Mohon tunggu...
Kurnia Zohari
Kurnia Zohari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia

hobi nya maen pokoknya sambil diskusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Vigilante dan Elit Lokal Masa Orde Baru

12 Juni 2023   08:22 Diperbarui: 12 Juni 2023   09:32 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Berrtrand (2004, hlm. 325) menyebutkan bahwa orang kepercayaan Soehato, seperti Edi Nalapraya, juga Letjend. Ismail meyakini bahwa langkah yang menawarkan material kepada penjahat itu sudah gagal. Mereka beranggapan bahwa pelaku kriminal itu penjahat tanpa moral dan dengan begitu sudah tidak bias disembuhkan atau digoda melalui bujukan material, maka diperlukan pendekatan militeristik yang kasar dan keras untuk menciptakan pengamanan legitimasi negara dari para preman. Akhirnya perdebatan antara internal militer berhenti ketika Soeharto, menunjuk Benny Moerdani yang terkenal ektrimis sebagai kepala Korpkamtib. Sejak Maret 1983 hingga berlanjut pada tahun 1985 dengan daerah konsentrasi terbesarnya berada di Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jakarta banyak ditemukan mayat-mayat residivis dan penjahat kelas teri di pinggir jalan, selokan dan bahkan halaman rumah orang, diperkirakan bahawa tidak kurang dari 5.000 sampai 10.000 terduga gali atau preman dibunuh. Menurut Kroef (1984) bahwa polisi telah menyerahkan daftar residivis lokal kepada militer dan menjadi buruan tembak mereka. Secara khusus tato menjadi stereotif dalam operasi ini, dipandang sebagai tanda idnetifikasi simbolis dunia kejahatan untuk mencirikan sasaran pembunuhan yang potensial, walaupun tidak semunya yang bertato ini merupakan termasuk kelompok preman atau pelaku kekerasan (Barker, 1998, hlm. 26).

Menurut Wilson (2021, hlm. 94) eksekusi sewenang-wenang dijalankan oleh pasukan juru tembak dengan niatan jelas menyebarkan ketakutanm cara eksekusi yang tidak beradab tidak jarang diperlihatkan ditempat umum dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja. ketidakjelasan yang timbul akibat keengganan negara untuk menjelaskan siapa sebenernya yang berada dibalik pembunuhan membuat pern menjulukinya sebagai “penembakan misterius” (Petrus). Kondisi korban petrus ditandai dengan tidak adanya identitas dalam keadaan tidak bernyawa dengan kedua tangan terikat di belakang, mayat ditemukan dengan tiga luka tembakan di kepala atau mati karena bekas tercekik. Selain itu, biasanya di atas tubuh mayat diletakkan uang Rp 10 ribu untuk biaya penguburan mayat.

Meskipun negara mengelak terlibat dalam kejadian tersebut. Namun pada akhirnya ada sebuah pengakuan, seperti yang diungkapkan James T. Siegel dalam bukunya yang berjudul Penjahat Gaya (Orde) Baru yang diterjemahkan dari buku A New Criminal Type in Jakarta Counter Revolution Today. Para korban pembunuhan berasal dari geng liar kelas teri yang bekerja bagi partai pemerintah, Golkar, dalam pemilu satu tahun sebelumnya, kemudian dicampakkan ke kehidupan mereka semula (Siegel, 2000, hlm. 152). Tujuan petrus sendiri menurut Wilson (2021, hlm. 96 ) adalah untuk memecah berakarnya jaringan preman dan bisnis keamanan swasta, meneror geng-geng yang tidak terintegrasi ke dalam siskamling agar tunduk, melemahkan basis kekuatn para penantang potensial kekuaasaan Soeharto dan juga menghabisi setidaknya beberapa penjahat sungguhan yang memang bengis.

Seperti diakui oleh Soeharto kemudian dalam biografinya pada tahun 1989m Petrus bertujuan sebagai terapi kejut (Dwipayana dan Ramadhan, 1989, hal. 389). Dengan ini negara berhasil, bukan hanya dalam kaitannya dengan gali melainkan dengan masyarakat secara keseluruhan, bahwa negara menunjukan kemampuan dan kemauan secara fisik untuk menghilangkan setiap tantangan terhadap kekuasannya. Betapapun besar reputsi geng preman dalam taraf lokal, kekuasaan dan eksistensi mereka pada akhirnya bergantu pada beking jejaring politik yang berafiliasi bukan hanya sekedar dengan negara, tapi Soeharto.

Referensi

Barker, J. (2018). State of Fear: Controling the criminal contagion in Suharto’s New Order. In Violance and the State in Suharto’s Indonesia (pp. 20–53). Cornell University Press.

Bertrand, R. (2004). “Behave like enraged lions”: civil militias, the army and the criminalisation of politics in Indonesia. Global Crime, 6(3–4), 325–344

Cribb, R. (2008). Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution, 1945–1949. Equinox Publishing.

Dwipayana, G., & KH, R. (1989). Soeharto, pikiran, ucapan, dan tindakan saya: otobiografi. Citra Lamtoro Gung Persada.

James T. Siegel. 2000. Penjahat Gaya (Orde) Baru Eksplorasi Politik dan Kriminalitas. Yogyakarta : LkiS.

Stoler, A. L. (1988). Working the revolution: Plantation laborers and the people’s militia in North Sumatra. The Journal of Asian Studies, 47(2), 227–247.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun