Berbekal bahasa Inggris pas-pasan ditambah kamus bahasa Kanton, kuberanikan diri ke negeri yang dikenal sebagai negara dalam negara itu. Dan agar merasa aman dan nyaman dalam perjalanan, aku ikut rombongan backpacker dari Indonesia. Aku pun sudah melapor kepada kepala rombongan, Pak Joni, bahwa tujuanku sebenarnya ke sana bukan untuk jalan-jalan melainkan untuk mencari ibuku yang berpisah sejak aku kelas 2 SD.
Hari pertama pencarian, nihil.
Hari kedua, juga.
Hari ketiga, aku mulai pesimis.
"Gimana, Pak Gun? Besok sore jadwal kita pulang. Masih mau cari atau ikut pulang?" tanya Pak Joni sambil menepuk bahuku.
"Saya bingung, Pak. Di kedutaan dan kepolisian belum juga ada hasil. Mencari sendiri pun sejauh ini nihil." jawabku lemas.
"Mau coba cari lagi malam ini? Kan malam ini jadwal bebas, saya sih free kalau sampeyan mau ditemani." timpalnya.
"Bener nih Pak Joni mau temani? Alhamdulillah makasih ya Pak." ucapku kegirangan.
---
Arlojiku, hadiah dari kantor untuk penghargaan karyawan terbaik itu, menunjukkan pukul 10 malam waktu setempat. Aku dan Pak Joni terus berjalan menyisiri jalan mencari Amah. Di beberapa sudut terlihat proyek gedung-gedung tinggi, truk-truk pembawa beton sibuk lalu lalang, juga hingar-bingar klub malam dipayungi cahaya lampu warna warni.
Udara dingin memaksa kami beristirahat di kedai kopi, sebuah kedai kecil di ujung jalan yang tidak ramai tapi juga tidak sepi. Aroma kopinya menyeruak membujuk kami singgah. Sambil menikmati kopi dan Bo Lo Bao hangat, kami memikirkan strategi pencarian selanjutnya. Pak Joni menyalakan korek dan mulai mengebulkan asap ke langit, pandangannya terhenti pada seorang wanita setengah abad berwajah menor yang berpakaian tak sesuai umurnya. Parfumnya menyengat menghampiri kami sebelum raganya. Dan dalam sekian detik, wanita itu berdiri di samping Pak Joni.
"Hai, dari Indonesia ya Oom-oom ini? Ke sini pasti cari hiburan. Mau? Saya banyak 'stock'." ujar wanita itu sambil kedip manja.
Aku sadar betul apa yang ia maksud; pasti ia kira kami pria hidung belang pencari kupu-kupu malam. Perlahan kuperhatikan wajahnya, dua tahi lalat di atas alis kanan. Satu di bawah mata kiri samar-samar tertutup bedak. Hidungnya sedikit mancung ke dalam dengan bibir tipis mungil. Rambut ikal dengan tinggi badan sekitar 1,5 meter. Ya Allah, persis Amah. Apa iya?
"Amah?" pertanyaanku meluncur tanpa aba-aba.
"Ha?" jawabnya sambil kernyitkan dahi pertanda terkejut.
"Apa ibu ini.. Ibu Saidah dari Indramayu? Ini.. ini Gunawan, anak ibu." kulanjutkan dengan terbata-bata.
"Hah? Igun? Astagfirullah, ibu malu!" matanya terbelalak.
"Iya, ini Igun, Amah.. Amah.. Ya Allah, Amah." bergetar suaraku sambil kuraih tangannya. Namun ia tepis, dan berlari melesat menjauhiku. Tanpa pikir panjang aku bergegas mengejar Amah dan meninggalkan Pak Joni bersama kopi dan wajah bengongnya.
"Amah, tunggu!" kukejar ibuku dalam keramaian. Gesit sekali larinya melewati gang-gang kecil. Padahal sudah sejauh ini tapi kenapa ibu tidak mau menemuiku? Apa salahku? Air mataku mengalir, dadaku sesak.
"Amah. Tunggu!"
"Amah. Aku hanya ingin memelukmu, Amah!"
Tidak sampai 1 menit, aku kehilangan jejaknya. Ke mana larinya ya? Aku tengok ke kanan ke kiri. Di mana Amah?
CEKIIIITTT KIIITTTT. GUBRAKKKK!
Suara rem dan dentuman yang sangat keras terdengar.
"Oh my, a woman down!" pekik supir truk beton yang turun mengecek.
"Amaaaaaaaahhh!" aku berlari menghampiri tubuh yang tergeletak di bawah truk itu untuk memeriksa keadaannya.
Wanita itu ternyata betul Amah. Perlahan aku dekap ia dan aku letakkan tangannya ke pipiku; berharap ada keajaiban.
"Maafkeun Amah, Gun..." air mata merah mengalir dari kedua matanya sebelum menutup untuk terakhir kalinya.
---
Malam itu tak bisa kupejamkan mataku. Terbayang selalu Amah saat menghembuskan nafas terakhirnya. Tak sempat lagi kuucapkan sepatah kata; betapa aku rindu, betapa aku mencintainya. Saat itu aku hanya menangis memeluknya, dunia terasa berhenti berputar aku tak tau harus melakukan apa, terdiam mematung menatap Amah bersimbah darah di bawah gelapnya truk beton. Namun matanya yang indah menutup sambil tersenyum seolah tenang telah bertemu aku, anaknya.
Pada akhirnya, dengan bantuan kedutaan, Amah bisa kubawa pulang. Akan kubaringkan ia di sebelah Nin, di tanah Pasundan kelahirannya. Di balik sesak, ada juga sedikit lega karena agen yang memberangkatkan Amah telah tertangkap atas tuduhan human trafficking alias perdagangan manusia. Amah hanya 1 di antara seribu korban. Dengan iming-iming menjadi TKW gaji besar, para wanita pejuang nafkah ini dijerumuskan ke lembah hitam. Tak sedikit pula yang dijual nyawanya sebagai pendonor organ. Miris, padahal titel mereka "pahlawan devisa" bagi negara, apakah negara sudah benar-benar memperlakukan mereka sebagai pahlawan? Aku tidak tau, yang jelas ibuku adalah pahlawanku.
Sesampainya di kampung halaman, ibuku disambut oleh tangisan warga desa. Rupanya berita ibuku sudah sampai ke sini. Tak sedikit yang menyesali keadaan, namun apa yang harus disesali? Ini sudah takdir-Nya. Aku pun harus tabah menghadapinya. Ya. Aku harap kejadian yang menimpa Amah bisa dijadikan pelajaran bagi kehidupan.
Tak tertahan lagi, pipiku basah melihatnya untuk yang terakhir kali, saat warga membungkusnya perlahan dengan kain putih.
Amah.. Amah.. mengapa kau secantik ini? Padahal truk besar itu menghantammu tanpa ampun, tapi wajahmu teduh bagai bidadari tertidur di telaga.
Selamat tidur, Amah. Aku menyayangimu selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H