Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengakuan Ahok Seorang Marhaenis

4 Oktober 2016   00:59 Diperbarui: 4 Oktober 2016   01:19 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unjuk rasa di depan kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu, (7/9). Foto: Liputan6.com

Meskipun demikian, Ahok memiliki kebebasan untuk berpendapat mengenai dirinya sendiri entah marhaenis atau bukan. Masyarakat bisa menilai apakah kebijakannya membela “wong cilik”. Apabila pemangku kebijakan publik ternyata mencla-mencle, ia juga yang akan menanggung sanksi sosial. Faktanya, banyak warga DKI yang menolak pencalonan Ahok kembali. Penolakan terhadap Ahok marak lantaran kebijakannya soal penggusuran.

Tolak cagub tukang gusur. Foto: Liputan6.com
Tolak cagub tukang gusur. Foto: Liputan6.com
Berulangkali penggusuran dilakukan tanpa menghiraukan dialog dengan warga. Aparat keamanan dan militer dikerahkan ke pemukiman warga. Akibatnya, mereka sebagian besar terpaksa pulang ke kampung halaman atau pindah hunian berbekal perasaan tertindas. Bukan bencana alam yang dihindari, tapi bentrokan dengan aparat.  Beruntung bagi mereka yang memenangkan gugatan di pengadilan kendatipun ribuan warga lainnya rela rumahnya diratakan.

Dalih relokasi warga ke hunian yang layak selalu didengungkan. Sayangnya, rusunawa yang disediakan tidak menjawab kebutuhan warga gusuran akan penghidupan. Kantong-kantong kemiskinan bisa saja berkurang atau berpindah ke tempat lain. Tapi, warga miskin semakin sulit mencukupi kebutuhan hidup dan memperoleh pekerjaan akibat penggusuran. Ahok seharusnya memikirkan efek domino yang disebabkan oleh kebijakannya.

Warga yang lemah berada dalam situasi tersudutkan untuk mempertahankan hunian. Tak jarang cercaan dilayangkan oleh Ahok kepada mereka. Sedangkan, ia tidak berlaku sama kepada konglomerat. Properti mewah dibangun di atas pulau reklamasi tanpa IMB karena perda zonasi belum ditetapkan. Pemprov DKI lantas hanya menyegel bangunan. Bagaimana mungkin pemerintah didikte oleh pengembang untuk menentukan rencana zonasi?

Potret ketidakadilan itu selaras dengan ketimpangan ekonomi di Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta melaporkan angka ketimpangan ekonomi atau rasio gini di DKI pada Maret 2016 sebesar 0,41 masih di atas indeks rata-rata nasional sebesar 0,39. Tahun 2014, rasio gini DKI tercatat sebesar 0,43 persen, lalu tahun 2015 angka meningkat jadi 0,46. Hal itu menggambarkan betapa kritis kesenjangan antara orang kaya dan miskin di Jakarta pada masa kepemimpinan Ahok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun