Euforia Pilpres 2014 sudah setahun terlewati, namun atmosfer politik saat ini masih terasa kental dengan polarisasi dua kubu pengusung capres dan cawapres ketika itu. Fraksi-fraksi di DPR saling membentuk koalisi. KIH bersama Jokowi – JK dan KMP dengan Prabowo – Hatta. Kini, KIH berganti nama menjadi KP3 setelah PAN menyatakan bergabung di barisan partai-partai pendukung pemerintah.
Di negara yang menerapkan sistem demokrasi, kepentingan-kepentingan mereka dapat sejalan atau berseberangan. Mereka yang sejalan membentuk koalisi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan antar fraksi dan anggota dari fraksi yang berbeda koalisi dapat berafiliasi atau menjalin kerja sama. Terbukti banyak anggota fraksi dari suatu koalisi yang satu suara dengan anggota koalisi lain tentang rumusan suatu produk legislasi dan tugas pengawasan. Selain itu, adapula perpecahan partai-partai koalisi. Motivasi mereka beragam, mungkin atas dasar akal sehat, kekecewaan, karir politik, ideologi, balas budi, iming-iming, atau kamuflase.
Terkait kasus Novanto di MKD, hanya satu motivasi yang menyebabkan seorang anggota atau perwakilan fraksi tetap berada di koalisinya atau berpindah haluan, yakni etika. Artinya, sikap dan pendapat anggota MKD mencerminkan orang yang sadar etika atau melanggar etika.
MKD adalah Mahkamah Kehormatan Dewan yang menyelenggarakan persidangan etik, bukan pengadilan yang tunduk di bawah hukum acara pidana (KUHAP). Penasihat hukum dan pendukung Novanto mesti memahami ranah etika, sehingga tidak mencampuradukkan persoalan teknis hukum dalam perkara etis, contohnya legal standing dan keabsahan rekaman. Entah sesungguhnya paham atau tidak, isu-isu yang dilontarkan oleh kubu Novanto tampak dibuat-buat (Baca: Manipulasi).
Setiap orang pada dasarnya beretika, suka atau tidak. Etika merupakan prinsip fundamental dari keadaban manusia yang berkembang secara alamiah dan berlaku universal. Kejujuran misalnya, seseorang dapat mengetahui sendiri apakah ia sedang berlaku jujur atau berbohong. Berbeda halnya dengan etika, aturan-aturan hukum dibentuk berdasarkan kesepakatan dan dibuat terperinci untuk memperjelas batasan, larangan, sanksi, dan ancaman.
 Laporan pengaduan oleh Sudirman Said dan bukti rekaman telah mengandung substansi yang layak diteruskan lewat persidangan. Substansi persoalan terkuak dengan pertanyaan: Benarkah ada pertemuan antara SN dan Presdir PTFI? Benarkah SN mengucapkan hal-hal yang dituduhkan kepadanya dalam pertemuan itu? Tidak berbelit-belit.
Percobaan gagalkan persidangan
Lebih dari sepekan kontroversi kasus pencatutan menyandera perhatian publik. Setnov cs seolah-olah tak bergeming. Masuknya tiga awak baru dari Fraksi Golkar nyaris meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan publik pada MKD yang akan melanjutkan agenda sidang pasca putusan 24 November.
Politisi Gerindra, Desmond meragukan pernyataan Sekretaris Fraksi Golkar Bambang Soesatyo yang mendukung MKD untuk berproses secara terbuka dan transparan.
"Berarti Bambang Soesatyo ngomong itu enggak sesuai dengan orang yang ada di sini (MKD)," ucap Wakil Ketua Komisi III DPR ini. "Terbukti memang orang-orang baru ini betul-betul orangnya Novanto," kata Desmond di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/11/2015) – Kompas. com
Akbar Faizal menyebut ketiga anggota baru MKD itu meminta agar kasus Novanto ditutup.
"Pak Kahar Muzakir minta case closed dan mendapat pembenaran dari anggota Golkar lain," kata Akbar.
Di samping ketiga wakil Fraksi Golkar, dua anggota KMP lainnya, yakni Adies Kadir dan Ridwan Bae tidak berniat untuk melanjutkan persidangan. Lagi-lagi mereka mempermasalahkan legal standing dan rekaman dari Sudirman Said. Ridwan Bae ingin menganulir keputusan rapat MKD pada 24 November. Baginya, keputusan itu cacat hukum.
Sidang pun berakhir buntu (Selasa, 1/12). Lalu, mekanisme voting digulirkan dalam dua tahap. Tahap pertama, anggota MKD dihadapkan pada dua opsi: melanjutkan persidangan dengan pengesahan jadwal persidangan atau tidak melanjutkan ke persidangan karena tak cukup hasil verifikasi dan alat bukti.
Voting akhirnya dimenangkan oleh 11 suara dari PDIP, PAN, Demokrat, Nasdem, PKB, Hanura, dan Surahman sebagai Ketua MKD. Mereka memilih untuk tetap melanjutkan jadwal persidangan dengan memanggil pihak pengadu, teradu, dan para saksi. Sedangkan, keenam suara lainnya menolak untuk melanjutkan persidangan. Keenam anggota itu adalah: Kahar Muzakir (Golkar/Dapil Sumatera Selatan I), Adies Kadir (Golkar/Jawa Timur I), Ridwan Bae (Golkar/Sulawesi Tengah), (Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra/Banten III), Supratman (Gerindra/Sulawesi Tengah), dan Zainut Tauhid (PPP/Jawa Tengah IX).
Isu Pansus Freeport
Penolakan terhadap persidangan etik atas kasus Novanto memperjelas keberadaan pihak yang selama ini selalu berdalih di balik aturan tata beracara MKD. Upaya mereka belum selesai dan terakhir justru mendorong pembentukan pansus Freeport. Lepas dari fungsi dan manfaat pansus, usulan itu jelas bagian dari pengalihan isu. Mereka menyiasati pembentukan pansus agar kasus Novanto mengendap dan publik dialihkan pada figur-figur dalam rekaman Sudirman Said.
Celah masuk bagi mereka untuk mengusung isu pansus ialah kontroversi surat Sudirman Said kepada James Moffett tanggal 7 Oktober 2015. Begitu pula, pernyataan Rizal Ramli terkait surat itu menguntungkan pihak yang mencari kesempatan untuk mendeskreditkan Said. Sejak Novanto diadukan ke MKD, mereka selalu menyerang balik dengan memosisikan bahwa Said mempunyai motif dalam perpanjangan kontrak Freeport. Bahkan, ada desakan agar ia mundur dari jabatannya di Kementerian ESDM.
Usulan pembentukan Pansus Freeport sejurus dengan pernyataan mereka yang berulang-ulang menyebut bahwa pihak Freeport yang berinisiatif untuk menemui Novanto. Said menjelaskan sebaliknya bahwa pihak Freeportlah yang sejak awal diundang ke Senayan. Malahan, pengusaha Riza yang kemudian aktif mengundang dan mengondisikan pertemuan di Hotel RC, Pacific Place dengan Maroef tanpa didampingi tim Freeport. Penjelasannya disampaikan secara terbuka kepada Komisi VII kemarin dan MKD dalam sidang terbuka hari ini (Rabu, 2/12).
Pada acara sidang yang sama, Said mengklarifikasi motif surat kepada James Moffett tersebut. Imbuhnya, draft surat disusun dengan berkonsultasi kepada presiden dan selanjutnya melalui biro hukum di kementeriannya. Maka tuduhan yang menyebut bahwasanya surat itu dikirim tanpa sepengetahun presiden adalah ketidaktahuan, menurutnya.
**
Mahkamah Kehormatan yang kita saksikan sekarang seperti wadah aksi manipulasi. Rakyat harus waspada terhadap koalisi apapun karena oligarki adalah batu sandungan terciptanya demokrasi. Politik oligarki melahirkan faksi-faksi di parlemen dengan pengelompokan kepentingan partai atau golongan, dan bukan demi rakyat.
Salah satu indikasinya, pergantian perwakilan fraksi di MKD yang berbuntut upaya untuk menganulir hasil putusan rapat MKD pada 24 November. Ini juga telah dibuktikan oleh pimpinan DPR dan anggota dewan yang membabi-buta membela Setya Novanto dengan mengesampingkan fakta adanya pertemuan dan rekaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H