Upaya pengusutan kasus pemufakatan jahat Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto menuai kritik. Tiga nama menjadi sorotan dalam kasus ini Eks Presdir PT Freeport Indonesia, Ma’roef Sjamsoeddin, Setya Novanto, dan pengusaha minyak, Riza Chalid. Polemic yang lahir pasca pertemuan Setya Novanto-Riza Chalid dengan Eks Presdir PT Freeport Indonesia, Ma’roef Sjamsoeddin melahirkan beberapa spekulasi-spekulasi, terlebih setelah hasil rekaman pertemuan tersebut(Rekaman “Papa Minta Saham”) beredar.
Kejaksaan Agung menanggapi keras hasil rekaman tersebut. Jaksa Agung HM Prasetyo sesumbar akan mengusut kasus ini dan akan mengadili Setya Novanto serta Riza Chalid.
Dalam kasus ini, Setya Novanto dijerat dengan pasal Pemufakatan Jahat oleh Kejaksaan Agung. Namun, jika membahas soal terminology “Pemufakatan Jahat”, upaya Jaksa Agung menyelidiki kasus ini atas dasar pemufakatan jahat, menuai kritik.
Merujuk kepada pengertian Permufakatan Jahat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 88 KUHP tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suatu pemufakatan jahat dianggap telah terjadi setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Selain itu, Menurut Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Prof. Andi Hamzah, Jika pertemuan antara kedua belah pihak(Ma’roef sebagai pihak pertama, dan Setnov-Riza Chalid sebagai pihak kedua) dijerat dengan pasal pemufakatan jahat masih kurang unsur. Jika menggunakan Pasal 88 KUHP hanya tindak kejahatan yang bisa dijerat dengan pasal tersebut.
"KUHP membatasi tidak semua kejahatan, hanya tiga kejahatan yakni, pembunuh presiden, pemberontak dan menggulingkan pemerintah. Kemudian juga bermufakat tipikor itu harus disebut korupsi yang mana," jelas mantan Staf Ahli Jaksa Agung ini.
Beliau menambahkan, jika merujuk Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal itu mengatur permufakatan jahat dalam praktik suap-menyuap.
Senada dengan Prof. Andi Hamzah, Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Chaerul Huda menilai, Kejaksaan Agung tidak bersikap arif dan cenderung memaksakan kehendak dalam penanganan kasus “Papa Minta Saham”. Kasus ini bisa diaktegorikan sebagai Pemufakatan Jahat apabila telah terjadi kesepatakan antara kedua belah pihak. Sedangkan dalam kasus ini, kata dia, antara pihak Pertama (Maroef Sjamsoedin) dan pihak kedua (Setya Novanto dan Riza Chalid), tidak ada unsur yang disepakati.
Terlebih, sambung Chaerul, hampir seluruh doktor maupun ahli hukum pidana berpendapat kasus itu tidak bisa dilanjutkan atau ditingkatkan ke ranah penyidikan, karena bukti yang dimiliki oleh Kejagung nihil.
Kritikan keras juga datang dari ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mudzakkir. Dikatakan bahwa Kejagung berhalusinasi jika meneruskan upaya penyelidikan kasus ini. Mudzakkir manantang kejagung, jika memang ada unsur pemufakatan jahat dalam kasus ini, Kejagung harus membeberkannya. Sebab menurut Mudzakkir, kurang tepat jika kasus ini dikategorikan sebagai tindak pemufakatan jahat.
Pakar hukum lainnya yang menentang upaya Kejagung ini adalah Asep Warlan Yusuf, pakar Hukum Universitas Parahiyangan. Kalau memang kasus pemufakatan jahat PT Freeport yang telah dituduhkan kepada Setya Novanto memiliki bukti kuat, sebaiknya Kejaksaan Agung segera membuktikan pasal tersebut kepada publik.
Pasalnya sejauh pengamatannya, kasus tersebut jauh dari kata persekongkolan ataupun pemufakatan jahat. Sebab, menurut dia, tidak ada kesepakatan antara pihak pertama PT Freeport Indonesia yang diwakili Maroef Sjamsoedin dan pihak kedua Setya Novanto dan Riza Chalid. Selain itu, tidak ada tindaklanjut atas pertemuan pihak pertama dengan pihak kedua tersebut.
"Contoh kepada kita yang sedang menelpon, terus kita rencanakan ‘kang kita rampok bank yuk', tapi diending kita tidak melaksanakan itu. Kan cuma niat, tidak ada aksi. Saya rasa kalau kita lihat agak sulit untuk membuktikan itu," ujar Asep.
Kejaksaan Agung, lanjut dia, seharusnya lebih bersikap arif dan mengakui kesalahannya yang tergesa-gesa dalam melakukan penyelidikan atas kasus tersebut.
"Kalau benar ada pemufakatan jahat, buktikan saja. Jangan terlalu lama, masyarakat menunggu akan hal ini, artinya Kejagung masih kesulitan untuk membuktikan ini," ujarnya.
Jika memang Jaksa Agung berniat menjerat Setnov dan Riza Chalid dengan pasal Pemufakatan Jahat, maka pertama-tama harus dipastikan dahulu apakah benar apa yang dilakukan Setnov-Riza Chalid masuk dalam kategori pemufakatan jahat. Namun jika tidak, maka hal ini tentu akan menambah rentetan daftar kinerja buruk Jaksa Agung.
Source
1. http://www.rmol.co/read/2016/02/01/234202/Kejaksaan-Agung-Tak-Usah-Memaksakan-Kehendak-Ya!-
2. http://www.merdeka.com/peristiwa/usut-kasus-papa-minta-saham-kejagung-dinilai-paksakan-kehendak.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H