Perang terhadap tembakau. Ya, kontroversi rokok baru mencuat, tatkala bahaya kesehatan rokok populer pada paruh kedua abad ke-20. Jauh sebelumnya, rokok telah dipergunakan oleh suku Maya, Indian dan Aztec di Amerika Tengah pada abad ke-9 dalam bentuk alang-alang dan tabung sebagai pengobatan dan media ritual agama.
Merajalelanya rokok, bermula setelah sebagian rombongan Christoper Columbus tiba pertama kali di Benua Amerika (abad 16), dan memutuskan membawa budaya rokok ke benua asalnya, Eropa. Kemudian, Jean Nicot (istilah “Nikotin” dari namanya) mempopolerkan rokok di Eropa. Berbeda dengan budaya asli Amerika, budaya merokok menjadi ritual kesenangan di kalangan bangsawan. Eksistensi rokok semakin merambat manakala John Rolfe berhasil membudidayakan tembakau berskala besar. Buku petunjuk menanam tembakau pun diterbitkan di Inggris pada tahun 1855. Lalu, saat pedagang Spanyol masuk ke Turki pada abad ke-17, rokok merambah ke negara-negara islam.
Di Indonesia, rokok dikenal pertama kali di Jawa. Pada abad ke-19, masyarakat mengenal istilah rokok putih (tanpa cengkeh) dan rokok kretek (dicampur cengkeh). Ide perdagangan rokok dalam bentuk kemasan bermerk berasal dari M Nitisemito, melalui produknya NV Bal Tiga. Kemunculannya, membawa rokok-rokok lain ikut bersaing, seperti rokok Goenoeng dan Klapa, perusahaan rokok Nojorono (produknya Astrokoro, 555, dan Kaki Tiga), Rokok Minak Djinggo. Perkembangan pabrik besar dan kecil pun meningkat searah perkembangan rokok kretek di Jawa, misalnya Djambu Bol, Djarum, Bentoel, Gudang Garam, Sampoerna, Menara, Retjo Pentoeng, Pompa. Tingginya perkembangan industri rokok membuktikan bahwa rokok menjadi lahan usaha menggiurkan di bidang perekonomian. Bagi pengusaha: keuntungan, bagi pemerintah: pajak, bagi masyarakat: lapangan pekerjaan padat. Apalagi 30% penduduk Indonesia adalah perokok.
Kontras, industri rokok meskipun memiliki keuntungan melimpah dan dampak baik, tetapi dari kesehatan tidaklah bisa kompromi. Bagaimana tidak, dalam rokok terkandung sekitar 7000 racun kimia, dan asap rokoknya sendiri (tar, nikotin dan karbon monoksida), dan semuanya berisiko berbagai penyakit dan menyebabkan kematian. Studi American Association for Cancer Researchdi Washington pun menyebutkan senyawa kimia asap rokok dapat menyebabkan kerusakan genetik, misalnya awal penyakit leukimia atau kanker lain.
Sayangnya, efek candu rokok dari nikotin menyebabkan masyarakat sulit lepas dari merokok. Antisipasi dan penyadaran bahaya rokok sudah digalakkan, disosialisasikan, bahkan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, syarat beasiswa, dan rencananya kini larangan mendapatkan jamkesmas. Namun, masih ada kalangan muda-mudi bahkan dari anak-anak mengkonsumsi rokok. Mengapa hal ini terus berlangsung?
Promosi Rokok
Era modern kini, perpaduan indah iklan merupakan strategi esensial bagi pemasaran tiap produk. Pemahaman bahaya rokok menyebabkan mayoritas negara di dunia mengatur ketat peraturan promosi produknya. Akan tetapi, di Indonesia, kebijakan rokok masih tergolong lambat. Baru tahun 2012 lalu dicanangkan kewajiban kemasan rokok memiliki 40% peringatan kesehatan bergambar. Isu yang berkembang mengatakan beberapa “orang berkepentingan” ikut dalam kebijakan.
Kontroversi rokok, tentu saja berpotensi mengancam pangsa pasar itu sendiri. Dari pihak perusahaan rokok, senjata promosi strategis kuno masih tetap berlaku: pendekatan budaya segala lapisan masyarakat.
Dari kalangan menengah ke bawah, promosi kecil-kecilan dapat ditemui saat membeli makanan di warung atau kedai kecil. Tidak sedikit spanduk atau kain peneduh berlogo produk rokok. Semakin mahalnya harga kebutuhan pokok, juga berimbas pada kenaikan harga rokok. Namun ini dapat diakali melalui penjualan per batang rokok, misalnya dari penjaja jalanan atau warung. Rokok per bungkus sekitar Rp12.000,00 pun terlihat lebih murah. Dari kalangan menengah keatas, merokok seolah sudah menjadi gaya hidup (ingat, di Eropa, awal mula perokok adalah kalangan bangsawan, ini pun berlaku menjadi gaya hidup kalangan atas di negara lain, termasuk Indonesia). Rokok dan pertemanan seringkali menjadi hal yang dikaitkan erat. Jika melihat promosi rokok masa dulu, kita bisa melihat di layar kaca, dimana pemeran terlihat keren dan sangat menikmati saat menghisap rokok dan menghembuskan asapnya. Di beberapa restoran pun, rokok menjadi hal tak terpisahkan misalnya, di restoran khusus kopi di Sumatera.
Anehnya, Indonesia yang memiliki topografi beranekaragam, dan berbagai suku budaya bahasa daerahnya masing-masing dapat dijangkau dengan mudah oleh produk rokok. Budaya merokok masih dapat ditemui di lokasi yang memiliki keterbatasan aksesibilitas (pedalaman), yang bahkan fasilitas dari pemerintah pun masih sangat minim. Misalnya di pedalaman Papua, dan di Flores Timur. Ya, inilah promosi alamiah itu sendiri: efek dari zat adiktif rokok mempromosikan dirinya dari mulut ke mulut.
Secara resmi, produk rokok masih dipromosikan lewat televisi melalui logonya dan keunikan iklannya yang biasanya berdurasi cukup panjang dari iklan biasa. Promosi berupa banner dan bendera berupa papan reklame di jalan-jalan utama, tiap persimpangan jalan (umumnya persimpangan tiga, yang dapat dilihat dari tiga arah sekaligus atau lebih), lokasi ramai seperti pasar, bahkan di samping persis lembaga pendidikan. Promosi rokok tidak ketinggalan dilakukan melalui pendanaan beasiswa, kompetisi olahraga bergengsi mancanegara, maupun di sekolah, dan lain-lain. Melalui pembuatan logo yang selalu matang dan terlihat elegan, produk rokok masih tetap bisa mempertahankan eksistensinya.