Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah (hal 123).
Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari tujuh manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini.
Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah.
Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga putri Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka.
Perkawinan keduanya menghadapi satu masalah sebab Ali belum mengetahui dengan benar bagaimana tata cara menggauli Fatimah.
“Kala itu,” tulis Muhlis, “Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali, “Apakah kamu mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?”
Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. “Ali mulai sadar kalau ia belum memberikan apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta Fatimah memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya.”
“Fatimah pun merekomendasikan Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad dan selanjutnya terjadilah transfer pengetahuan dari bapak mertua kepada anak menantu.”
Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-Makassar, khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.
Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak terlambat untuk dipelajari.
Memang idealnya, tata laku hubungan Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa nikah, namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan tekad, untuk mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam yang terangkum dalam lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau frequent ask and question (FAQ) soal seks yang selama ini sumber dominannya dari ilmu kedokteran Barat.