***
Penguasaan Malaka oleh Portugis telah dengan cepat mengubah konstelasi persaingan “dunia dagang” di Semenanjung selat Malaka. Portugis begitu dominan di sana, mereka menguasai dan mengatur perdagangan rempah dalam monopoli mereka saja. Tak puas hanya sebagai pemasok, mereka kemudian menaikan layar kapal menuju negeri asal rempah di timur nusantara: Maluku.
Dan Buton tepat berada dalam lajur jalur rute pelayaran paling ambisius itu. Sejak jalur selatan menuju Maluku ditemukan, Buton tak lagi pernah sepi pelintas lautan. Dari mana-manapun bangsa yang menggilai rempah pasti akan menyinggahi Buton sebab jalur yang melaluinya disebut sebagai yang paling aman dan memperpendek waktu tempuh empat belas hari lamanya dibanding jika melalui jalur utara Sulawesi yang selain mengambil waktu yang lama juga terkenal tidak aman oleh gangguan para bajak laut dari Moro, Sulu, dan Mindanao.
***
Perkawanan yang dibawa ke perkawinan adalah pertanda bagaimana hubungan itu sangat dekatnya. Ketika Belanda menjaga jarak dan enggan melakukan marital kawin mawin dengan wanita pribumi, Portugis justru melepas sekat itu. Sekalipun kemudian mereka tersisih dalam berebut pengaruh dengan Belanda di Buton, jejak genetis mereka terus tinggal dan tercecer di banyak desa terpencil di pulau Buton
Sebagai kesultanan, Buton yang dalam jalur pelayaran ke negeri rempah di Maluku tentu menjadi Bandar ramai yang lalu membangun hubungan dengan banyak negara yang mengunjunginya. Banyak negara dari benua Eropa melayari laut Buton, bahkan beberapa diantaranya melakukan persinggahan untuk sekadar beristirahat dan mengisi perbekalan.
Tetapi hanya dengan Portugis itulah terjadi marital kawin mawin, sebelum kemudian menyusul dengan Belanda dimana di sana hanya seorang wanita muda nan cantik bernama Maria, puteri terkasih Speelman dari pernikahan (mungkin) dengan selirnya, dinikahi sebagai tanda bersahabat oleh Sapati Baaluwu yang turunannya kemudian bersebaran sampai pula di Muna.
Seorang Portugis yang namanya tinggal terkenang di Buton sampai kini adalah yang bernama Felengkonele. Tinggalan lainnya dari persekutuan marital kawin-mawin itu adalah Alifiri—pasukan pengawal sultan yang oleh beberapa ahli bahasa disebut kata itu sebagai kata yang berasal dari Bahasa Portugis: Alperes.
Juga ada kadera (Bahasa Wolio) untuk kursi yang juga berasal dari Bahasa Portugis: Kaldera. Topi khas pasukan kesultanan yang pada ujungnya seperti berekor dengan juntaian bulu-bulu itu adalah topi khas pasukan Portugis, di Buton ia dinamai Songko Poopoongku.