TELEPON seluler Endid berdering, Minggu (30/5/2010) sore itu, seseorang di seberang telepon berbicara kepadanya seperlunya. Sore itu, ia berangkat dengan sepeda motor, menemui Wahyudi yang menunggu di Jalan Lingkar Luar Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat.
Wahyudi, yang seorang polisi, sedang mengalami masalah sore itu. Saat mengendarai Honda Jazz miliknya, terjadi srempetan dengan taksi. Percekcokan pun terjadi, si sopir itu dimaki-maki, sehingga membuat perhatian orang di sekitarnya. Di sekitar itu memang banyak orang Madura, yang mendirikan lapak-lapak. Sopir tua itu pun dibelanya. Wahyudi diduga tak terima.
“Tunggu di sini gue datang sama kawan-kawan gue,” Wahyudi mengancam orang yang membela sopir itu.
Ia membawa Endid bersama beberapa kawannya. Ada sekitar 10 orang datang, tapi sumber lain mengatakan, empat orang. Tak jelas, berapa orang yang dibawa Wahyudi.
Endid Mawardi (45) adalah Ketua Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) ranting Kelurahan Petir, Cipondoh, Tangerang. Dia begitu dikagumi di daerah itu. Banyak orang segan padanya. Ia seringkali diminta bantuan, ada-ada saja permintaannya. Tak masyarakat sipil yang datang padanya, bahkan aparat polisi pun seringkali mengadu padanya.
Endid pun menemui orang-orang yang diancam Wahyudi. Saat bernegosiasi Wahyudi tidak ada di situ. “Katanya dia sedang menghubungi orang untuk menambah bantuan,” kata Endang adik bungsu Endid menirukan cerita seseorang yang ikut bersama Endid sore itu.
Tak disangka, negosiasi itu berbuntut naas. Endid ditebas di bagian leher belakang, ketika sedang berdialog dengan mereka. Endid terkapar bersimbah darah. Kira 25 centimeter panjang tebasan.
Endid pun langsung dibawa mobil ke Rumah Sakit Cengkareng, sayang kondisi lukanya tak memungkinkan untuk ditolong. Ia dinyatakan meninggal, Polisi pun kemudian merujuk ke RS Cipto Mangunkusomo, Jakarta Pusat untuk mengotopsi jenazah setelah meminta restu keluarga.
BERKAT tahlilan baru saja dia terima, belum sempat disantapnya. Sinto MS sudah keburu menuju tempat kejadian yang tak jauh di rumahnya yaitu di RT 03 dan RT 02, masih satu RW dengannya. Ratusan massa meluruk tempat, di mana Endid ditebas. Massa berasal dari Petir, tempat tinggal Endid.
“Saya masih memakai sarung, sambil pegang handy talkie,” kata Sinto, wakil ketua RW 04, Pondok Randu, Duri Kosambi Selasa (1/6).
Sekitar jam 10 malam, massa mengepung lokasi kejadian. Semua bergerak gemuruh. Berteriak. Ada yang membawa pentungan, ada yang membawa senjata, juga ada yang berbekal batu. Tak orang dewasa yang meluruk, anak-anak kecil umur belasan pun ikut bersama. “Mereka ada yang melempar pakai batu,” kata ibu Firman, penjual minuman ringan dan rokok dekat lapak Madura.
Malam itu, membuatnya panik, beberapa orang bertindak beringas. Enam krat minuman ringannya dirampas dan dilemparkan ke jalan. Pintunya sempat ditendang seseorang. Tak ada ganti rugi.
“Pasang bendera bu!” teriak seseorang kepadanya. Melihat orang yang menendang pintu warungnya, ia pun spontan menjawab, ”Saya orang Betawi, saya orang Betawi,” kata dia. Ia tidak tahu maksud perintah orang tersebut memasang bendera.
Padahal dia bukanlah orang Betawi, tapi orang Jawa. Sebelumnya beredar isu akan ada penyerangan orang-orang Betawi yang tergabung dalam Forkabi ke tempat Endid tewas. Namun, dari ratusan orang yang datang, tak dijumpainya bendera identitas Forkabi.
Entah dari mana berawal, seseorang diantara massa telah melemparkan sebuah botol berisi minyak yang telah disulut api ke atas lapak-lapak Madura itu. Api menjalar dalam tempo cepat: 42 kios dan 5 mobil ludes terbakar. Listrik padam sampai keesokan paginya: kira 16 jam listrik padam. Ada beberapa kawat (konduktor) putus terkena jilatan api. Lapak-lapak itu memang tepat berada di bawah Sutet.
Mobil pemadam kebakaran didatangkan. Ada kira 13 mobil brandware menuju lokasi. Tak ada satu pun berani masuk, melihat massa menumpuk di titik kejadian. Lapak-lapak terburu menjadi debu dan penuh jelaga. Petugas pemadam baru kelar sekitar jam 3, Senin (31/5) dini hari.
Sinto mengatakan baru kali ini kerusuhan seperti itu terjadi. Sebelumnya, meski di situ banyak orang Madura tak pernah ada keributan. Ia menolak keributan itu karena sentimentil etnis. “Saya tak tahu pastinya, tapi ini sedikit kesalahpahaman,” ujarnya.
Walikota Jakarta Barat, Djoko Ramadhan pun mempertemukan dua belah pihak yang bertikai. Mereka sepakat berdamai, sehari setelah kejadian di Gedung Pemerintahan Kota Jakarta Barat. Kesepakatan damai itu disaksikan selain Djoko, juga Komandan Kodim 0503/Jakarta Barat Letnan Kolonel Kav Eko Susety, dan Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Pol Kamil Razak.
Dari pihak yang bertikai – kelompok warga Madura diwakili oleh Haji Halim, Haji Nur, Haji Naskur. Sementara dari pihak Forkabi antara lain, KH Mahfud Asirun, KH Nukman Nuhasim dan Sekjend Forkabi, Haji Latif. "Tolong mas, ini bukan pertengkaran antar etnis,” tutur Kepala Seksi Humas Pemkot Jakbar kepada saya.
Sinto membetulkan sandarannya. Badan dan perutnya besar, membuatnya kesulitan melayani saya berbicara dengan posisi tegap. Ia lebih nyaman bersandar di kursi yang lebih kelihatan seperti tidur itu. Sinto menjelaskan, tanah tempat warga Madura itu sebelumnya milik warga sekitar, juga sebagian milik PT Bina Marga. Sekira 1,5 hektar luasnya. Ada sebanyak 300 orang Madura sudah lama menghuni di situ selama kurang lebih 15 tahun. Selama itu tak pernah ada sekalipun bentrok. “Rukun-rukun saja,” kata dia.
Diakuinya, memang orang Madura kelihatan maju perekonomiannya, boleh dibilang sukses. “Terbukti ada mobil-mobil di situ,” kata dia.
Sinto tak tahu menahu kenapa orang Madura itu boleh mendirikan bangunan di bawah Sutet. Apalagi di situ juga terdapat saluran air yang dibuat Dinas Pekerjaan Umum. Sekira 1500 meter x 3 meter, dengan kedalaman 2 meter. Saluran air mentok di bawah lapak-lapak itu. “Menurut informasi bahkan ada yang dibuat septic tank,” tutur dia.
Sejak saluran air tak pernah lancar, ketika hujan deras air menggenang di jalanan. Ini membuatnya dan warga sekitar agak kesal. Sempat ada teguran tapi hal itu diabaikan begitu saja.
Momen itu dimanfaatkan betu,l Sinto dengan pengurus RT 2, RT 3, RT 4, RT 5, RT 6, dan RT 13, yang dilintasi saluran itu. Mereka mengusulkan kepada Dinas PU untuk membentuk posko pengawasan pembangunan saluran air. “Ada momen ini tepat untuk menertibkan. Orang Madura kan susah digusur. Walikota saja enggak berani,” kata dia.
Menurut Husin, warga RT 4/RW 2, kebakaran pernah terjadi di daerah tersebut. Sebelumnya, terjadi karena hubungan arus pendek listrik. Selama 51 tahun tinggal di daerah itu, tak pernah sekali pun ada bentrokan antar warga, termasuk dengan orang Madura. Orang Madura sudah migrasi ke daerah itu sejak sekitar 1985-an. Mereka masih menempati di seberang jalan atau tol kini dari tempat sekarang. Mulai 1990-an mereka berpindah ke tempat yang dibakar massa itu.
“Selama ini warga Madura bergaul dengan warga sekitar tidak pernah ribut,” ujar Husin tukang ojek sekitar daerah itu. Hal sama juga diakui Ketua RT 3, Ahyar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H