Alternatif paling terakhir yang direkomendasikan WHO adalah Susu Formula Khusus Prematur dan Susu Formula biasa. Pasalnya, konsumsi susu formula dapat meningkatkan risiko kebutaan karena prematuritas, pneumonia, alergi, asma, diare, ekzema, anemia, obesitas, diabetes, leukemia, gangguan pembuluh darah dan jantung. Tentu hal tersebut akan berdampak pada tingginya angka kesakitan dan membengkaknya biaya pengobatan di suatu negara.
Itulah mengapa donor ASI adalah solusi yang selaras dengan anjuran WHO sebagai langkah alternatif kedua setelah ASI dari ibu kandungnya sendiri. ASI menjawab poin Millenium Development Goals sebagai upaya menurunkan angka kematian bayi dan menjawab poin Sustainable Development Goals sebagai upaya perwujudan ketahanan pangan, perbaikan nutrisi serta menggalakkan hidup sehat. Bahkan donor ASI sejatinya adalah upaya pemberdayaan wanita agar bermanfaat bagi sesama dalam meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak.
Donor ASI adalah jembatan untuk mencapai ASI Eksklusif. Namun, telah 1 dekade lebih, proses donor ASI di Indonesia terjadi tanpa terfasilitasi agar sesuai kaidah medis, hukum dan agama. Bank ASI bertugas mengumpulkan, menskrining, menyimpan, mengolah, memproses dan mendistribusikan ASI kepada bayi dengan indikasi medis. Total 800.000 bayi menerima 1 juta liter ASI Donor/tahun melalui Bank ASI.
Setelah mempelajari prosedur donor ASI pada buku yang saya beli dengan judul Guidelines Human Milk Bank of North America, saya mendapat 3 hikmah penting.
Pertama, bahwa penapisan calon pendonor ASI nyaris sama dengan calon pendonor darah. Mengartikan, sangat mungkin untuk mendirikan Bank ASI di Indonesia dengan bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI).
Kedua, prosedur donor ASI di Luar Negeri tidak sesuai dengan kaidah ibu susu dalam agama Islam. Pada tahap homogenisasi, terjadi pencampuran ASI Donor dari 2-3 identitas yang dalam kaidah Islam akan menyamarkan nasab sepersusuan.
Dan ketiga, bahwa prosedur donor ASI di Bank ASI luar negeri terbiayai oleh negara. Mengartikan, untuk berdiri Bank ASI di Indonesia dibutuhkan mekanisme pembiayaan yang mapan, salah satunya dengan pelayanan donor ASI ditanggung oleh BPJS, sebagaimana pelayanan transfusi darah juga dibiayai oleh BPJS.
Saya bergegas  mempelajari aspek hukum mengenai Donor ASI, kemudian berguru di PMI dan Majelis Ulama Indonesia melalui KH.Chamzawi Syakur selaku Ketua Fatwa MUI Kota Malang mengenai Fatwa MUI No. 28/2013 Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu (Istirdla'). Dan ditemukan setidaknya, ada 2 payung hukum di Indonesia yang secara lugas melindungi praktek pemberian ASI.
Pertama, Peraturan Pemerintah No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif menyebutkan bahwa setiap Ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya dan apabila Ibu kandung tidak dapat memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya, maka pemberian ASI Eksklusif dapat dilakukan oleh pendonor ASI, dan setiap Ibu yang melahirkan harus menolak pemberian Susu Formula serta setiap tenaga kesehatan dilarang memberikan dan mempromosikan susu formula bayi yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif.
Kedua, pada Undang-Undang No.36/2009 tentang Kesehatan pada Pasal 200 tersebut bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI Eksklusif, dipidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 100 juta rupiah.
Tahun 2014, saya memutuskan untuk berhenti praktek sebagai dokter umum dan memfokuskan diri sebagai dokter laktasi dan konselor menyusui. Saya menemukan fenomena berbagi ASI di media sosial yang cukup meresahkan. ASI bisa menjadi media penularan penyakit. Transmisi rate pada bayi yang disusui dari ibu yang terinfeksi HIV sebesar 5-66%, dari ibu yang terinfeksi Citomegalovirus, HTLV-1, Rubella, Hepatitis B, Hepatitis C bertutut-turut sebesar 40-76%, 80%, 20-50%, <4%, < 1% dan dari ibu terinfeksi sifilis tidak terjadi penularan bila tidak ada lesi.