Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebohongan Ahok soal NJOP dan Kesalahan Prosedur Pembelian Lahan Sumber Waras

18 April 2016   17:34 Diperbarui: 19 April 2016   03:34 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Live interview Kabar Petang TV One (16/4) bersama Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang terkait kasus Sumber Waras."][/caption]Sebelum memanggil Gubernur DKI Ahok, KPK telah meminta keterangan dari 33 saksi soal pembelian lahan RS. Sumber Waras. Pemeriksaan penyidik KPK lantas mengerucut dan mengarah kepada orang nomor satu di Jakarta itu. Penantian publik pun terjawab dengan pemberkasan keterangan Ahok melalui BAP. Wajar jika KPK meningkatkan status penyelidikan.

Hal itu sejalan dengan audit investigatif yang diserahkan oleh BPK atas permintaan KPK. Berdasarkan audit tersebut, BPK mengungkap adanya kerugian negara. Sebelumnya, KPK juga meminta PPATK untuk menelisik aliran dana tak wajar pada pihak-pihak yang diduga terlibat. Baik BPK maupun PPATK merupakan lembaga resmi negara yang selalu mendukung KPK untuk menguak kasus-kasus korupsi di tanah air.

Meskipun sampai detik ini KPK belum melakukan gelar perkara dan mengabarkan siapa tersangka dalam kasus Sumber Waras, tidak berarti pengusutan mengalami jalan buntu. Pernyataan salah satu Komisioner KPK, Alexander Marwata menggambarkan pintu masuk perkara. Ia menegaskan penyidikan dimulai jika mens rea (niat jahat) ditemukan dan tidak semata-mata oleh kesalahan prosedur.

Pernyataan Alex menyiratkan KPK mendapati kesalahan prosedur dalam pembelian lahan Sumber Waras. Maka, penyidik memerlukan pendalaman lebih lanjut. Suatu kesalahan dapat dipidana jika mengandung unsur kesengajaan (colpus) yang memiliki sifat mengetahui (weten) dan menghendaki (willen). Ketika suatu kebijakan dirancang dengan mengabaikan hukum yang mengaturnya, niscaya terdapat niat jahat. Jangankan disengaja, kelalaian yang mengakibatkan kerugian negara saja dapat digolongkan korupsi jika menguntungkan pihak tertentu.

Contohnya, kasus yang menjerat tiga pejabat Dinas Kesehatan Jawa Barat. Ketiga terdakwa tersebut lalai dan menyalahi wewenang dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan bagi rumah sakit dan puskesmas di seluruh Jawa Barat. Pengadaan barang yang menggunakan APBD Jawa Barat tahun 2012 itu terjadi kelebihan harga beli barang. Hal ini mengakibatkan tujuh perusahaan meraup keuntungan yang terbilang cukup besar.

Seperti saya ulas sebelumnya, indikasi korupsi dalam kasus Sumber Waras menyasar peristiwa hukum baik perdata, pidana, maupun tata administrasi. Jika kasus itu ditelusuri prosesnya, banyak hal terungkap dan terbagi dalam beberapa peristiwa antara lain:

Pertama, pertemuan antara Gubernur DKI dan pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) terkait penawaran penjualan lahan RSSW.

Kedua, pembahasan Rancangan APBD Perubahan 2014 hingga persetujuan mendagri.

Ketiga, disposisi Gubernur DKI ke Bappeda agar SKPD Dinas Kesehatan mengadakan anggaran pembelian lahan RSSW.

Keempat, transaksi jual-beli antara Pemprov DKI dan YKSW serta pembuatan AKTA Pelepasan Hak atas tanah oleh notaris.

Kelima, pengambilalihan lahan RSSW atau penyerahan hasil.

Peristiwa pertama dan keempat menjadi sorotan untuk membongkar kebohongan Ahok soal penentuan NJOP lahan Sumber Waras.
Setelah pertemuan antara Ahok dan pihak YKSW selaku pihak kedua, Jan Darmadi (Ketua Umum) dan Kartini Muljadi (Ketua) mengajukan surat penawaran lahan Sumber Waras senilai NJOP 20.755.000/m2.

Surat penawaran tertanggal 7 Juli 2014 itu dijawab oleh Ahok dengan disposisi pada 8 Juli 2014 ke Bappeda untuk menganggarkan pembelian lahan Sumber Waras di SKPD Dinkes. Lalu, angka 800 milyar muncul guna kegiatan pembelian tersebut di RAPBD Perubahan 2014 yang dievaluasi oleh mendagri. Anggaran sebesar itu pula yang dibayarkan kepada YKSW lewat mekanisme Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP).

Namun, Ahok menolak tudingan bahwa dirinyalah yang menentukan nilai NJOP Sumber Waras. Ia berdalih Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang menyebutkan NJOP Jalan Kyai Tapa.

"NJOP itu yang nentuin Menteri Keuangan dan ada rumusnya. Coba tanya sama orang REI pada marah-marahin saya gara-gara NJOP-nya naik. Kecuali semua enggak naik, yang dinaikin cuma RS Sumber Waras," kata Basuki dalam acara pembukaan Rakerda REI (Real Estate Indonesia) DKI di Hotel Ritz Carlton, Selasa (1/12/2015) -Kompas.com

Pernyataan Ahok bertentangan dengan fakta bahwa kewenangan penetapan dan pengelolaan PBB mengalami desentralisasi per 1 Januari 2014. Berdasarkan UU PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) No. 28 tahun 2009, Kepala Daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan besarnya NJOP, yang nantinya akan dipakai sebagai dasar untuk pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) sesuai Pasal 79 ayat (1).

Pasal 79 berbunyi,

(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.

(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Daerah.

Kesiapan pengelolaan PBB menjadi pajak daerah menurut UU PDRD adalah perda dan DKI Jakarta sudah merampungkan Perda No. 16 tahun 2011 tentang PBB P2. Karena DKI tidak terbagi dalam daerah-daerah kabupaten/otonom, yang berwenang menentukan dan menetapkan tarif pajak serta NJOP ialah gubernur. Bab V tentang Dasar Pengenaan dan Perhitungan Pajak pada Perda No. 16 tahun 2011 bagian kesatu Pasal 7, besarnya NJOP ditetapkan setiap (satu) tahun dengan peraturan gubernur.

Saat Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI, ia menggunakan kewenangannya untuk menetapkan tarif pajak progresif tahun 2013 yang berlaku mulai 2014. Pengenaan pajak daerah untuk satu tahun pajak harus ditetapkan pada tahun sebelumnya. Dan, NJOP adalah dasar pengenaan PBB P2. Jokowi pun menginisiasi kenaikan NJOP di seluruh Jakarta tahun 2014 menurut Pergub No. 175 tahun 2013. Rata-rata rentang kenaikan NJOP antara 20% - 140%.

Lantas, apa dasar Ahok menyetujui pengadaan tanah berdasarkan kenaikan NJOP Sumber Waras pada tahun 2014? Sedangkan, kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib mengikuti UU No. 2 tahun 2012 yang pelaksanaannya diatur dalam Perpres No. 71 tahun 2012. Bagian ketiga Perpres No. 71 secara detil menjelaskan prosedur identifikasi dan inventarisasi lahan atau tanah yang hendak dibebaskan.

Pelaksanaan pengadaan tanah mesti dipersiapkan oleh Satuan Tugas yang membidangi prosedur tersebut. Selanjutnya, hasil kerja Satuan Tugas digunakan dalam proses penentuan nilai ganti kerugian. Pengadaan tanah tidak sebatas mengacu sertifikat atau surat tanah yang dimiliki oleh pihak yang berhak atas tanah. Kejanggalan sebenarnya sudah terlihat dari pertemuan antara Ahok dan pihak YKSW. Gubernur bukanlah instansi yang memerlukan tanah (Dinkes DKI). Sebaliknya, instansi bersangkutan justru merekomendasikan lahan lain yang dikelola oleh pemprov.

Ahok berpendapat kebijakannya untuk membeli lahan Sumber Waras sesuai dengan Perpres No. 40 tahun 2014, khusunya Pasal 121. Tapi, perpres ini hanya merubah dua pasal dari Perpres No. 71, yaitu Pasal 120 dan 121. Dengan demikian, kedudukan pasal-pasal yang tidak diubah tetap bermakna sebagaimana awalnya. Pasal 121 tidak berdiri sendiri, sehingga salah diartikan jika Pemprov DKI langsung membeli lahan Sumber Waras tanpa prosedur pengadaan tanah. Pengertian "dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah" adalah tidak diwajibkan melalui Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau Kepala Kantor Pertanahan.

Selain itu, pembelian lahan Sumber Waras tidak dapat dilakukan karena lahan berstatus HGB di atas tanah negara. Pengadaan tanah bisa dijalankan dengan pelepasan hak. Akta Notaris tidak menyebut jual-beli, tetapi pelepasan hak. Oleh karena itu, pengadaan tanah mengharuskan ganti-rugi bukan pembelian. Nomenklatur "pembelian" lahan Sumber Waras dalam APBD-P 2014 yang bertentangan dengan fakta di lapangan potensial menimbulkan delik hukum (perbuatan pidana).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun