Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Tikung Jokowi Izinkan Reklamasi Pantura

27 Februari 2016   15:28 Diperbarui: 6 April 2016   17:16 2378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jokowi Tak Perpanjang Izin Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Foto: Kompas.com)"][/caption]

Proyek reklamasi 17 Pulau di Pantai Utara Jakarta menuai kontroversi yang hingga kini belum usai. Polemik bermula dari kritik Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti kepada Ahok karena mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G atau Pluit City untuk PT Muara Wisesa Samudra, entitas anak PT Agung Podomoro Land Tbk. Izin itu dikeluarkan melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014.

Ahok berpandangan bahwa SK yang dikeluarkannya guna memperpanjang izin reklamasi dari gubernur terdahulu, Fauzi Bowo (Foke). Sementara, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan SK Gubernur DKI tersebut cacat hukum karena dipandang tidak relevan dan tidak lagi berlaku.

“Anda tidak bisa batalkan orang nyambung izin, kan?” Tanya Ahok.

Ahok menciderai sikap dan keputusan Jokowi yang pernah menjadi atasannya. Ia mengambil langkah sepihak setelah dilantik sebagai gubernur.

"Izin satu pulau reklamasi sudah habis. Saya enggak perpanjang izinnya," ujar Jokowi di sela-sela rapat kerja bersama dengan Komisi IV DPR RI di kompleks parlemen, Kamis (12/12/2013).

Pada era pemerintahan Fauzi Bowo, 17 izin pembangunan reklamasi di pantai utara Jakarta. Dari jumlah itu, Fauzi mengizinkan satu izin bangun saja, yakni Pantai Indah Kapuk (PIK) oleh perusahaan developer Agung Sedayu Grup. Satu izin pembangunan tersebut diketahui habis September 2013 lalu. Otomatis, tidak boleh ada reklamasi di pantai utara sebelum izin diperpanjang (Megapolitan, Kompas.com).

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berdalih bahwa keputusannya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Padahal, jelas-jelas telah terbit Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Provinsi.

Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 pasal 32 ayat 2 tercantum

"Izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu izin berakhir”.

**

Singkat cerita, Indonesia dilanda krisis moneter jelang lengsernya Soeharto dan proyek reklamasi berhenti. Untuk melanjutkan proyek itu, Pemprov DKI menggunakan kewenangan sendiri dengan mengacu pada UU No. 29 Tahun 2007 tentang ibukota negara seperti ditegaskan oleh Kepala Bappeda DKI, Tuty Kusumawati. Gubernur DKI Jakarta berwenang pula atas wilayah laut sampai 12 mil laut dalam pelaksanaan otonomi daerah menurut Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014.

Faktanya, perizinan proyek reklamasi di masa kepemimpinan Foke dan Ahok berbeda. Foke mengeluarkan perizinan dalam bentuk Surat Keputusan, sehingga usia berlakunya terbatas dan sekali pakai saja. Sebelum Ahok dilantik sebagai gubernur, terbit Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 yang pada Pasal 72  poin (c) menyebutkan bahwa Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, sepanjang yang terkait dengan penataan ruang tidak berlaku. Karena itu, otomatis Ahok tidak dapat memperpanjang izin reklamasi dengan dasar Keppres No. 52 Tahun 1995 seperti pada masa Foke.

UU No. 29 Tahun 2007 tentang ibukota negara dan UU No. 23 Tahun 2014 juga bukanlah produk hukum yang secara khusus mengatur reklamasi. Tapi, UU No. 1 Tahun 2014 bersifat khusus. Lex specialis derogat legi generali bahwasanya hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Pantai Utara Jakarta merupakan kawasan strategis nasional, maka kewenangan perizinan tetap berada di level pemerintah pusat, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kemudian, UU No. 27 Tahun 2007 Bagian Kelima tentang Reklamasi pada Pasal 34

(1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.

(2) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan:
 a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;
 b. keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta
 c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.

(3) Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.

Perhatikan butir (3) di atas! Peraturan Presiden menjadi landasan perencanaan dan pelaksanaan reklamasi, lalu terjawab dengan lahirnya Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Dengan pembelaan diri yangngalor-ngidul, Ahok tidak mampu menjelaskan landasan hukum yang valid untuk memperpanjang izin proyek reklamasi yang diperkirakan berrnilai investasi ratusan trilyun itu. Namun, bukan Ahok kalau tak jago ngeles. Bergaya memancing kakap merah (red herring), ia membuat argumentasi yang keluar dari pokok persoalan.

"Sekarang ada enggak LSM yang protes reklamasi sungai? Dari Sungai Ciliwung selebar 20 meter jadi cuma 5 meter. Singapura reklamasi pulau terus, China juga reklamasi di Selat Taiwan, Korea Selatan juga begitu. Kita aja yang lucu gitu lho," kata Basuki (Bisnis Keuangan, 8/9/2015. Kompas.com).

Ahok juga berkelit dengan menuding kegiatan penancapan ribuan tiang pancang di Pelabuhan Tanjung Priok oleh PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo) yang menurutnya tidak berizin reklamasi.

Argumentasi Ahok itu memiliki pola sesat pikir yang sama dengan cibiran Abdul Aziz ketika mempersoalkan penggusuran kawasan Kalijodo. Abdul Aziz mempertanyakan konsistensi Pemprov DKI yang tidak turut menertibkan Mal Season City dan Taman Anggrek. Di sisi lain, Ahok mengakui tidak dapat membongkar bangunan komersial di atas RTH (Megapolitan, 24/2. Kompas.com).

Jika diumpamakan ada seorang pencuri tertangkap oleh polisi, ia berkilah “Kenapa saya ditangkap, sedangkan banyak maling yang masih berkeliaran?” Nah, pembelaan Ahok dan Aziz setipe dengan cara maling itu berkilah. Alasan mereka tidak menghilangkan adanya pelanggaran yang sedang dituduhkan.

Catatan:

Keputusan berbeda dengan Peraturan. Keputusan adalah norma hukum yang bersifat kongkret, individual, dan sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, peraturan selalu bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus menerus (dauerhaftig). 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun