Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ngaco, Ahok Bilang Perjanjian Preman Legal

21 Mei 2016   21:47 Diperbarui: 21 Mei 2016   23:14 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menurut (Ketua KPK) Agus Rahardjo, semestinya perjanjian Ahok dengan pengembang reklamasi dibuat dengan menunggu peraturan daerah terlebih dahulu. Detik.com

Si Ahok lagi nyahok kena tonjok Ariesman Widjaja. Kayaknya sih biasa kalau dulu sohib, trus sekarang berseberangan gegara kepergok KPK.

“Enak aja, lo. Bukannye nengokin kemari, malah sibuk pencitraan dan bela diri. Udah deh, ntar juga dikandangin.Yang ngebayarin pempek tuh gue! Elo mah ngibrit aje bareng si bos. Dasar keong emang lo pade!”

“Ahh, mending dengerin Koes Plus, nyok! Mari-mari oo.. berterus terang oo.. jangan lewat oo.. pintu belakang..”

Memang apes nasib Ariesman. Demi perusahaan yang digadang-gadang bakal memberi kenangan manis di hari tua, ia justru berurusan dengan penyidik KPK dalam posisinya sebagai presiden direktur. Tak tanggung-tanggung, ia tersangkut operasi tangkap tangan (31/3) yang menjaring M. Sanusi, Ketua Komisi D DPRD DKI. Layaknya badan intelijen yang menyangkal keterlibatannya ketika agennya tertangkap, PT Agung Podomoro Land pun membantah pengakuan Ariesman tentang dana 6 miliar yang diminta oleh Gubernur DKI, Ahok.

Namun, operasi intelijen serapat apapun bisa tercium kebusukannya jika ada suara “orang dalam” yang membocorkannya. Skandal WMD (Weapons of Mass Destruction) di Irak misalnya, media internasional membocorkan kesalahan informasi intelijen yang dijadikan pembenaran bagi AS dan sekutunya menginvasi negara yang dikuasai Saddam Husein itu. Setelah perang berkecamuk dan puluhan ribu jiwa melayang, mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair kemudian meminta maaf.

Banyak contoh kasus menunjukkan peran pers yang berpengaruh besar untuk mengubah arus informasi. Dan, masyarakat Indonesia membutuhkan kehadiran pers sebagai pendobrak status quo dari jajaran elit pemerintahan yang masih menjalankan sistem patron-client politics. Patgulipat penguasa dan pemilik modal atau pengusaha seakan melahirkan tradisi yang jamak ditemui. Mereka berkelindan kepentingan dengan saling tawar-menawar kebijakan meskipun rakyat menjadi korban.

***

Koran Tempo Edisi 11 Mei sontak menghenyakkan publik. Perubahan cukup ekstrim ditampakkan dengan pemberitaan seputar perjanjian antara Ahok (Pemprov DKI) dan para pengembang reklamasi. Pengakuan Ariesman Widjaja yang diungkap oleh Tempo merupakan pintu masuk grand corruption yang menggambarkan persengkongkolan di balik proyek reklamasi. Terbongkarnya penyuapan saat pembahasan raperda reklamasi hanyalah narasi pembuka sebelum publik diajak menyaksikan rangkaian episode selanjutnya.

Ahok selaku Gubernur DKI boleh saja membantah pemberitaan Tempo. Toh, Ketua KPK menyatakan untuk menyelidikinya. Dengan kembali mengulang gaya red herring atau pengalihan isu seperti lazimnya dilakukan, Ahok mengulik perjanjian tahun 2012 antara Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara mewakili Pemprov DKI dan Pusat beserta pengembang (PT Manggala Krida Yudha) semasa kepemimpinan Fauzi Bowo. Ia melihat fakta bahwasanya perjanjian itu tidak terdapat klausul kontribusi. Padahal, pokok persoalan yang sedang ditujukan kepadanya mengenai legalitas perjanjian.

1. Perjanjian yang dibuat oleh Ahok dan pengembang di tahun 2014 tidak memiliki payung hukum, karena:

Pemprov DKI pada saat perjanjian dibuat belum mengusulkan pembahasan raperda reklamasi yang mencakup Rencana Zonasi dan Rencana Strategis (Tata Ruang Kawasan Pantura) sesuai dengan amanat Perpres No. 122 tahun 2012 dan UU No. 1 tahun 2014 yang lex-specialis mengatur kegiatan reklamasi.

Perjanjian tertuang dalam Berita Acara Rapat Pembahasan Kontribusi Tambahan di bulan Maret 2014, sedangkan UU No. 1 tahun 2014 diterbitkan di bulan Januari 2014. Tidak saja melanggar perpres, perjanjian itu melangkahi Undang-undang.

2. Ahok menggunakan diskresi yang tidak sesuai peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, karena:

Kesatu, diskresi diperuntukkan jika dan hanya jika ketentuan peraturan perundang-undangan memberikan pilihan. Adapun jelas bahwa Perpres No. 122 tahun 2012 dan UU No. 1 tahun 2014 mewajibkan Rencana Zonasi dan Rencana Strategis (Tata Ruang Kawasan Pantura).

Kedua, diskresi digunakan jika dan hanya jika peraturan perundang-undangan tidak mengatur atau adanya kekosongan hukum, tidak lengkap dan tidak jelas.

Ketiga, diskresi juga menekankan pada kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, penyelamatan kemanusiaan dan keutuhan negara.

Keempat, Undang-undang ini tidak mengatur bagaimana pemerintah dapat membuat perjanjian kerja sama dengan pihak swasta dimana mengandung unsur kepentingan bisnis.

3. Apabila Ahok menggunakan diskresi dengan tujuan perpanjangan/penerbitan izin reklamasi atas dasar perjanjian antara Pemprov DKI dan pengembang,UU No. 30 tahun 2014 menyebutkan bahwa

Bagian Kelima pada Pasal 39 ayat (1)

Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi dengan berpedoman pada AUPB dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apakah izin reklamasi yang diperpanjang/diterbitkan oleh Ahok berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Tidak. Karena itu, proyek reklamasi dimoratorium mengingat UU No. 1 tahun 2014 dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Izin reklamasi dikeluarkan tanpa dasar Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

Faktanya, pulau-pulau yang telah disegel (C, D, dan G) selama ini dalam pengawasan pemerintah daerah di bawah komando Ahok. Pergantian kepemimpinan seharusnya menindaklanjuti kebijakan yang berjalan dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan.

4. Kesalahan diskresi dan penerbitan izin reklamasi adalah penyalanggunaan wewenang akibat melanggar peraturan perundang-undangan. Bagian Kesatu UU No. 30 tahun 2014 pada Pasal 8 ayat (2) berbunyi,

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan:

a. peraturan perundang-undangan; dan

b. AUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik).

Lantas, salahkah Fauzi Bowo mengeluarkan izin reklamasi secara hukum? Izin yang ia keluarkan mempunyai landasan hukum berupa Keppres No. 52 tahun 1995, Perda No. 8 tahun 1995 tentang Reklamasi dan Tata Ruang Pantura Jakarta berikut Perda No. 1 tahun 2012 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Wilayah. Di masanya Perpres No. 122 tahun 2012 belum diterbitkan, sehingga perjanjian yang ia sepakati bersama pengembang tidak melanggar hukum.

Ada atau tidaknya kontribusi reklamasi pada saat Fauzi Bowo menjabat berada di ranah kewenangan pemerintah daerah dan wewenang gubernur. Di sisi lain, asal-muasal kontribusi tidak tercantum dalam ketentuan perundang-undangan melainkan sebatas surat rekomendasi dari Menteri Negara Ginandjar Kartasasmita yang dipertegas oleh surat dari Armida S Alisjahbana/Ketua Bappenas bernomor 001/M.PPN/01/2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun