Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan salat sunah lalu tafakur bersama yang disebut nikah batin, maka sampailah pada tahapan lelaku praktis, cumbu rayu, penetrasi, dan masa pascaberhubungan.
Karena konsep Assikalaibineg mengedepankan ideologi dan tata krama, disarankan agar sebelum aktivitas penetrasi dimulai dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.
Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan Christian Pelras dalam bukunya, Manusia Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang memiliki sarung khusus yang bisa memuat sepasang suami istri.
Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.
Buku ini menggunakan istilah makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium) untuk tahap foreplay.
Ini dengan asumusi pihak pria sudah mengetahui 12 titik rangsangan, dan rangkaian mantra (paddoangeng).
Meraba lengan adalah titik pertama yang disarankan dikarawa, sebelum meraba atau mencium titi-titik lainnya. Pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda’ (pangkal leher), dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.
Setelah bagian badan tubuh, mulailah masuk di sekitar muka.
Titik “rawan” istri dibagian ini disebutkan; buwung (ubun-ubun), dacculing (daun telinga), lawa enning (perantara kening dia atas hidung), lalu inge (bagian depan hidung).
Di titik ini juga disebutkan, tahapan di bagian badan sebelum penetrasi langsung adalah pangolo (buah dada) dan posi (pusar).