Mohon tunggu...
Labib Syarief
Labib Syarief Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku Pergilah ke dalam diri sendiri untuk mengenal Allah

Suka baca buku dan menulis terkait hubungan internasional, tasawuf, dan psikologi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebijakan Luar dan Dalam Negeri Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Kedaulatan Terkait Konflik Laut China Selatan

9 Mei 2024   11:35 Diperbarui: 9 Mei 2024   11:40 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Radio Free Asia

Sejak terjadinya insiden kapal nelayan China dengan kapal TNI AL pada tahun 2016 di perairan Natuna, pemerintah Indonesia memberikan perhatian lebih pada wilayah Natuna. Pada 9 Maret 2017, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan wilayah Natuna sebagai pusat kekuatan militer dengan membangun pangkalan dan infrastuktur serta menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam cukup besar di wilayah Natuna yang berbatasan langsung dengan LCS (Kemhan RI, 2017a)

Ryamizard menambahkan bahwa sebagai bentuk pencegahan dari pencurian ikan di laut Natuna, maka dilakukan penguatan militer di wilayah Natuna yaitu dengan menyiapkan lima peasawat tempur dan perbaikan infrastruktur pertahanan, seperti perbaikan hangar pesawat dan landasan yang semula 35 meter menjadi 60 meter serta perbaikan landasan agar sesuai pesawat tempur. Selain itu, penguatan dua batalion dari matra AU dan AL, yaitu berupa adanya alat penangkis udara, drone, kapal laut untuk patroli serta penambahan Marinir TNI AL dan Paskhas TNI AU. (Kemhan RI, 2017a). Berdasarkan penjelasan tersebut, kekuatan militer menjadi pertimbangan utama dalam menjaga kedaulatan di wilayah Natuna, hal ini sejalan dengan konsep neo-realisme defensif bahwa kekuatan militer digunakan dengan bijak untuk menjaga keamanan nasional bukan agresif.

2.2 Latihan Militer Indonesia di wilayah Natuna

Pada 20 Mei 2017, TNI melakukan operasi latihan militer di Natuna dengan nama Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC). Latihan PPRC ini diikuti oleh 5.900 personil, yang terdiri dari Satuan Tugas Darat, Satuan Tugas Laut, Satuan Tugas Udara, Satuan Darat lanjutan, Satuan Manover Infantri dan Kavaleri, Satuan Batuan Tempur, serta Satuan Bantuan Administrasi. Selain itu, alutsista yang berasal dari tiga matra TNI yaitu AL, AU dan AD juga turut dikerahkan dalam operasi latihan ini. Latihan PPRC ini disaksikan oleh Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa latihan ini menunjukkan kesiapan TNI dalam rangka mempertahankan NKRI (Kemhan RI, 2017b).

Operasi militer PPRC yang dilakukan oleh TNI dan disaksikan oleh Presiden Jokowi secara langsung merupakan bentuk dari deterrence (kemampuan suatu negara untuk mencegah tindakan buruk dari negara lain yang mengancam keamanan nasional). Tindakan Indonesia tersebut ditujukan untuk memberikan sinyal keras kepada kapal asing yang sering memasuki wilayah Natuna, khususnya kepada China yang nelayannya sering didampingi oleh penjaga pantainya untuk masuk ke ZEE Indonesia di perairan Natuna, serta untuk menjaga keamanan Indonesia dari ancaman spill over konflik LCS. Bagi teori neo-realisme defensif, tindakan yang dilakukan oleh Indonesia ini merupakan penggunaan instrumen militer yang menjadi bagian power Indonesia untuk menjaga keamanan nasional, jadi penggunaan deterrence militer bersifat defensif bukan ofensif.

2.3. Wilayah Natuna menjadi prioritas utama dalam patroli Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla)

Dengan banyaknya pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Natuna dan menyebabkan kerugian negara mencapai 30 triliun pada 2020-2021, membuat Bakamla sebagai otoritas kapal penjaga pantai Indonesia, memiliki peranan penting menjaga kedaulatan di perairan yang berbatasan langsung dengan LCS tersebut.

Pada 22 Desember 2021, Kepala Bakamla RI Laksdya TNI Aan Kurnia menyatakan bahwa Bakamla selalu hadir di Laut Natuna Utara untuk menjaga hak kedaulatan Indonesia dari ancaman negara lain, termasuk dengan adanya TNI AL. Aan menambahkan bahwa Bakamla menjaga keamanan terakait eksplorasi dan ekploitasi pengeboran minyak lepas pantai di Laut Natuna Utara, serta Bakamla juga melakukan diplomasi dengan pasukan penjaga pantai negara lain di kawasan (Antara News, 2021b). Saat HUT Bakamla RI ke-16 pada 29 Desember 2021, Aan menekankan bahwa pengamanan perairan Natuna menjadi prioritas Bakamla (Antara News, 2021c)

Sebelumnya, pada 20 Januari 2020 Direktur Operasi Laut Bakamla RI, Laksmana Nursyawal Embun menegaskan bahwa Indonesia berhak meneggakkan kedaulatannya di wilayah ZEE. Ia menuturkan bahwa Bakamla memiliki 3 unit kapal untuk mengawasi perairan utara Natuna yang disertai unsur TNI AL pada Januari 2020 (CNBC Indonesia, 2020). Tindakan yang dilakukan oleh Bakamla Indonesia tersebut dalam menjaga kedaulatan Indonesia di perairan Natuna, maka Bakamla berperan sebagai instrumen self-help Indonesia non militer yang menjaga kedaulatan Indonesia di perairan Natuna terkait ancaman pencurian ikan dan dampak dari konflik LCS.

2.4. Penamaan Laut Natuna Utara

Pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim RI (Kemenko Maritim RI) meluncurkan peta NKRI baru. Peta tersebut dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait perubahan dan penyempurnaan berdasarkan perkembangan yang berlaku, dan adanya penetapan batas wilayah dengan negara tetangga (Ilmi, 2020). Di antara perubahan peta NKRI baru adalah dengan penamaan Laut Natuna Utara di perairan utara Natuna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun