Mohon tunggu...
La Yusrie
La Yusrie Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tinggal di Yogyakarta. Blog Pribadi: www.orang-gu.com

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Aku Bukan PKI: Kesaksian para Terfitnah PKI di Buton 1969

4 Maret 2016   08:04 Diperbarui: 30 September 2020   09:47 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi-pagi, mungkin baru usai azan subuh, aku melihat kesibukan yang tidak biasa di muka sel bilik 2. Beberapa aparat sibuk mondar-mandir dengan gerak gelagat yang panik. Samar kudengar suara saling memburu: “Cepat.., cepat.., angkat…, angkat!”. Aku mendekatkan telinga ke sumber datang suara itu dan mengintip dari sela balik jeruji. Aku terhenyak dalam setengah teriak yang tertahan: “Somba kita Waompu, Ya Allah!”. Aku gemetar, kuduk saya seketika bergidik merinding, kulihat dengan jelas di sana seseorang menjulur kaku dengan tergantung lemas. Dia telah menjadi mayat.

Belakangan tahulah saya bahwa tahanan tetangga di bilik 2 yang saban malam tak berhenti disiksa dan kini terkulai kaku di gantungan itu adalah Muh. Kasim, Bupati KDH TK II Buton.

***

“AKU juga Bukan PKI” kecuali itu hanya dituduhkan sebagai fitnah kepada saya. Dalam keadaan tidak sadar diri karena siksaan yang hebat dengan dicerabut paksa kuku di jari tangan dan kakiku, aku dipaksa meletakan jempol saya di sebuah kertas yang saya tidak diberitahu mengenai isinya. Belakangan barulah saya tahu bahwa sejak jempol saya dengan gemetar menindis ujung kanan bawah kertas itu resmilah saya mengakui segala yang dituduhkan. Aku telah PKI, atau tepatnya aku telah di-PKI-kan.

Sejak itu turunlah menimpa nasib buruk kemalangan, segala-gala dibatasi, gerak pun diintai, kemerdekaan saya dirampas, saya kehilangan kehormatan. Bahkan yang lebih menyedihkan tak hanya cukup saya yang dikenai nasib buruk, keluarga dan anak-anak saya terikut pula ditimpa petaka, mereka tak dibolehkan meneruskan bersekolah lebih tinggi, ditolak masuk di mana-manapun sekolah tinggi negeri, apalagi masuk militer. Adik saya yang guru tak luput dari juga disusahkan, ia ikut pula terkenai getah, ia telah dipecat sebagai pegawai negeri sipil tanpa dahulu dimintai keterangannya. Rupanya apa yang saya alami, dialami juga oleh lainnya yang terkenai finah sebagai PKI di Buton

Banyak pegawai negeri sipil di Buton menjadi korban dipecat hanya karena ditengarai sebagai keluarganya merupakan bagian dari PKI. Stigma dilayangkan dengan sangat menohok, dilekatkan dan terus dipelihara sehingga membentuk stereotipe yang sempit memiriskan. Banyak orang percaya bahkan mungkin orang Buton sendiri terutama pada generasi belakangan karena stigma yang telah menstereotipe itupun ikut-ikutan percaya bahwa di Buton PKI pernah berbasis dan memiliki jumlah simpatisan pengikut yang besar dan kuat. Itulah yang kemudian membentuk sikap inferior, melahirkan sifat rendah diri dan lalu sibuk bergumul memuji secara berlebihan keagungan pencapaian sejarah masa silam dengan mengabaikan dan menolak segala bentuk sikap kritis akan adanya masa kelam dalam padanya.

Dalam seleksi memasuki pegawai negeri sipil, karena ada “La Ode” pada muka namaku, para selektor dalam apa yang dinamai litsus (penelitian khusus) itu menanyaiku dengan selidik: “Anda dari Buton?” Aku menjawab: “Benar Bapak”. Ditanya lagi: “Kenal atau ada hubungan darah dengan Muh. Kasim?” Aku menjawab: “Tidak keduanya Bapak”. Ia tersenyum sembari melayangkan tanya lagi: “Siapa tokoh idola favoritmu?” Aku menjawabnya dengan suara agak keras: “Soeharto Bapak”

Ketiga penguji dalam litsus itu saling menolehi lalu bertatapan sesama mereka, seorang dari mereka mengernyit dahi dengan sedikit bibirnya diangkat disunggingkan, sembari mengangkat kedua tangannya berkata setengah berbisik: “Dia bersih”. Lalu setelahnya tiga tangan bergiliran disodor menyalamiku sebagai ucapan selamat telah selesai dilitsus, sesudahnya melayanglah koor mereka dalam satu kata: “Anda boleh meninggalkan ruangan”.

Aku berjalan keluar dengan membungkuk sebagai tanda menghormati mereka. Begitu membelakangi, aku rasai punggungku terus dilihat oleh mereka. Dalam berjalan keluar itu, batinku berteriak berontak sekuatnya: “Aku Bukan PKI!”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun