Banyak lagi kosakata lainnya sebagai terkenai pengaruh dari Portugis, bahkan saya pun menemukan informasi bahwa pembangunan benteng Keraton Buton yang dimulai sampai akhirnya dalam masa La Sangadji—Sultan Buton ketiga tak lepas dari ulur dan gerak tangan para arsitek dan pekerja Portugis.
Bastion-bastion benteng—dalam Bahasa Wolio: Baluara, sangat terlihat Portugis sekali, meriam-meriam dan bedil yang sampai kini tinggalan nya masih dapat kita lihat itu adalah hadiah dan sumbangan sukarela para pimpinan armada Portugis kepada paduka yang mulia sultan Buton.
Kecuali beberapa lainnya adalah sitaan dari beberapa kali insiden merompak kapal Belanda di perairan pulau Sagori Kabaena, Labuan Belanda di utara pulau Buton setelah koalisi Ternate—Buton menyerang habis armada Belanda, juga bekas dari para armada Gowa yang kalah perang di teluk Baubau dalam tahun 1669.
***
Menurut Faisal Ambo Dalle, dari ibunyalah yang adalah nenek anaknya itu trah darah mata biru menurun pada dua anaknya. Dia masih mengingat betul bagaimana pesan-pesan dari ibunya yang adalah nenek anak-anaknya itu: “Anak-anak mu itu adalah anak-anak ku juga, dalam diri mereka, tinggal roh “orang-orang jauh” yang adalah buyutmu sendiri”
Masih ada beberapa orang keluarga dari pihak ibunya yang adalah orang Buton itu di Sulawesi Tengah yang bermata biru. Sama sebagaimana di Kaimbulawa Siompu, oleh nenek leluhur mereka dibuatkan satu kisah tradisi lisan turun temurun yang menyebutkan keberadaan mereka adalah sebagai pertautan silang dari kawinnya orang-orang lokal dengan “orang-orang jauh”.
“orang-orang jauh” itu tidak samasekali awalnya mereka mengerti, tetapi berdasarkan kronik dan naskah-naskah tercatat yang masih tersimpan di Wolio sangat jelas yang dimaksud sebagai “orang-orang jauh” itu adalah para pelaut dari bangsa Portugis sebagai yang paling mula tercatat mengunjungi pulau Buton.
Sebuah kronik anonim mengisahkan dengan detail bagaimana bangsa Portugis sebagai yang paling mula membuang sauh dan melabuhkan kapal-kapal nya di pulau Buton sebelum armada lain dari bangsa sebenuanya beramai dalam gerombol datang menyerbu nusantara.
Sebuah jangkar raksasa yang kini berdiri dipajang tepat di hadapan tiang bendera kasulana tombi adalah sebenarnya jangkar dari sebuah kapal Portugis yang sebelumnya terkait tinggal di Lawana Lanto. Berita mengenai itu sebagaimana tercatat dalam naskah anonim yang mengisahkan kedatangan bangsa Portugis di Buton dalam kira-kira akhir abad kelima belas.
Masih ada beberapa titik yang menjadi daerah hunian para mata biru di pulau Buton, seusai Boneatiro, kampung itu akan nanti kami datangi dan menjadi bagian dari isi catatan selanjutnya sebelum kemudian simpul titik-titik tinggal mereka itu akan dipertautkan bahwa sebenarnya mereka adalah satu keluarga dari "pohon" kerabat sama yang pangkal bermula dari semuanya adalah relasi marital Wolio—Portugis.