Mohon tunggu...
La Yusrie
La Yusrie Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tinggal di Yogyakarta. Blog Pribadi: www.orang-gu.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Uniknya Komune Manusia Bermata Biru di Buton

17 Maret 2017   15:46 Diperbarui: 18 Maret 2017   20:00 3216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

doc pribadi
doc pribadi
PARUH pertama abad keenam belas pasak kolonialisme bangsa Eropa telah dialih oleh Belanda dari dominasi dan hegemoni bangsa Portugis. Sejak Malaka jatuh oleh ekspansi militer Alberqueque, nyaris seluruh tanah pantai nusantara telah dalam genggam kuasa bangsa Portugis.

Penguasaan Malaka oleh Portugis telah dengan cepat mengubah konstelasi persaingan “dunia dagang” di Semenanjung selat Malaka. Portugis begitu dominan di sana, mereka menguasai dan mengatur perdagangan rempah dalam monopoli mereka saja. Tak puas hanya sebagai pemasok, mereka kemudian menaikan layar kapal menuju negeri asal rempah di timur nusantara: Maluku.

Dan Buton tepat berada dalam lajur jalur rute pelayaran paling ambisius itu. Sejak jalur selatan menuju Maluku ditemukan, Buton tak lagi pernah sepi pelintas lautan. Dari mana-manapun bangsa yang menggilai rempah pasti akan menyinggahi Buton sebab jalur yang melaluinya disebut sebagai yang paling aman dan memperpendek waktu tempuh empat belas hari lamanya dibanding jika melalui jalur utara Sulawesi yang selain mengambil waktu yang lama juga terkenal tidak aman oleh gangguan para bajak laut dari Moro, Sulu, dan Mindanao.

***

doc pribadi
doc pribadi
Adalah Fardhan Ramadhan, anak desa Boneatiro kecamatan Kapontori Kabupaten Buton. Usianya empat tahun tujuh bulan. Dia menjadi bagian berai serpih ceceran dari perkawanan yang menaik menjadi perkawinan antara aristokrat Wolio dengan seorang pimpinan armada Portugis yang menyinggahi Buton dalam sekira paruh pertama abad keenam belas.

Perkawanan yang dibawa ke perkawinan adalah pertanda bagaimana hubungan itu sangat dekatnya. Ketika Belanda menjaga jarak dan enggan melakukan marital kawin mawin dengan wanita pribumi, Portugis justru melepas sekat itu. Sekalipun kemudian mereka tersisih dalam berebut pengaruh dengan Belanda di Buton, jejak genetis mereka terus tinggal dan tercecer di banyak desa terpencil di pulau Buton

Sebagai kesultanan, Buton yang dalam jalur pelayaran ke negeri rempah di Maluku tentu menjadi Bandar ramai yang lalu membangun hubungan dengan banyak negara yang mengunjunginya. Banyak negara dari benua Eropa melayari laut Buton, bahkan beberapa diantaranya melakukan persinggahan untuk sekadar beristirahat dan mengisi perbekalan.

Tetapi hanya dengan Portugis itulah terjadi marital kawin mawin, sebelum kemudian menyusul dengan Belanda dimana di sana hanya seorang wanita muda nan cantik bernama Maria, puteri terkasih Speelman dari pernikahan (mungkin) dengan selirnya, dinikahi sebagai tanda bersahabat oleh Sapati Baaluwu yang turunannya kemudian bersebaran sampai pula di Muna.

Seorang Portugis yang namanya tinggal terkenang di Buton sampai kini adalah yang bernama Felengkonele. Tinggalan lainnya dari persekutuan marital kawin-mawin itu adalah Alifiri—pasukan pengawal sultan yang oleh beberapa ahli bahasa disebut kata itu sebagai kata yang berasal dari Bahasa Portugis: Alperes.

Juga ada kadera (Bahasa Wolio) untuk kursi yang juga berasal dari Bahasa Portugis: Kaldera. Topi khas pasukan kesultanan yang pada ujungnya seperti berekor dengan juntaian bulu-bulu itu adalah topi khas pasukan Portugis, di Buton ia dinamai Songko Poopoongku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun