Meskipun demikian, Ahok memiliki kebebasan untuk berpendapat mengenai dirinya sendiri entah marhaenis atau bukan. Masyarakat bisa menilai apakah kebijakannya membela “wong cilik”. Apabila pemangku kebijakan publik ternyata mencla-mencle, ia juga yang akan menanggung sanksi sosial. Faktanya, banyak warga DKI yang menolak pencalonan Ahok kembali. Penolakan terhadap Ahok marak lantaran kebijakannya soal penggusuran.
Dalih relokasi warga ke hunian yang layak selalu didengungkan. Sayangnya, rusunawa yang disediakan tidak menjawab kebutuhan warga gusuran akan penghidupan. Kantong-kantong kemiskinan bisa saja berkurang atau berpindah ke tempat lain. Tapi, warga miskin semakin sulit mencukupi kebutuhan hidup dan memperoleh pekerjaan akibat penggusuran. Ahok seharusnya memikirkan efek domino yang disebabkan oleh kebijakannya.
Warga yang lemah berada dalam situasi tersudutkan untuk mempertahankan hunian. Tak jarang cercaan dilayangkan oleh Ahok kepada mereka. Sedangkan, ia tidak berlaku sama kepada konglomerat. Properti mewah dibangun di atas pulau reklamasi tanpa IMB karena perda zonasi belum ditetapkan. Pemprov DKI lantas hanya menyegel bangunan. Bagaimana mungkin pemerintah didikte oleh pengembang untuk menentukan rencana zonasi?
Potret ketidakadilan itu selaras dengan ketimpangan ekonomi di Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta melaporkan angka ketimpangan ekonomi atau rasio gini di DKI pada Maret 2016 sebesar 0,41 masih di atas indeks rata-rata nasional sebesar 0,39. Tahun 2014, rasio gini DKI tercatat sebesar 0,43 persen, lalu tahun 2015 angka meningkat jadi 0,46. Hal itu menggambarkan betapa kritis kesenjangan antara orang kaya dan miskin di Jakarta pada masa kepemimpinan Ahok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H