Ku teriakan keras keras hasil dari perjuangku dari sekian babak pertandingan dengan penuh kebahagiaan seakan apa yang ku hawatirkan tak pernah ada. Senyum wajahku seakan tak akan pernah sirna. Aku akan pulang dengan emas ini hanyalah satu satunya yang ada dalam benakku. Saat telah sampi ketempat berkumpul semula tiba tiba Mbak Eka memelukku dengan erat ku piker pelukananya adalah sebuah ucapan selamat untukku sebelum pelukan ini terlepas dan mbak Eka berkata.
      "Ayo Ndis kita pulang mbak sudah ijin ke sabuem kamu pulang dulu"
      "Hah? Napa Mbak?" ucapku penuh tanya rasa gundah ku sebelum pertandingan kembali lagi. Ada apa sebenarnya?
      "Mbak jelasin di perjalanan, lepas perlengkapanmu terus masuk mobil mbak"
      Tanpa piker panjang ku ikuti perintakan Mbak Eka. Apa ini?
...
      Ku piker senyum itu takkan pudar sampai ku tunjukan pada kakek ternyata tangis yang ku tunjukan pada kakek. Bukan teriakan kembiraan yang ku tunjukkan namu sebuah tangis yang tersedu sedu. Sulit untukku menerima semua ini, seakan akan aku telah di terbangkan ke ujung langit lalu dihancurkan berkeping keping. Aku harus bagaimana?
      Ia pergi dengan sejuta kenangan dan sebuah pesan singkat yang ia tulis sebelum kepergiananya. Kegagalan memang bukan akhir dari segalanya, kepergiannya ini juga bukan akhir dari segalanya katanya tapi bagimana untuk memulainya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H