Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Intellectual War” Kasus Mirna Lawan Cocoklogi Polisi

2 Februari 2016   14:53 Diperbarui: 2 Februari 2016   16:40 2646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasal 340 yang disangkakan kepada gadis berusia 27 tahun, Jessica, tidak main-main. Layakkah ia kelak didakwa di kursi pesakitan atas tuduhan pembunuhan berencana? Sejauh apa keterlibatannya dalam kematian Mirna dapat dibuktikan secara ilmiah? Dan, apakah logika hukum bersesuaian dengan logika ilmiah yang menjadi induknya?

Disamping tiga pertanyaan mendasar tersebut, beberapa hal menjadi tugas rumah untuk para penegak hukum dalam pengungkapan tragedi kematian Mirna, antara lain:

Pertama, polisi harus menjelaskan kepada JPU bahwa telah terjadi tindak pidana seperti yang dituduhkan.

Kedua, polisi harus meyakini bahwa tidak ada calon tersangka lain atau setidak-tidaknya penetapan status tersangka tidak terbantahkan.

Ketiga, bukti materiil terpenuhi agar kasus dapat dilanjutkan ke persidangan.

Keempat, polisi berani menunjukkan bahwa tidak ada rekayasa dalam penyelidikan dan penyidikan kasus kematian Mirna. Ini tentang akuntabilitas dan transparansi lembaga negara terhadap publik.

Kelima, proses penyelidikan hingga penuntutan dapat dipertanggungjawabkan dengan berlandaskan asas keadilan (pro justicia).

Tidak ada “hidung Pinokio” dalam metode ilmiah

Jessica lolos deteksi kebohongan. Walaupun penggunaan lie detector sejak lama diharamkan oleh para psikolog dunia, nyatanya masih banyak psikolog dan kriminolog Indonesia yang gemar menilai gerak-gerik atau gesture seseorang untuk mengomentari suatu kasus pidana. Mereka lupa bahwa sejak era John Locke, positivisme merevolusi seluruh bidang keilmuan, termasuk hukum acara pidana.

Pembuktian dalam hukum pidana tidak boleh bersifat abstrak melalui asumsi-asumsi tanpa hal yang kongkret. Artinya, perbuatan seseoranglah yang dibuktikan dan dihukum, bukan berdasarkan pendapat orang lain tentang dirinya sehebat apapun keahlian orang yang berpendapat itu. Logika ilmiah mengenal argumentum ad verecundiam bahwasanya kebenaran tidak tergantung pada kepakaran seseorang.

Selama ini, media televisi acapkali menayangkan para pembaca ekspresi wajah terkait kasus Mirna. Ini menyesatkan. Bahkan, adapula kriminolog yang menilai karakter orang lewat bentuk wajah, menggelikan. Mereka tak ubahnya penghibur di pasar malam yang mencari recehan dengan membaca garis tangan. Saya menyesalkan jika ada TV berita yang seperti itu. Dunia sains tidak menggubris mereka, hanya mereka sendiri yang menyebut pendapat mereka ilmiah.

Cocoklogi atau penggatukan

Jika Anda sejak awal mengikuti artikel-artikel saya, banyak kesesatan berpikir yang berulangkali terungkap ketika metode ini dipakai. Kesesatan itu tidak disadari oleh pemikirnya karena ketidaktahuan dan kemalasan untuk berpikir secara logis.

Demikian pula soal tuduhan bahwa Jessica adalah pembunuh Mirna. Sebelumnya, polisi mengumumkan bahwa 4 alat bukti telah dimiliki dan mungkin bertambah yang terdiri dari:
1. Keterangan saksi;
2. Sampel minuman kopi;
3. Surat atau dokumen dan rekaman CCTV;
4. Keterangan ahli.

Adakah di antara bukti-bukti itu yang memastikan perbuatan Jessica dengan sengaja meracuni atau menaruh racun ke dalam minuman kopi yang dikonsumsi oleh Mirna? Informasi yang dibocorkan ke media, rekaman CCTV pun sama sekali tidak menunjukkannya.

Katanya Jessica sempat mencari keberadaan CCTV dan menutupi pandangan kamera dengan tas merchandise. Ia kemudian tampak mengangkat gelas kopi Mirna saat menunggu kedatangan Mirna dan Hani. Ia juga dipersepsikan melangkah mundur untuk “menikmati hasil karyanya” ketika Mirna kejang-kejang. Semua ini sepeti puzzle yang coba dicocok-cocokkan dengan pendapat para ahli dan keterangan saksi lainnya agar tercapai kesimpulan bahwa Jessicalah pelakunya.

Tidak adakah kemungkinan tersangka lainnya atau sudahkah polisi memvalsifikasi potensi keterlibatan orang lain dalam kasus ini? Polisi berhak untuk menetapkan tersangka. Namun tanpa ketelitian dan obyektivitas, nasib hidup seseorang dipertaruhkan. Jessica terancam vonis mati.

Adrianus Meliala memakai istilah “beyond reasonable doubt”. Dengan kata lain, kalau bukan Jessica, lantas siapa? Cara berpikir praktis dan pragmatis ini berseberangan dengan metode ilmiah karena banyak tangan yang bisa menjangkau TKP. Deduksi tidak mungkin diterapkan, lalu mengumpulkan bukti-bukti untuk sekedar menguatkan. Jika gaya pengusutan seperti ini dianut, siapapun bisa dijerat sebagai tersangka dan tinggal mengonstruksi data dan fakta sekehendak penyidik.

Padahal, metode ilmiah harus mencari pelbagai kemungkinan yang dapat membantah sebelum menyimpulkan. Barangsiapa yang mengajukan dalil, maka ia pulalah yang harus membuktikan. Jangan sampai terjadi kekeliruan dengan proving innocence, yaitu Jessica bersalah karena ia tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Seperti ucapnya, ”Kalau saya dicurigai, ya, memang begitu kejadiannya.”

-------------***-------------

Kasus Mirna: Kejahatan atau Kecelakaan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun