Mohon tunggu...
La Yusrie
La Yusrie Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tinggal di Yogyakarta. Blog Pribadi: www.orang-gu.com

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Aku Bukan PKI: Kesaksian para Terfitnah PKI di Buton 1969

4 Maret 2016   08:04 Diperbarui: 30 September 2020   09:47 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

12 FEBRUARI 1968, tujuh orang Gu dibawa ke penjara Baubau setelah sempat ditahan di kantor polisi sektor Gu di Lombe. Ketujuh orang itu masing-masing bernama Maili, Alwi, Zalimu, Saahu, Muhammad Ali, La Ube, dan Abdul Gani Icu. Dua orang lainnya dikenakan tahanan rumah yaitu Suowo dan Ismail Parinta. Mereka dilaporkan oleh kepala desa Gu, dengan tuduhan yang tidak main-main dan paling menakutkan waktu itu: melakukan rapat gelap dan permufakatan jahat.

Dalam suasana kalut yang kemaruk racau waktu itu, terkait penangkapan secara paksa simpatisan pengikut PKI yang meluas dan massif dihampir seluruh daerah Buton, rapat gelap dan permufakatan jahat adalah momok yang paling ditakutkan. Siapapun yang ditangkap dengan tuduhan itu akan langsung digiring dengan kasar ke penjara tanpa perlu melalui sidang pengadilan.

Memang benar ada kumpul-kumpul itu, ketika digerebek di rumah Alwi oleh kepala desa Gu disertai sekelompok Hansip yang mengawalnya, di sana para tertahan itu memang sedang bercerita yang sebenarnya adalah hal biasa saja mengenai kebijakan keliru kepala desa Gu yang memindahkan dengan semau-maunya kantor-kantor pemerintah dari Gu Lakudo ke Lombe.

Tetapi kumpul-kumpul yang biasa bagi mereka yang ditahan itu dianggap tidak biasa oleh kepala desa Gu sebab membicarakan kebijakannya yang oleh mereka disebut sebagai “keliru”. Bagi kepada desa Gu, kumpul-kumpul yang mereka lakukan itu adalah jelas juga keliru dan tidak bisa dibenarkan. Masa itu adalah memang masa sulit, penguasa berkuasa dengan otoritas yang mutlak, mengambil sikap kritis apalagi terang-terangan melayangkan kritik terhadapnya adalah hal yang tabu dan bahkan lebih jauh bisa mendatangkan petaka.

Tuduhan awal sebagai melakukan rapat gelap dan permufakatan jahat pada akhirnya dibelokan sebagai mereka terkait/dikaitkan PKI. Ini agar memudahkan dan menyepatkan mereka menuju sel tahanan. Tak kepalang, karena memang tuduhannya seram begitu, seorang opsir diperintah segera membawa mereka ke tahanan sekalipun baru hanya sedikit penyelidikan mengenai duduk soal kasus sebenarnya. Dalam sepanjang perjalanan mereka terus bertanya mau dibawa ke mana tetapi selalu tak mendapat jawaban. Setiba di muka rumah tahanan barulah opsir polisi mengatakan: “Kita ke sana” sembari menunjuk pada sebuah papan bertulis Rumah Tahanan Kelas II Baubau.

Tiga bulan mereka mendekam dalam penjara sebelum kemudian dikeluarkan pada tanggal 10 Mei 1968. Dalam sidang pengadilan yang digelar di Balai Desa Gu, kesemua mereka dinyatakan bebas dengan tidak bersalah dan yang paling penting tidak samasekali terkait dengan PKI. Sayang sekali vonis bebas dengan tidak bersalah dari pengadilan itu tidak cukup menyenangkan hati mereka dan menjadi tidak berarti apa-apa sebab telah didahului oleh penangkapan dan panahanan semena-mena. Status mereka dalam mata masyarakat tetaplah tidak bisa dihapus: Bekas Narapidana.

Dari merekalah saya mendapat gambaran mengenai bagaimana para tahanan yang dituduh sebagai PKI mendapatkan penyiksaaan hebat. Mereka yang tertuduh PKI itu di tempatkan di bilik 1, 2, 3,  dan 4. Ruang bilik yang hanya bisa menampung paling banyak 3 orang tahanan tetapi diisi lebih dari sepuluh orang. Para tahanan tertuduh PKI itu ditumpuk dalam satu sel yang sempit sebagai  bagian dari hukuman secara psikis sekaligus juga fisik.

Dalam selama tiga bulan masa tahanan, mereka tak mendapatkan penyiksaan dan kekerasan secara fisik sebagaimana para tetangga bilik sel mereka. Sebab setelah diselidiki dalam pemeriksaan lanjutan di polres Buton tidak ditemukan fakta bahwa mereka adalah anggota PKI kecuali hanyalah sebagai “musuh kepala desa”. Seorang Polisi yang memeriksa mereka dari awal bahkan menyampaikan agar mereka dibebaskan saja dengan berkata: “kasusnya tidak sama dengan Mawasangka (maksudnya tidak terkait PKI), bebaskan saja”, tetapi seorang polisi lain yang adalah kerabat pelapor  (kepala desa Gu) malah mengangkat bicara dengan kasar: “Biar masukan saja, supaya mereka tobat”

***

SEBARISAN yang menamakan diri Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi wanita yang berafiliasi dengan PKI berlatih baris berbaris di jalanan Lombe, seorang bernama La Madinda memimpin mereka. La Madinda adalah guru/kepala sekolah di Sekolah Dasar Lombe yang juga adalah Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) Kecamatan Gu. Sebagaimana orang-orang PKI, baris berbaris yang masih dalam latihan itupun dilakukan dengan sepenuh disiplin dan bersemangat. Di tengah matahari kemarau yang bersinar terik menyengat, mereka gagah tegap menarik langkah. Debu berlayangan setiap kali mereka menghentak kaki melangkah maju.

Para Gerwani itu sebenarnya adalah hanya sekumpulan wanita kampung yang tak melek politik. Mereka semua tuna dalam segala terkait politik, sangat jauh dari bisa memahami ideologi komunis, umumnya mereka hanya ikut-ikutan karena menyenangi kegiatan baris berbaris, maka ketika mereka ditangkap dan diinterogasi di kantor koramil dan polsek Kecamatan Gu, tak ada yang bisa dilakukan oleh mereka kecuali hanya diam dan gemetar gelagapan karena ketakutan. Gelagap dan kediaman mereka itulah yang dianggap oleh aparat  sebagai gelagat buruk yang adalah pengakuan mengiyakan segala yang dituduhkan.

Beberapa dari mereka kemudian diangkut ke Kendari sebagai tahanan politik (tapol), sesuatu yang mereka sendiri tidak memahaminya. Sebuah daerah baru di selatan kota Kendari disiapkan untuk mereka huni. Daerah itu kini disebut sebagai Nanga-Nanga. La Madinda sendiri menyerahkan diri sebelum ditangkap, ia disekap dalam ruang sempit di koramil kecamatan Gu. Saya tidak mendapatkan informasi kemna selanjutnya ia dibawa.

***

AWAL Maret 1969. Sembilan tahun setelah La Ode Muhammad Falihi—Sultan Buton ke-38 mendeklare berakhirnya kesultanan dalam klan dan genggam tangannya, sebuah duka memiriskan menghamparlah terjadi. Tanah Buton yang damai dengan seluruh orang penduduknya beragama dicorengi dengan nestapa oleh sebuah gerak senyap sumir yang samar dan lalu padanya dilayangkan tuduhan serampangan yang asal sebagai daerah merah tempat PKI (Partai Komunis Indonesia) berbasis.

Ratusan orang, yang kesemua mereka itu adalah tokoh dan terpelajarnya Buton ditangkap secara paksa dan lalu digiring dengan kasar dalam gertak membentak yang menghentak tidak manusiawi, diseret ke tahanan dan dengan sepihak disebut telah bersalah tanpa melalui sidang pengadilan. Beberapa orang dalam sel tahanan mengalami penyiksaan hebat dan diperlakukan dengan sewenang-wenang tidak manusiawi, seorang pembesar bahkan menjadi korban terbunuh. Ia ditemukan mati dengan tidak wajar: tergantung kaku di bilik selnya

Pembesar yang mati terbunuh itu adalah Muh. Kasim, Bupati KDH TK II Buton waktu itu. Oleh para penahannya, ia disebut melakukan bunuh diri sendiri dengan menggantung dirinya. Sesuatu yang itu hanya alibi untuk mengelabui bahwa sebenarnya merekalah yang telah membunuhnya. Mereka hendak mencuci tangan, mencontoh apa yang dilakukan kawanan mereka di Jakarta dalam gerakan kup tahun 1965, membuang jejak bersalah dengan menghapus seluruh lumeran bercak darah di tangan dan lalu maju tampil ke muka sebagai seakan pahlawan penyelamat.

Strategi itu jelas tak jitu, ia tidak mampu menghapus apalagi menyembunyikan jejak darah yang berlumur melumer di tangan mereka.  Mereka lupa, cecer bercak darah itu menetap tinggal dalam ingatan, sebab hampir seluruh orang Buton tahu siapa sebenarnya pembunuh yang adalah dalang dan siapa terbunuh yang adalah dikenai nasib malang. Darah tidak bisa dijarah dan mau disimpan sembunyikan serapi bagaimanapun akan pada akhirnya menyeruak muncul terungkap, sekalipun seribu topeng alasan dipakai menutupinya

Apa yang terjadi dalam tahun yang kelam itu adalah sebenar-benarnya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh sebenarnya penjahat yang menunggang dengan menggandeng di punggung militer yang otoriter. Ironis dan menyedihkannya sebagian orang Buton yang mata hatinya dibutakan kuasa dendam ada juga yang ikut menjulurkan tangan bermain-main, membantu para penindas itu. Bukankah ini jauh lebih menyakitkan dari sekadar hanya siksa fisik dan luka di kulit daging?

***

LA RUNSA terdiam, pandangnya jalang menerawangi langit rumahnya, ia coba mengingat masa kelam itu. Tiba-tiba ia terkulai tunduk, pandangnya turun menyapu lantai rumah gubuknya. Matanya lalu basah berkaca, sembab oleh ronta tangis yang berpuluh tahun ditahannya, badannya bergetar karena tangis terseduk itu, ia tak mampu berkata-kata. Ketika ia telah tenang menguasai dirinya, sekata demi sekata keluarlah, ia coba menggamit satu-satu keping ingatan yang berseliweran melintas di kepalanya dan saya mencatatnya dengan tidak menyelanya.

Begini ia bercerita:

Berita tersiar dengan cepat mengenai sebuah kapal angkut militer bernama KRI Dompu dalam pelayarannya dari Surabaya ke Maluku singgah merapat sandar di Sampolawa dengan menurunkan muatannya yang terlarang. Muatan terlarang itu adalah 500 (ada yang menyebutnya 1500) pucuk senapan dalam berbagai kaliber ukurannya, tidak ditahu darimana ia didatangkan, desus yang tersiar senjata mesin itu sengaja didrop untuk keperluan melawan pemerintah.

Ironisnya Muh. Kasim yang adalah pemerintah justru dituduh telah menerima senjata itu dan lalu dibagikannya kepada laskar simpatisan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang digambarkan mereka berjingkrak menari kegirangan mendapatkan senjata itu. Untuk keperluan persiapan dan agar tak diketahui orang umum, maka senjata-senjata yang telah dibagikan itu kemudian dikumpulkan dan lalu di bawa di pulau Liwuto Ngkidi untuk sementara disembunyikan. Begitulah menyesatkannya rumor yang disiarsebarkan dengan massif oleh militer dalam komando Kolonel Sindiran (nama fiktif).

Kolonel Sindiran tidak sendirian, bahkan beberapa orang Buton sendiri ikut membantunya menangkapi para tokoh Buton terpelajar itu. Dalam sebuah inspeksi yang pura-pura ke Liwuto Ngkidi pada awal Maret 1969, mereka memang tak menemukan senjata yang rumornya disembunyikan di sana, yang sebenarnya terjadi adalah dimulainya operasi pembunuhan massal di pulau kecil nan mungil itu kepada semua siapapun yang ditengarai (atau lebih tepatnya difitnah) sebagai simpatisan pengikut PKI di Buton.

Pulau kecil dengan julangan pohon kelapa dan landai pasir putih yang indah di muka teluk Baubau itu ternodai oleh cipratan darah yang muncrat dari daging para korban terfitnah PKI yang dieksekusi secara kejam di sana. Sejak itu pulau yang terletak di antara pulau Siompu dan pulau Kadatua di muka teluk Baubau itu bergantilah namanya menjadi pulau ular disertai sebaran isu bahwa ada banyak ular di sana agar tak berani didatangi, agar orang-orang akan takut datang berkunjung di sana.

Seorang nelayan dari pulau Kadatua yang hanya lewat dan melihat eksekusi mengerikan itu malah ikut ditangkap, ia diseret dan lalu dijejerkan beserta para korban terfitnah lainnya untuk dieksekusi dengan ditembak. Ia selamat karena beruntung memiliki ilmu kebal yang masih bertuah, berpura-pura roboh ke lubang yang telah dikubangi oleh mereka sendiri ketika mendengar bunyi senapan menyalak. Malam yang gelap membantunya lolos dengan bersembunyi di balik belukar semak. Karena kalut yang akut ia mencebur diri ke laut dan berenang ke pulau Kadatua sejauh kurang lebih 3 mil laut

***

AKU hanyalah nelayan kecil yang tidak menahu politik, tetapi malah ikut diseret dengan licik, picik. Di mulanya aku dituduh membawa bom ikan, lalu akhirnya dibelokan semau mereka sebagai katanya aku adalah laskar simpatisan pengikut PKI. Aku menolak sekuat-kuatnya tuduhan yang menghinakan itu, tapi mereka tak bergeming, tidak sekali saya ditendangi, melayang bogem di wajah saya bekali-kali, disuruh jalan memakai dorongan moncong senapan. Tak terhitung kali pantat keras senapan mereka di hantamkan ke kepala saya.

Aku sudah melakukan segala-gala upaya, sekuat-kuat usaha agar bisa dibebaskan, tetapi seperti pingpong yang dipukul bergantian, segalanya mental kembali dengan sebagaimana mulanya: tanpa hasil, atau jika ada hasil: ditolak. Bahkan memohon-mohon dengan memelaspun minta belas dikasihi sebagai atas nama  kemanusiaan, tidak diberi, hati mereka mati, keras kaku seperti batu. Di situ tahulah saya, bukan lagi manusia mereka ini, tidak ada manusia yang tega melihat penyiksaan begini rupa, mempermain-mainkan darah dan nyawa sesamanya manusia.

Mereka hanya bicara dengan salakan moncong senjata yang ditembakan seperti salvo ke udara sebagai mungkin itu untuk menggertak menakuti. Aku lalu meriut dan menuruti saja keinginan mereka, aku takut salakan berikutnya tidak lagi arahnya ke langit tetapi benar-benar akan disasarkan mengarah ke badanku. Datang membayang di mata, wajah anak-anak yang saya tinggalkan, istri yang selama ini menunggu setia nafkah dari yang saban hari aku bawakan dari laut, apa bakal kelak jadinya jika aku mati dan mereka kehilanganku, mau makan apa mereka? Maka berjalanlah saya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, mengikut mau mereka dan mengakui saja seluruh tuduhan mereka, asal saya tidak dibunuh.

Dengan luka sobek di pelipis bekas disepak memakai laras yang keras aku memasuki ruang tahanan yang pengap, lembab. Mata sayapun sembab sebab lebam dipopor memakai pantat senjata sewaktu saya dipaksa mengakui yang dituduhkan. Darah muncrat, mengucur dan berceceran di sepanjang lantai yang saya lalui. Di ujung jalan lorong menuju bilik sel paling belakang, aku melihat seorang yang lain sedang disiksa dengan disetrum. Badannya bergetar hebat setiap kali disengatkan ke tubuhnya aliran listrik yang bermega watt itu.  Dalam setiap kali erangan teriaknya dengan jelas aku mendengar: “Aku Bukan PKI”!

Jika sengatan setrum listrik itu telah melemaskannya dan ia terkulai duduk tanpa daya, seember air akan diguyur disiramkan dari kepala ke seluruh badannya. Tahu apa yang paling melukai hatiku? Dengan mata kepala sendiri aku melihat orang Buton mengambilkan air di WC yang mengantarai bilik kami itu dan ikut berdiri di belakang para penyiksa itu. Dengan jelas aku melihat mereka, aku mengenal dan menandai muka-muka mereka. Kelak Tuhan kemudian membalaskannya. Aku mendengar orang-orang Buton yang ikut menjulurkan tangah membantu para pembunuh yang menindas itu mati dengan sekarat yang menyiksa di tengah kubangan kotoran mereka sendiri

Dia yang disiksa itu berperawakan tinggi badannya, dengan sedikit kumis melintang tipis pada bibir atasnya. Saban malam aku tak berhenti mendengarnya berteriak kesakitan karena terus mendapat siksa. Sel kami bertetangga hanya di antarai Water Closet (WC) yang bau pesingnnya minta ampun menusuk hidung. Dia di bilik 2 dan aku di bilik 3. Sampai suatu malam, di dini hari, tak biasanya tak kudengar suara erangan datang dari biliknya, tak ada teriakan kesakitan. Aku membatin: “Mungkinkah ia telah keluar dibebaskan pada tengah malam tadi?”.

Pagi-pagi, mungkin baru usai azan subuh, aku melihat kesibukan yang tidak biasa di muka sel bilik 2. Beberapa aparat sibuk mondar-mandir dengan gerak gelagat yang panik. Samar kudengar suara saling memburu: “Cepat.., cepat.., angkat…, angkat!”. Aku mendekatkan telinga ke sumber datang suara itu dan mengintip dari sela balik jeruji. Aku terhenyak dalam setengah teriak yang tertahan: “Somba kita Waompu, Ya Allah!”. Aku gemetar, kuduk saya seketika bergidik merinding, kulihat dengan jelas di sana seseorang menjulur kaku dengan tergantung lemas. Dia telah menjadi mayat.

Belakangan tahulah saya bahwa tahanan tetangga di bilik 2 yang saban malam tak berhenti disiksa dan kini terkulai kaku di gantungan itu adalah Muh. Kasim, Bupati KDH TK II Buton.

***

“AKU juga Bukan PKI” kecuali itu hanya dituduhkan sebagai fitnah kepada saya. Dalam keadaan tidak sadar diri karena siksaan yang hebat dengan dicerabut paksa kuku di jari tangan dan kakiku, aku dipaksa meletakan jempol saya di sebuah kertas yang saya tidak diberitahu mengenai isinya. Belakangan barulah saya tahu bahwa sejak jempol saya dengan gemetar menindis ujung kanan bawah kertas itu resmilah saya mengakui segala yang dituduhkan. Aku telah PKI, atau tepatnya aku telah di-PKI-kan.

Sejak itu turunlah menimpa nasib buruk kemalangan, segala-gala dibatasi, gerak pun diintai, kemerdekaan saya dirampas, saya kehilangan kehormatan. Bahkan yang lebih menyedihkan tak hanya cukup saya yang dikenai nasib buruk, keluarga dan anak-anak saya terikut pula ditimpa petaka, mereka tak dibolehkan meneruskan bersekolah lebih tinggi, ditolak masuk di mana-manapun sekolah tinggi negeri, apalagi masuk militer. Adik saya yang guru tak luput dari juga disusahkan, ia ikut pula terkenai getah, ia telah dipecat sebagai pegawai negeri sipil tanpa dahulu dimintai keterangannya. Rupanya apa yang saya alami, dialami juga oleh lainnya yang terkenai finah sebagai PKI di Buton

Banyak pegawai negeri sipil di Buton menjadi korban dipecat hanya karena ditengarai sebagai keluarganya merupakan bagian dari PKI. Stigma dilayangkan dengan sangat menohok, dilekatkan dan terus dipelihara sehingga membentuk stereotipe yang sempit memiriskan. Banyak orang percaya bahkan mungkin orang Buton sendiri terutama pada generasi belakangan karena stigma yang telah menstereotipe itupun ikut-ikutan percaya bahwa di Buton PKI pernah berbasis dan memiliki jumlah simpatisan pengikut yang besar dan kuat. Itulah yang kemudian membentuk sikap inferior, melahirkan sifat rendah diri dan lalu sibuk bergumul memuji secara berlebihan keagungan pencapaian sejarah masa silam dengan mengabaikan dan menolak segala bentuk sikap kritis akan adanya masa kelam dalam padanya.

Dalam seleksi memasuki pegawai negeri sipil, karena ada “La Ode” pada muka namaku, para selektor dalam apa yang dinamai litsus (penelitian khusus) itu menanyaiku dengan selidik: “Anda dari Buton?” Aku menjawab: “Benar Bapak”. Ditanya lagi: “Kenal atau ada hubungan darah dengan Muh. Kasim?” Aku menjawab: “Tidak keduanya Bapak”. Ia tersenyum sembari melayangkan tanya lagi: “Siapa tokoh idola favoritmu?” Aku menjawabnya dengan suara agak keras: “Soeharto Bapak”

Ketiga penguji dalam litsus itu saling menolehi lalu bertatapan sesama mereka, seorang dari mereka mengernyit dahi dengan sedikit bibirnya diangkat disunggingkan, sembari mengangkat kedua tangannya berkata setengah berbisik: “Dia bersih”. Lalu setelahnya tiga tangan bergiliran disodor menyalamiku sebagai ucapan selamat telah selesai dilitsus, sesudahnya melayanglah koor mereka dalam satu kata: “Anda boleh meninggalkan ruangan”.

Aku berjalan keluar dengan membungkuk sebagai tanda menghormati mereka. Begitu membelakangi, aku rasai punggungku terus dilihat oleh mereka. Dalam berjalan keluar itu, batinku berteriak berontak sekuatnya: “Aku Bukan PKI!”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun