Penulis: Kintan RJ, Mahasiswi Administrasi Publik UIN SGD Bandung
Pemerintah menyakiti rakyat dan memihak investor asing, benarkah demikian?
Baru-baru ini muncul berbagai isu kisruh di Pulau Rempang, provinsi Kepulauan Riau yang melibatkan masyarakat dan aparat pemerintah yang diakibatkan oleh pembangunan Rempang Eco City, yaitu pabrik produsen kaca China, Xinyi Glass Holdings Ltd.
Dengan adanya proyek pembangunan ini, pemerintah mengharuskan masyarakat Rempang untuk pindah dari wilayah yang terdampak pembangunan tersebut. Menurut pakar pertanahan, Dr. Ir. Tjahjo Arianto S.H., M.Hum., pulau dengan luas tanah 17.000 ha ini sebagian besar merupakan kawasan hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap dan sebagian lagi merupakan HGU (Hak Guna Usaha) yang dalam artian tanah tersebut merupakan tanah milik Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagian masyarakat menolak untuk pindah karena merasa mempunyai hak kepemilikan atas tanah yang mereka tempati serta mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Secara total terdapat 16 kampung yang akan terdampak, namun dalam waktu dekat hanya 3 kampung yang akan direlokasi terlebih dahulu. Pemerintah menawarkan ganti untung yaitu rumah dengan tipe 45 yang dibangun dalam bentuk pemukiman yang baru dengan total 2.700 unit beserta infrastruktur lainnya seperti sekolah atau rumah ibadah.
Selain itu masyarakat yang terkena relokasi akan mendapatkan tanah seluas 500m2 beserta dengan sertifikat tanah agar kepemilikan sah di mata hukum. Untuk masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, BP Batam akan membangunkan pelabuhan khusus untuk bongkar muat barang dan menyimpan sampan para nelayan.
"Nggak mau mbak, kalau bisa pemerintah pengertianlah sama kami warga yang pinggir-pinggir kaya gini......", ujar Nurliana warga kampung adat Tanjung Kertang saat diwawancarai oleh wartawan pada Kamis, 14 September 2023.
Penolakan tersebut diperkuat dengan terjadinya kerusuhan antara masyarakat dengan aparat gabungan TNI, Polri dan Direktorat Pengamanan Aset BP Batam yang menimbulkan konflik baru seperti hoax dan SARA. Adanya penolakan dari masyarakat dipicu oleh komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara BP Batam dengan masyarakat yang terdampak relokasi. Untuk menangani hal tersebut, Presiden Jokowi menugaskan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia ke Pulau Rempang untuk menjelaskan terkait proyek tersebut kepada warga.
Namun menurut Ansar, Gubernur Kepulauan Riau menyatakan bahwa kerusuhan tersebut bukan karena buruk komunikasi, tetapi karena Pemerintah daerah masih meraba-raba dan mencari format yang pas serta referensi hukumnya. Setelah mendapatkan formulasi dan payung hukum untuk masyarakat rempang, nantinya akan dilakukan sosialisasi secara masif.
Seperti yang kita ketahui bahwasannya di Indonesia terdapat kebiasaan mengelola tanah hutan secara turun menurun dan kemudian dianggap menjadi hak milik pengelola tersebut. Menurut pemahaman dan analisis saya hal ini menjadi salah satu akar permasalahan dalam sengketa tanah di Indonesia.
Hal ini seringkali memicu adanya tumpang tindih hak kepemilikan tanah. Berdasarkan referensi, proyek pembangunan pabrik tersebut sudah direncanakan sejak tahun 2000-an, yang artinya pemerintah mempunyai banyak waktu untuk mematangkan rencana tersebut. Dengan terjadinya kericuhan seperti sekarang, menunjukkan bahwa pemerintah kurang cekatan dalam melakukan perencanaan pembangunan dalam pemanfaatan lahan di Pulau Rempang tersebut.
Saat ini masyarakat yang terdampak maupun tidak terdampak sedang sensitif, karena beranggapan bahwa pemerintah tidak memikirkan rakyat kecil dan lebih berpihak pada investor asing. Hal ini dibuktikan dengan Komnas HAM yang meminta pemerintah untuk mempertimbangkan relokasi kampung tua di Pulau Rempang tersebut.
Padahal semua wilayah Batam direncanakan akan menjadi milik pemerintah dibawah pengelolaan BP Batam, yang ditandai dengan BP Batam diberi Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Dalam hal ini, pemerintah berkeinginan untuk memajukan kota Batam, namun dikarenakan pengetahuan masyarakat yang kurang menyebabkan berbagai informasi yang salah sehingga memicu adanya kerusuhan. Maka dari itu pemerintah harus dengan hati-hati dan mempertimbangkan kembali jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan sengketa tanah di Pulau Rempang.
Sebaiknya pemerintah melakukan negoisasi kembali dengan masyarakat yang terdamak, sehingga proses relokasi dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kericuhan kembali.
Ikuti terus update opini kebijakan dari kami dengan mengikuti akun kompasiana LA2KPUINSGD dan juga mengikuti kami di instagram dengan menekan tautan berikut https://www.instagram.com/ap_uinbdg/
Referensi:
https://www.youtube.com/watch?v=x9OZ9Zw8Egg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H