Masih tergiang-ngiang kalimat yang di ucapkan olehnya. Setelah lama tak bertemu kita  menjadi renggang selama 10 tahun. Kedua mataku memperhatikan pemandangan saat kereta berjalan cepat dan terburu-buru. Aku melihat orang-orang berkumpul pada sisi jalanan. Dan deretan perumahan berjejer rapi dari balik kaca jendela bergoyang tiada lembut. Berjalan cepat beriringan setiap roda kereta api melangkah.
Sudah 2 jam Stasiun Solo Balapan telah kulewati. Kerudungku berwarna abu-abu melambai selama perjalanan terjadi, bahkan daun pepohonan bergoyang terburu-buru dari balik jendela kereta terlihat. Haahh... Sunyi tak menemani jiwaku kini. Kalang kabut seperti roda kereta api membentur rel kereta. Bahkan kata-kata dari Tante Mira terus menghentak keras kepada diriku. Langit biru kini terlihat tampak mendung bahkan seperti kedua bola mataku. Sambil kugenggam erat kain batik ini. Untuk masa depanku. Dan pernikahan dengan Keenan tahun depan nanti.
Menyusuri lantai-lantai marmer putih,
Duduk ramai-ramai di bangku panjang,
Bercengkerama di tengah meja meriah,
Dan aku telah pulang.
"Kau tidak pulang. Rumah ini bukanlah tujuan kehadiranmu." Katamu tegas. Dengan sorot mata tajam menatapku. Terulang lagi suara dari bibir itu terucapkan. "Bahkan kamu sudah pulang dan tinggal bersama Ibumu. Yang telah bersusah payah melahirkan engkau namun belum dapat membesarkan dan mendidikmu." Kulirik foto kita bersama saat aku lulus dari SMA Batik. Bagai satu keluarga lengkap. Di foto tersebut Tante Mira bersama Paman Danu serta kedua anaknya. Aku, Kirana berada di tengah-tengah kalian. Sejak hari itu aku miliki keinginan memberanikan diri dan meninggalkanmu dan keluarga. Dua minggu setelah kelulusan dari SMA.
Inginku tinggal bersama Ibu dan mencari nafkah di sana. Segala pekerjaan kujalani menjadi gadis penjaga Stand di pameran hingga bekerja paruh waktu di toko kosmetik. Namun setelah aku mendengar kabar anak Tante Mira meninggal karena kecelakaan mobil. Aku berkata menyesal telah lama tidak pulang. Bahkan kedatanganku sudah sangat terlambat.
"Sedari kecil kau tinggal bersama kami dan kehadiranmu hanya sementara di sini. Tinggalmu di Jakarta, Kota kelahiran dan masa kecil yang engkau kenang. Dan di sana kau sudah pulang dan tinggal bersama kedua orangtuamu." Tante membuka sebuah lemari dan ada sebuah kotak panjang berselimut kertas kado warna hijau. Lalu kubuka kotak tersebut ada kain batik tersimpan rapi. Aku teringat kembali. Saat engkau duduk di tengah halaman dengan kursi pendek temani Tante. Kedua tanganmu lincah menari pada sehelai kain putih lebar dan panjang. Kau membuat motif batik perlahan demi perlahan dengan canting dan lelehan lilin malam menempel pada kain itu.
 Kain daster membalut tubuh dan terbiasa kacamata berdiri tegak di wajahmu. Kedua mata terpaku pada sehelai kain putih dan bagaikan seorang pelukis menggambar keindahan alam di atas kanvas. "Pada akhirnya kuberikan juga kain tersebut kepadamu. Semoga pernikahanmu lancar nantinya, Kirana. Sesungguhnya Ibumu sudah memberitahu tentang kabarmu sebelumnya.
Namun Tante Mira telah lama membeli kain tersebut saat pernikahan Kejora, sepupumu." Kedua bola matamu sayu. Tentang aku atau tentang Silvia? Wajah sendu Tante kini terlihat dengan jelas. Tak kulihat Paman Danu di sebelahmu kini. Bahkan sering kudengar kabar tidak baik tentangnya dari bisik-bisik tetangga. Tidak temani saat kau tengah berduka oleh kelam dunia. Bahkan mengambil paksa anakmu yang kedua. Semua terjadi dengan begitu cepat.