Pasal 340 yang disangkakan kepada gadis berusia 27 tahun, Jessica, tidak main-main. Layakkah ia kelak didakwa di kursi pesakitan atas tuduhan pembunuhan berencana? Sejauh apa keterlibatannya dalam kematian Mirna dapat dibuktikan secara ilmiah? Dan, apakah logika hukum bersesuaian dengan logika ilmiah yang menjadi induknya?
Disamping tiga pertanyaan mendasar tersebut, beberapa hal menjadi tugas rumah untuk para penegak hukum dalam pengungkapan tragedi kematian Mirna, antara lain:
Pertama, polisi harus menjelaskan kepada JPU bahwa telah terjadi tindak pidana seperti yang dituduhkan.
Kedua, polisi harus meyakini bahwa tidak ada calon tersangka lain atau setidak-tidaknya penetapan status tersangka tidak terbantahkan.
Ketiga, bukti materiil terpenuhi agar kasus dapat dilanjutkan ke persidangan.
Keempat, polisi berani menunjukkan bahwa tidak ada rekayasa dalam penyelidikan dan penyidikan kasus kematian Mirna. Ini tentang akuntabilitas dan transparansi lembaga negara terhadap publik.
Kelima, proses penyelidikan hingga penuntutan dapat dipertanggungjawabkan dengan berlandaskan asas keadilan (pro justicia).
Tidak ada “hidung Pinokio” dalam metode ilmiah
Jessica lolos deteksi kebohongan. Walaupun penggunaan lie detector sejak lama diharamkan oleh para psikolog dunia, nyatanya masih banyak psikolog dan kriminolog Indonesia yang gemar menilai gerak-gerik atau gesture seseorang untuk mengomentari suatu kasus pidana. Mereka lupa bahwa sejak era John Locke, positivisme merevolusi seluruh bidang keilmuan, termasuk hukum acara pidana.
Pembuktian dalam hukum pidana tidak boleh bersifat abstrak melalui asumsi-asumsi tanpa hal yang kongkret. Artinya, perbuatan seseoranglah yang dibuktikan dan dihukum, bukan berdasarkan pendapat orang lain tentang dirinya sehebat apapun keahlian orang yang berpendapat itu. Logika ilmiah mengenal argumentum ad verecundiam bahwasanya kebenaran tidak tergantung pada kepakaran seseorang.
Selama ini, media televisi acapkali menayangkan para pembaca ekspresi wajah terkait kasus Mirna. Ini menyesatkan. Bahkan, adapula kriminolog yang menilai karakter orang lewat bentuk wajah, menggelikan. Mereka tak ubahnya penghibur di pasar malam yang mencari recehan dengan membaca garis tangan. Saya menyesalkan jika ada TV berita yang seperti itu. Dunia sains tidak menggubris mereka, hanya mereka sendiri yang menyebut pendapat mereka ilmiah.