Anggraeni termenung. Bahkan kata-kata Ibu Indah selama mata pelajaran Biologi menjauh dari dirinya. Suara yang terdengar masuk kuping kanan lalu keluar kuping kiri. Yang dipikirkan adalah ayahnya semata. Sudah 2 minggu ia memperhatikan Ayah terduduk di depan rumah dengan wajah masam.Â
Rumah sederhana dan atap kayu tempat mereka tinggal sehari-hari. Ayah duduk tak jauh dari pantai rumah kami berada. Secangkir kopi temani, kedua bola matanya suram, wajahnya seperti bunga layu terus menatap laut dengan pandangan kosong. Badai kencang membawanya jauh dari ladang mencari nafkah. Tampak terlihat ombak bergemuruh menampar batu karang dengan keras. Semilir angin tidak bersahabat terus menghempas tiada henti. Menjauhinya dari mata pencaharian sehari-hari.
Gadis itu mengerti sejak kepergian Ibu karena Tsunami sehingga dia bekerja paruh waktu sebagai tukang cuci piring di restoran. Pantai Lampuuk juga telah terobati kini dari Tsunami beberapa tahun lalu. Memiliki garis pantai dengan pasir putih sepanjang 5 KM, dengan ujungnya tebing karang pada salah satu sisi membuat pantai terlihat eksotis. Namun tubuh ibuku menghilang di laut tanpa kabar pasti di mana dia berakhir. Maka aku berusaha tidak tergantung kepadanya lagi. Bahkan juga sudah lama kami berdua tidak banyak bicara. Namun melihat Ayah dalam keadaan seperti itu semakin meresahkan hatinya.
"Hei, Anggraeni!" Timpuk bola kertas kecil dari temannya, Bimo. "Ada apa sih?" Tanyanya kesal. "Waktunya pulang sekolah! Kamu mau nginap di sini?" Teriak cowok itu. Dan rambut keriting sambil menunjuk jam tangan. Anggraeni lekas membereskan buku sekolah ke dalam tas. Dengan langkah gontai dia berjalan keluar dari kelas. Siang hari Anggraeni menyusuri pantai tak jauh dari sekolahnya. Perjalanan dari rumah menuju sekolah memang tidak jauh cukup kenakan sepeda saja dan masih satu wilayah di Pantai Lampuuk.Â
Kedua matanya memperhatikan kura-kura berjalan menuju laut. Namun tak jauh dari belakang tampak seorang lelaki kenakan kaos bertuliskan "Don't You Understand?" "Hei, kenapa kamu berlari ke sana? Bukan sekarang waktunya." Teriaknya sambil mengangkat kura-kura itu. "Hei, Albert! Kalau belum sehat jangan kembali ke laut dulu. Kamu butuh waktu pemulihan." Ucapnya riang. Dia mengangkat kura-kura tersebut dengan penuh kasih sayang. Namanya apa tadi? Tidak salah dengar, nih? Batinku berteriak. Namun tulisan di atas spanduk membuatnya terpaku selama beberapa menit. Â
"Lho, kamu baru tahu tempat itu?" Ucap Kirana. "Jadi mereka sedang melakukan apa?" Tanya Anggraeni kepada Kirana. Jam istirahat telah tiba. Mereka berdua duduk saling berhadapan. Dua mangkok bakso dan es jeruk menu makan siang mereka. "Ya, merawat kura-kura dong. Selain itu apa lagi?" Balas Kirana. "Namun aku melihat ada seorang lelaki yang ..." Kata Anggraeni terputus. "Terlalu ganteng?" Sahut Bimo berdiri dekat mereka. Sambil minum es tehnya. "Enak saja. Dia orangnya agak aneh gitu. Tubuhnya sedang dan kulitnya agak gelap. Kalian tahu tidak? Masak panggil kura-kura namanya Albert!" Anggraeni menjelaskan. "Oh, itu namanya Adam. Dia sepupuku. Dengar-dengar dia itu dokter hewan. Dan juga agak eksentrik oranganya." Ucap Bimo. Pandangannya menatap Anggraeni. Hahhh.... Kok bisa? Batin Anggraeni.
 "Jadi namamu Anggraeni? Tidak percaya kalau kami berdua adalah sepupu?" Senyum Adam dan Bimo berdiri di sampingnya. Anggraeni terdiam memperhatikan kedua orang di depannya. Tadi siang Bimo mengajak sahabatnya bertemu dengan sang sepupu setelah pulang sekolah. Rasa penasaran membawa kembali ke tempat ini. "Baiklah. Namaku Adam dan panggil kakak, ya. Kata Bimo kamu penasaran dengan kegiatan komunitas konservasi kura-kura?" Ucap pria dengan kacamata hitam ia kenakan. "Iya" Jawabnya pelan. "Kalau begitu baiklah. Memangnya kamu tahu apa tentang kura-kura?" Tanyanya balik. "Kura-kura itu salah satu makhluk laut bukan?" Jawab Anggraeni polos.
 "Bukan itu saja. Merawat kura-kura itu termasuk pelestarian lingkungan. Bahkan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Contohnya, Penyu yang memiliki jarak tempuh mencapai hingga ribuan mil laut ini berperan penting dalam menyebar nutrisi ke laut melalui kotorannya. Dapat menjadi pupuk atau pakan bagi tumbuhan dan hewan laut lain. Yang lebih penting lagi terutama kita lakukan selama ini dapat meningkatkan peluang ekowisata bagi masyarakat Pulau Lampuuk."  Bimo dan Anggraeni terdiam mendengarkan penjelasan super detail dari Kak Adam. Bahkan kepala Bimo mengangguk-angguk seperti Burung kutilang.
"Kalau kura-kura bernama Albert saat aku lewat. Ada apa yang terjadi dengannya?" Tanya Anggraeni penasaran. Kedua alis mata Kak Adam naik ke atas. Berusaha mengingat sesuatu. Oh, kura-kura itu. Dia terkena tumor dan sedang dalam masa pemulihan." Tangan kanannya mengelap kacamata dengan kaos. "Hahh... Apa mungkin kura-kura terkena penyakit tumor?" Bimo tidak percaya mendengarnya. dan Anggraeni kembali terdiam membisu. Berusaha memahami apa yang terjadi. Bahkan resah selimuti dadanya kini. Apakah benar ini jalan tepat untuk membantu Ayah? "Tentu saja bisa! Kenapa Tidak?" Eh, suaranya keras sekali. Membantah apa yang dikatakan Bimo. "Virus ini menyerang kura-kura nama tumornya fibropapillomatosis, suatu kondisi menyebabkan tumor eksternal tumbuh pada tubuh kura-kura. Tumor itu sebenarnya jinak namun kura-kura lebih rentan terhadap infeksi menghalangi penglihatan, gerakan dan kemampuan mengolah makan." Kak Adam menjelaskan. Â "Karena apa hal itu bisa terjadi?" Bimo tanya lagi. "Polusi atau pencemaran lingkungan." Balas Kak Adam pendek. "Ah, ternyata begitu." Jawabku. Ketika kami berdua minta ijin pulang duluan ke rumah masing-masing. Kak Adam berteriak kencang, " Nanti malam mau datang tidak ke pantai? melihat kura-kura betina melahirkan?" Tanpa pikir panjang kami berdua berkata iya.
Anggraeni melihat kura-kura berjalan menuju pantai dari laut. Bersama Ayah dan Bimo. Mereka melihat siklus kehidupan secara langsung. Makhluk hidup laut ini bahkan sanggup berumur ratusan tahun. Tarian angin berhembus pelan kerudung abu-abunya. Setelah minta ijin Ayah  kemarin sore, temani Anggraeni ke pantai pada tengah malam. Meski Ayah agak keberatan namun pada akhirnya bersedia temani. Rasa penasaran terhadap kura-kura membuatnya ingin ketahui lebih banyak. Gadis itu memperhatikan lagi kura-kura dari samping. Tak jauh dari beberapa langkah.
Kedua bola matanya mengecil. Dahinya mengkerut. Berupaya melihat dengan jelas meski sinar cahaya tak boleh terlihat. Nanti kura-kura tersebut akan pergi dan tidak jadi menetaskan telur di pantai. Gadis itu memperhatikan seksama. Kura-kura tersebut mengeluarkan telurnya dalam jumlah banyak lalu dia menggoyang kedua siripnya sambil menutupi telurnya dengan pasir. "Meski disembunyikan terkadang ada yang mengerti dimana posisinya. Lalu dijual telur-telur tersebut. Bahkan tukik, anak kura-kura yang berhasil menuju laut juga belum tentu selamat." Kata Kak Adam.
Tampak jelas bulan sabit bercahaya terangi laut pada malam hari. Menambah syahdu melihat siklus kehidupan salah satu makhluk hidup ciptaan dari-Nya  "Indah bukan?" Bisik Adam pelan. "Harmoni keseimbangan alam bagaimana kura-kura sebagai penyangga hidup manusia secara langsung. Bila tidak ada mereka maka ikan tak dapat dikonsumsi oleh kita." Anggraeni menatap Adam secara lekat. Ketahui dengan baik bagaimana kehidupan kura-kura selama ini. Namun harus kamu ketahui, Anggraeni. Adalah saat mereka berjalan kembali ke laut terdengar suara kura-kura sedang bernyanyi."  Senyum terukir dari bibir Adam. "Semoga suara merdu mereka bisa terdengar oleh Ibu." Ucapn pelan.
Ayah memperhatikan Anggraeni dari samping. Dia bersalah selama ini karena penyesalan lama terpendam kepada Anak gadisnya. Bahkan Ayah juga tidak menyangka saat bertemu dengan Adam merawat dan melestarikan kura-kura terancam punah. "Ibumu sudah beristirahat dengan tenang, Anggraeni. Kau seperti dirinya bahkan ketika engkau tersenyum." Wajah gadis itu kaget mendengar kata Ayah. Dia memperhatikannya seksama meski agak sulit. Bahkan dalam kegelapan raut wajahnya tenang namun kesedihan terpancar dari kedua bola matanya.
"Ayah minta maaf, Nak. Karena engkau harus merasakan bagaimana aku kehilangan Ibumu. Tubuhnya yang telah tidak bernyawa tak pernah kita lihat selamanya lagi." Suaranya bergetar. Menahan duka mendalam terlalu lama. Tanganku menggenggam tangan hitam legam ini. Tangannya terbiasa memegang jaring untuk menangkap ikan. Bahkan dia rela menahan panas matahari terik dan dinginnya angin malam berhembus. Aku memperhatikan Ayah seksama. Tampak rambut mulai memutih kini termakan usia. Ternyata beban yang dipikul selama ini tak pernah aku sadari.
"Seharusnya Ayah bisa berbuat lebih keras untuk selamatkan Ibumu. Meski itu mustahil." Matanya basah dan hatiku semakin bergetar mendengarnya. "Ayah semua sudah berakhir. Anggraeni juga minta maaf." Aku mencium tangannya sebagai bentuk kasih sayang. Dan telah aku rasakan tangan Ayah membelai kerudung selimuti kepalaku. Ibu, Apakah engkau bisa melihat kami berdua kini? Dan semoga engkau beristirahat dengan tenang. Dimanapun Ibu  berada. "Kau ingin menolong Ayahmu, bukan?" Tanya Kak Adam. "Iya." Matahari tampak terik kini. Sudah tak terlihat lagi pepohonan pinus yang rindang berderet sepanjang bibir pantai. Pantai Lampuuk memang tempat untuk berlibur dari kepenatan. Tampak terlihat beberap wisatawan sedang melakukan snorkeling.
Setelah pulang sekolah bersama Bimo mereka naik perahu ke tengah laut. Bimo mengangkat wadah box besar berisi tukik, anak kura-kura yang telah menetas. Mereka yang telah cukup mampu bertahan di alam. Meski tak sedikit tantangan yang akan dihadapi nanti selama perjalanan. "Selama dua minggu ini laut tidak nyaman untuk mencari ikan untuk Ayah. Mungkin saja ada usaha lain untuk bekerja bagi Ayah." Kak Adam memperhatikan Anggraeni sebentar.
Kemudian ia berkata, "Baiklah, Ayahmu bisa membantu. Kalau bisa tolong bawa pengunjung. Anggraeni sudah tahu bagaimana kegiatannya, bukan?" Gadis itu tersenyum ceria. Hatinya lega. Rencana untuk Ayah berhasil. "Kalau Bimo bagaimana?" Tanyanya setelah mendengar pembicaraan mereka tadi. "Tidak ada untuk kamu!" Teriak Kak Adam keras. "Hei, Jangan tidak adil begitu? Kita ini bukankah sepupu? Dan bukankah seharusnya saling membantu?" Kedua bola mata Kak Adam menatap tajam. "Kau pasti gunakan uangnya untuk main game online." Teriaknya kencang.
Anggraeni tersenyum kepalanya geleng-geleng mendengar pertengkaran mereka berdua. Tangannya mengambil botol dari dalam tas ransel berwarna merah. Ada selembar kertas di dalamnya. Gadis ini mengerti mungkin saja apa yang dilakukan mustahil. Namun harapan semakin kuat berdesir di dalam. Setidaknya semoga harapan ini dan laut yang membawa Ibu pergi mengerti apa yang kuberikan. Tepat di hari ini hari ulang tahunnya. Telah 12 tahun lamanya engkau pergi sejak hari itu.
Â
Â
                                                                  Untuk Ibu Menyayangiku
Â
Ketika Ibu menyayangiku,
Setulus hati bening seperti lautan biru,
Tak sedikit pengorbanan meski wajah tampak layu,
Riak-riak pahit kehidupan senang bertamu.
Kini wajahnya sendu tampak keriput menyelimuti,
Menyusuri lorong-lorong waktu tak bertepi,
Sungguh perih ketika melihatku berduka tiada henti,
Ia langsung berlari mengejar harapan dalam sunyi.
Ibuku sungguh menyayangiku,
Yang memberikan arah kehidupan dan kematian,
Bertumpu pada-Nya lebih mencintai dari para hamba,
Seperti kasih Ibu!
Â
Setidaknya semoga laut yang membawa Ibu pergi dapat mengerti apa yang kuberikan kepadanya. Tepat di hari ini adalah hari ulang tahunnya. Telah 10 tahun lamanya engkau pergi meninggalkan kami. Aku memperhatikan langit biru terlukis indah oleh Sang Pencipta, tukik kura-kura Hijau dan suara mereka bernyanyi di dalam laut semoga selalu abadi. Ya, hari ini memang indah. Seindah harapan dan doa-doa kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H