Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengakuan Ahok Seorang Marhaenis

4 Oktober 2016   00:59 Diperbarui: 4 Oktober 2016   01:19 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unjuk rasa di depan kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu, (7/9). Foto: Liputan6.com

Lewat situsnya, ia menulis “Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar janji”(Ini soal Tenun Kebangsaan. Titik! - AniesBaswedan.com, 13/9)

Penggalan paragraf itu merupakan bagian dari kritik Anies agar negara ini merajut nilai-nilai kebangsaan antar segenap warga dengan latar belakang kebhinnekaan. Satu contoh yang ia soroti ialah soal perbedaan agama. Selain itu, nilai kebangsaan dapat diuraikan dalam konteks yang lebih luas dimana eksistensi sosial, politik, dan ekonomi termasuk  fundamental. Tidak boleh terjadi kekerasan atas nama kelompok mayoritas atau minoritas.

Jika seluruh komponen masyarakat mengaku sebagai bangsa yang berbhinneka, setiap orang berhak atas perlakuan adil dan penghidupan layak. Siapapun tidak berhak menari di atas penderitaan orang lain. Negara pun hadir melalui perspektif yang tunggal bahwa masyarakat adalah warganya. Masing-masing individu kemudian memiliki kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. UUD 1945 secara jelas telah merumuskannya.

Namun, pencapaian manusia Indonesia sejalan dengan konstitusi tidaklah mudah. Berbagai kepentingan yang bersumber dari egoisme menghalangi perwujudan semangat altruistik yang terkandung dalam Pancasila. Manifestasi gotong-royong acapkali sekadar jargon politik. Ini tampak dari sosok Gubernur DKI Ahok. Maka, alangkah ironis jika PDIP turut mengusung Ahok di Pilkada 2017.

"PDIP harus lihat, Ahok ideologinya jelas bukan Marhaenisme. Ini Bung Karno ideologinya Marhaenisme, tapi kalau nanti PDIP memilih Ahok ini tidak nyambung," kata Rizal dalam diskusi bertajuk "Sinema Politik Pilkada DKI" di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/9/2016) –Liputan6.com

Saat membuka Rapat Kerja Nasional I yang menjadi rangkaian HUT partainya ke-43, Megawati menuturkan bagaimana marhaenisme berperan bagi PDIP. Menurutnya, marhaenisme merupakan teori progresif dan revolusioner dan yang paling penting mempersatukan rakyat kecil. Marhaenisme adalah sebuah teori politik yang dikembangkan oleh presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno.

Dan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengklaim ideologinya itu marhaenisme. Ia merasa yakin ada partai politik yang akan mengusungnya di Pilkada 2017 tatkala ia baru saja dilantik menjadi Gubernur DKI.

"Cocok, saya ideologi marhaen, marhaenis. Kalau kita kerja bagus, pasti Bu Mega akan calonkan saya lagi. Saya sih bukan orang PDIP, tapi saya orangnya Bu Mega. BFF (bestfriend forever)," kata Ahok di Balaikota Jakarta, Kamis (20/11/2014) - Liputan6.com.

Adapun fakta sejarah justru menunjukkan Megawati tidak konsisten terhadap ideologi besar Soekarno itu semasa menjabat presiden ke-5. Ia mengesahkan UU No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan. Undang-Undang tersebut melegalkan sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) di Indonesia tanpa batasan yang jelas. Ini bukti bahwa negara melindungi kepentingan kapitalis pengusaha atau pemilik modal dan berlawanan dengan buruh.

Padahal, Soekarno menjelaskan tiga unsur kaum marhaen, yakni kaum proletar (buruh), petani, dan kaum miskin. Dalam thesisnya tentang sosio-demokrasi, demokrasi liberal hanya berlaku di ranah politik. Sebab, liberalisasi di bidang ekonomi akan terus menumbuhkan kapitalisme yang sekarang mengalami modifikasi dalam bentuk neoliberalisme dan neokapitalisme.

Sehubungan dengan pemikiran Anies, legalisasi sistem liberal di bidang ekonomi niscaya melahirkan kekerasan pula. Yang dimaksud ialah kekerasan secara struktural oleh minoritas kapitalis kepada mayoritas buruh. Dengan kata lain, pengusaha dan pemilik modal memakai perundang-undangan sebagai tameng untuk menjalankan perusahaannya dan melakukan ekspansi bisnis. Kaum buruh akhirnya terjebak pada upah murah, ancaman PHK, dan tuntutan kesejahteraan.

Meskipun demikian, Ahok memiliki kebebasan untuk berpendapat mengenai dirinya sendiri entah marhaenis atau bukan. Masyarakat bisa menilai apakah kebijakannya membela “wong cilik”. Apabila pemangku kebijakan publik ternyata mencla-mencle, ia juga yang akan menanggung sanksi sosial. Faktanya, banyak warga DKI yang menolak pencalonan Ahok kembali. Penolakan terhadap Ahok marak lantaran kebijakannya soal penggusuran.

Tolak cagub tukang gusur. Foto: Liputan6.com
Tolak cagub tukang gusur. Foto: Liputan6.com
Berulangkali penggusuran dilakukan tanpa menghiraukan dialog dengan warga. Aparat keamanan dan militer dikerahkan ke pemukiman warga. Akibatnya, mereka sebagian besar terpaksa pulang ke kampung halaman atau pindah hunian berbekal perasaan tertindas. Bukan bencana alam yang dihindari, tapi bentrokan dengan aparat.  Beruntung bagi mereka yang memenangkan gugatan di pengadilan kendatipun ribuan warga lainnya rela rumahnya diratakan.

Dalih relokasi warga ke hunian yang layak selalu didengungkan. Sayangnya, rusunawa yang disediakan tidak menjawab kebutuhan warga gusuran akan penghidupan. Kantong-kantong kemiskinan bisa saja berkurang atau berpindah ke tempat lain. Tapi, warga miskin semakin sulit mencukupi kebutuhan hidup dan memperoleh pekerjaan akibat penggusuran. Ahok seharusnya memikirkan efek domino yang disebabkan oleh kebijakannya.

Warga yang lemah berada dalam situasi tersudutkan untuk mempertahankan hunian. Tak jarang cercaan dilayangkan oleh Ahok kepada mereka. Sedangkan, ia tidak berlaku sama kepada konglomerat. Properti mewah dibangun di atas pulau reklamasi tanpa IMB karena perda zonasi belum ditetapkan. Pemprov DKI lantas hanya menyegel bangunan. Bagaimana mungkin pemerintah didikte oleh pengembang untuk menentukan rencana zonasi?

Potret ketidakadilan itu selaras dengan ketimpangan ekonomi di Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta melaporkan angka ketimpangan ekonomi atau rasio gini di DKI pada Maret 2016 sebesar 0,41 masih di atas indeks rata-rata nasional sebesar 0,39. Tahun 2014, rasio gini DKI tercatat sebesar 0,43 persen, lalu tahun 2015 angka meningkat jadi 0,46. Hal itu menggambarkan betapa kritis kesenjangan antara orang kaya dan miskin di Jakarta pada masa kepemimpinan Ahok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun