Nek Iroh memicingkan mata. Terbungkuk-bungkuk ia mengambil kipas anyaman bambu dari atas lemari plastik lalu menepuk ubun-ubun Siddiq.
"Duh! Sakit, Yut!" ringis bocah SD kelas 6 itu berpura-pura.
"Bukan gila! Kata Pak Ma sudah digati ODGJ! Huh!" sergahnya mengibaskan kipas bertuahnya.
Mia lumayan terpengaruh. Kamarnya dengan ruang tamu reot Nek Iroh hanya terpisah sebuah pagar.
"Nak," tegur Ruqayyah mendekat, "sudah, abaikan, ya? Paman menunggumu lama di luar, kasian dia kepanasan, " belainya lembut mengusap rambut panjang sang keponakan tersayang.
Suara dengungan motor dari arah timur mengalihkan pandangan beberapa warga. Dari rompi dan logo yang dikenakan sudah jelas pria setengah baya berkulit coklat dan berkumis tebal itu seorang petugas Pos.
"Pak Rohim, ya?" tanyanya lantas mematikan mesin motornya menerka.
"Blok 1 no 10 RT 009 RW 700?"
"Ya," jawab Rohim mendekat.
"Tanda tangan disini, Bos," pinta petugas post itu menyerahkan amplop coklat dan sebuah polpen.
"Aku bukan bos tapi ayah dari pengirim amplop ini."
"Jelas bos lah, putri Anda kan bakal menikahi anak anggota dewan?"
Rohim terkejut setengah mati, tubuhnya gemetar hingga pena dan amplop itu jatuh seketika.
Nek Iroh memicingkan mata. Terbungkuk-bungkuk ia mengambil kipas anyaman bambu dari atas lemari plastik lalu menepuk ubun-ubun Siddiq.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H