Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Populi Center: Ahok di Antara Skandal dan Kinerja

8 Juni 2016   21:02 Diperbarui: 8 Juni 2016   21:22 1984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tingkat popularitas Ahok berdasarkan survei, April 2016. Sumber: Populi Center"][/caption]

Berbagai survei turut menyemarakkan atmosfer jelang Pilkada DKI 2017. Masing-masing lembaga survei berlomba untuk meraih kepercayaan publik. Baik partai politik maupun bakal calon kontestan mengharapkan prediksi yang menguntungkan, tak terkecuali pihak yang mencari peluang dari survei abal-abal. Masyarakat Jakarta pun merespon dengan antusias karena pilkada nanti diperkirakan menjadi ajang pertarungan sengit antara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan penantangnya.

Ahok memang menyita perhatian publik seiring dominasi pemberitaan media massa yang terpusat kepadanya. Selain ia populer dengan menjabat gubernur, sepak terjangnya tak lepas dari kontroversi dan polemik di tengah masyarakat. Tidak saja diduga terlibat dalam skandal Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta, ia menciptakan kegaduhan politik terhadap lembaga-lembaga negara. Beberapa kebijakannya juga acapkali mempertemukan rakyat versus aparat dalam sejumlah konflik vertikal dan gugatan peradilan.

Namun, Populi Center merilis hasil survei yang menggembirakan bagi pendukung Ahok sekaligus disertai tanda tanya dari para lawan politiknya pada April lalu. Disebutkan kepuasan publik sebanyak 81,5% atas kepemimpinan Ahok. Survei ini yang ketiga kali terhitung Desember 2015 dan Februari 2016 dengan judul “Pilgub Jakarta: Rasionalitas Pemilih di Antara Skandal dan Kinerja”. Teknik pengambilan sampel menggunakan multistage random sampling dengan margin of error 4.9% pada tingkat kepercayaan 95%. yang melibatkan 400 responden di enam wilayah kabupaten/kota DKI Jakarta melalui wawancara tatap muka.

Metode survei dengan jajak pendapat merupakan langkah efektif dan efisien untuk mengetahui pendapat masyarakat terkait pemilu. Cara sensus tidak dipakai karena memerlukan biaya yang besar, waktu lama, dan akses ke wilayah yang luas. Pengajuan pertanyaan kepada seluruh pemilik suara (Baca: populasi) juga membawa resiko human error dari pewawancara dan pendapat mereka bisa cepat berubah kendatipun sensus belum selesai. Dengan demikian, teknik pengambilan sampel dipilih untuk mewakili populasi di suatu bagian wilayah.

Adapun multistage random sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan membagi gugus yang besar menjadi gugus yang lebih kecil secara berjenjang dimana individu berada. Meskipun lembaga-lembaga survei lazim menerapkan teknik ini untuk mengetahui opini publik jelang pemilu, tidak berarti hasil survei merepresentasikan kondisi sebenarnya dalam masyarakat. Faktanya, hasil survei Pilkada DKI 2012 meleset dari kenyataan. Foke yang diunggulkan akhirnya tumbang pada putaran pertama dan kedua di bawah Jokowi. Bagaimana argumentasi yang dapat menjelaskannya?

"Sampling error is the deviation of the selected sample from the true characteristics, traits, behaviors, qualities or figures of the entire population."

Secara teoretis, multistage random sampling hanya tepat diterapkan di daerah yang homogen. Populasi mesti mempunyai karakteristik seragam, sehingga pengambilan sampel memiliki tingkat akurasi yang tinggi untuk mewakilinya. Jika tidak, hasil survei akan bias. Percuma margin of error besar jika pengambilan sampel tidak mencerminkan populasi. Validity tidak terpenuhi. Penentuan teknik sampling yang tidak tepat menyebabkan kesalahan pembuatan kerangka sampel. Jadi, generalisasi tidak didukung dengan sampel yang representatif.

Terlebih, responden yang sama diajukan pertanyaan ulangan walaupun wawancara dilakukan pada waktu berbeda. Sebab, responden cenderung mengingat jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Reliability diragukan. Bisa saja survei sengaja dilanjutkan kepada responden yang sama karena hasilnya sesuai yang diharapkan. Kemudian, model atau format pertanyaan tidak diubah. Dalih untuk menguji stabilitas pendapat responden lantas dikemukakan agar maksud terselubung di balik survei tidak terungkap.

Ada atau tidaknya pengaruh Sunny Tanuwidjaja terhadap peneliti di Populi Center, banyak hal mendasar dan logis yang seyogyanya diperhatikan untuk menelaah hasil survei yang dirilis yaitu survey reliability dan validity seperti yang telah dipaparkan. Toh, tidak berlaku pasal penipuan guna menjerat survei yang salah. Kalau bukan sampling error, penyebabnya dianggap sebatas human error. Pertimbangan biaya yang murah juga turut menentukan pilihan akan teknik jenis random sampling itu.

Skandal dan kinerja

Selanjutnya, tujuan Populi Center mengadakan survei ialah untuk melihat apakah petahana masih kuat di Pilgub DKI dan apakah pemilih Jakarta mampu membedakan informasi skandal dan menilai kinerja. Survei dilatarbelakangi oleh dua kasus yang sedang diusut oleh KPK, yakni pembelian lahan Sumber Waras dan suap raperda reklamasi. Karena itu, kedua informasi seputar kasus merupakan variabel-variabel independent yang seharusnya diperdalam untuk mengukur variabel dependent berupa opini publik terhadap kinerja kepemimpinan Ahok.

Hubungan variabel independent dan dependent dalam pengukuran ialah sebab dan akibat (kausalitas). Tidak valid jika kinerja kepemimpinan Ahok diukur dengan variabel lain yang tidak terkait kedua kasus tersebut, sehingga responden tidak ditanyai dengan pertanyaan yang berorientasi pada atribut variabel. Akibatnya, tidak terdapat benang merah antara penilaian terhadap informasi skandal dan kinerja.

Apabila tujuan survei untuk mengetahui apakah pemilih mampu membedakan informasi skandal dan menilai kinerja, korelasi keduanya perlu jelas dahulu. Dengan kata lain, peneliti wajib mencari variabel lain yang menghubungkan keduanya. Variabel ini bisa tunggal atau jamak asalkan memiliki atribut atau ciri standar yang dapat diberlakukan pada kedua variabel yang dihubungkan. Dan, ciri standar berfungsi sebagai parameter pembeda. Pengertian atau definisi tentang kinerja dapat menunjukkan variabel penghubung dan ciri yang dimaksud.

Menurut Mangkunagara (2002:22), kinerja adalah hasil kerja baik secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja meliputi:
1. Kedisiplinan atau ketaatan terhadap aturan;
2. Wewenang;
3. Inisiatif;
4. Efektivitas dan efisiensi.

Keempat faktor itu merupakan variabel-variabel penghubung antara variabel informasi skandal dan kinerja. Dari setiap variabel penghubung diturunkan atribut atau ciri standar untuk melakukan pengukuran. Misalnya, wewenang diterjemahkan soal sejauh apa komunikasi bersifat transparan dan bagaimana kebijakan dijalankan, sewenang-wenang atau tidak.

Sedangkan, Populi Center mengukur kinerja kepemimpinan Ahok tanpa menunjukkan keterkaitan dengan kasus Sumber Waras dan reklamasi. Kualitas dan model pertanyaan dalam wawancara tidak sesuai tujuan dan latar belakang survei. Tampak absurd jika melihat judulnya karena substansi yang diangkat berbeda. Bahkan, logical inconsistency muncul karena data-data saling bertolak belakang. Survei sebut mayoritas publik tidak percaya bahwa Ahok terlibat korupsi, tapi persentase kejujuran dan keberanian melawan korupsi rendah.

----------***---------

Artikel terkait:

Senjakala Pencitraan Ahok

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun