Pelaksanaan pengadaan tanah mesti dipersiapkan oleh Satuan Tugas yang membidangi prosedur tersebut. Selanjutnya, hasil kerja Satuan Tugas digunakan dalam proses penentuan nilai ganti kerugian. Pengadaan tanah tidak sebatas mengacu sertifikat atau surat tanah yang dimiliki oleh pihak yang berhak atas tanah. Kejanggalan sebenarnya sudah terlihat dari pertemuan antara Ahok dan pihak YKSW. Gubernur bukanlah instansi yang memerlukan tanah (Dinkes DKI). Sebaliknya, instansi bersangkutan justru merekomendasikan lahan lain yang dikelola oleh pemprov.
Ahok berpendapat kebijakannya untuk membeli lahan Sumber Waras sesuai dengan Perpres No. 40 tahun 2014, khusunya Pasal 121. Tapi, perpres ini hanya merubah dua pasal dari Perpres No. 71, yaitu Pasal 120 dan 121. Dengan demikian, kedudukan pasal-pasal yang tidak diubah tetap bermakna sebagaimana awalnya. Pasal 121 tidak berdiri sendiri, sehingga salah diartikan jika Pemprov DKI langsung membeli lahan Sumber Waras tanpa prosedur pengadaan tanah. Pengertian "dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah" adalah tidak diwajibkan melalui Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau Kepala Kantor Pertanahan.
Selain itu, pembelian lahan Sumber Waras tidak dapat dilakukan karena lahan berstatus HGB di atas tanah negara. Pengadaan tanah bisa dijalankan dengan pelepasan hak. Akta Notaris tidak menyebut jual-beli, tetapi pelepasan hak. Oleh karena itu, pengadaan tanah mengharuskan ganti-rugi bukan pembelian. Nomenklatur "pembelian" lahan Sumber Waras dalam APBD-P 2014 yang bertentangan dengan fakta di lapangan potensial menimbulkan delik hukum (perbuatan pidana).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H