebabkan oleh aspirasi air liur yang kaya akan bakteri mulut karena berkurangnya perawatan mulut selama bencana yang luas. Banyak orang tua tidak dapat mempertahankan praktik kebersihan mulut, seperti berkumur, karena kekurangan air minum yang ekstrem atau karena peningkatan bakteri mulut yang disebabkan oleh pembersihan gigi palsu yang buruk. 

Menurut temuan penelitian, perawatan mulut yang dilakukan secara menyeluruh, sehingga mencegah peningkatan bakteri mulut sekaligus menjaga rongga mulut dan permukaan gigi tiruan tetap bersih, dapat menurunkan insiden pneumonia di kalangan orang tua hingga 40%. 

Influenza dan gastroenteritis menular menyebar di daerah yang terkena bencana karena gempa terjadi selama musim dingin ketika sering terjadi wabah penyakit menular tersebut Di dalam fasilitas medis, alat pelindung diri, seperti disinfektan berbasis alkohol, masker, dan celemek umumnya cukup, tetapi persediaan handuk kertas, sabun cair, wadah untuk limbah medis menular, dan kateter, yang sering digunakan setiap hari, tidak memadai (Sakamoto et al., 2020)

Sekolah ditunjuk sebagai salah satu pusat evakuasi selama bencana, dan dalam beberapa kasus, tidak mungkin untuk mengamankan ruang untuk mengisolasi individu dengan penyakit menular. 

Dalam kasus pandemi COVID-19, mengamankan ruang untuk isolasi sangat penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Secara umum, daerah yang akan ditempati oleh pengungsi dihitung dengan menggunakan standar 1,57-2,93 meter persegi per orang di Jepang, standar "kriteria Sphere" internasional, yang memberikan beberapa pedoman tentang sanitasi dan pemeliharaan lingkungan hidup pusat-pusat evakuasi, menetapkan luas minimal 3,5 meter persegi per pengungsi. 

Dikombinasikan dengan jarak sosial 2 m, total area yang dibutuhkan per orang akan menjadi 6 meter persegi sesuai dengan standar internasional. Dengan demikian, jumlah orang yang dapat ditampung di tempat penampungan akan berkurang dari sepertiga menjadi seperempat dari kondisi normal (Sakamoto et al., 2020)

Dalam kasus penyakit menular, seperti gastroenteritis menular, transmisi kontak tergantung pada lingkungan pusat evakuasi, sedangkan dalam kasus COVID-19, yang dianggap sebagai infeksi yang ditularkan melalui kontak dan droplet, penyakit dapat menyebar dengan cepat dari orang yang terinfeksi. 

Dalam konteks COVID-19, karena gejala subjektif mungkin sulit untuk diidentifikasi, seseorang mungkin secara tidak sadar menularkan infeksi ke orang lain yang menyebabkan penyebaran yang cepat. 

Oleh karena itu, sangat penting bahwa surveilans dilakukan segera setelah terjadinya bencana dan urutan tindakan yang ditetapkan segera dimulai, seperti isolasi segera dalam kasus individu yang bergejala. Untuk mencegah penyebaran infeksi jika ada individu yang bergejala, pengungsi harus menerapkan manajemen kesehatan sendiri, menggunakan lembar pemeriksaan kesehatan dan alat lain yang relevan, dan mereka harus mencatat nama kontak mereka.

Dalam situasi darurat, pengumpulan data juga sulit, dan informasi yang diperlukan untuk memahami situasi ini harus tepat waktu dan terperinci, terutama untuk menjawab pertanyaan kritis seperti: Bagaimana status kesehatan masyarakat yang terkena dampak?; Dimana dan siapa mereka? ;Apa risiko langsung dan jangka panjangnya?; Sumber daya apa yang tersedia secara lokal dan persediaan apa yang dibutuhkan?; 

Apa yang paling mendesak?; Berapa banyak yang dibutuhkan?; Untuk melaksanakan tugas tersebut, Health Information System (HIS) dalam keadaan darurat harus diselaraskan di lapangan dan memerlukan partisipasi dari semua pihak yang terlibat. Aspek kohesif HIS sering hilang dalam keadaan darurat karena dua alasan. Pertama, karena tidak ada yang merasa harus bekerja sama dalam situasi di mana tidak ada yang bertanggung jawab. 

Kedua, lembaga cenderung menjaga informasi mereka sendiri untuk memastikan dukungan donor dalam lingkungan pendanaan yang kompetitif. Kita perlu mengoptimalkan praktik HIS dengan menghindari duplikasi dalam pengumpulan data, mengisi kesenjangan informasi, menggabungkan keterampilan dan kapasitas, dan menyatukan sumber daya (Sphere Association, 2018)

Hasil penelusuran artikel ini disampaikan dalam kegiatan sharing lecture yang difasilitasi oleh Asean Lecture Community. Kegiatan abdimas ini dilakukan secara daring dalam bentuk webinar yang terdiri dari 3 narasumber dengan institusi pendidikan yang berbeda yaitu

  • Laela indawati, Amd.PK, S.St.MIK, MKM. Asal institusi Universitas Esa Unggul
  • dr. H. Engkus Kusdinar Achmad, MPH. Asal institusi STIKes Mitra RIA Husada
  • Puan Zainooriah Dato' Hj. Zakaria, AMN; AMP; PPT; PJK; RN; RM; PHN; OHN. Asal institusi School of Nursing, Faculty of Medicine Bioscience & Nursing, Mahsa University, Malaysia

Kegiatan diikuti oleh dosen dan mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia dengan jumlah peserta sebanyak 44 orang, dengan host kegiatan ini adalah bapak Inda Gumilang, dan dimoderatori oleh Nabila Haza, S.Ikom.

Acara diawali dengan ramah tamah dan pembukaan dari bapak T. Syahrul Reza - Founder & CEO ASEAN Lecture Community. Setelah pembukaan, acara dilanjutkan dengan pemaparan masing-masing narasumber. 

Paparan narasumber dilakukan dalam 3 sesi, dimana setiap sesinya diberikan kesempatan diskusi tanya jawab antar peserta dan narasumber, yang dipandu oleh moderator. Selama kegiatan, para peserta sangat antusias dan menyimak dengan baik dari setiap paparan narasumber. Acara ditutup dengan resume kegiatan dari founder ALC, dan evaluasi kegiatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun