Mohon tunggu...
Kurnia Zohari
Kurnia Zohari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia

hobi nya maen pokoknya sambil diskusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Vigilante dan Elit Lokal Masa Orde Baru

12 Juni 2023   08:22 Diperbarui: 12 Juni 2023   09:32 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cultura Magazine: Preman

Munculnya Masyarakat Vigilante dan Elit Lokal

Stoler (1988) menyebutkan ketika revolusi, para jago mencap dirinya sebagai gerilyawan yang mentransformasikan kelompoknya menjadi perwujudan laskar, bahkan mendirikan suatu kekuasaan spasial yang pernah dikenal sebagai “republik jago” yang kemudian menjadi sorotan militer karena melihat potensi para jago tersebut untuk membantu mengukuhkan peran militer di dalam sistem parlementer baru yang ditindak lanjuti sebagai bentuk kerja kooptasi baru antara militer, eks laskar, jago, kelompok pemuda revolusioner, dan dunia kriminal yang akan dilembagkan lebih lanjut setelah runtuhnya orde lama (Cribb, 199, hlm. 129). Ditambah adanya kebijakan Hatta mengenai restrukturasi dan rasionalisasi di tubuh militer sehingga mengharuskan memangkas kesatuan tersebut menjadi lebih profesional yang berakibat liarnya para laskar tersebut. Hubungan kooptasi atau patronase dengan militer ataupun elit politik disuatu lokus tertentu memberikan keleluasaan bagi kelompok atau para jago untuk membentuk kelompok swadaya yang diebrikan kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dan keamanan di wilayah tempat tinggal mereka.

Hubungan pengamanan, kekerasan dan Negara masa Orde Baru

Kehadiran kelompok pengguna strategi koersif dalam mencapai kepentingan partikular memberikan pergseran dalam ekonomi-politik koersi dan mengaburkan anggapan kekerasan yang didalangi negara menjadi strategi kekerasan untuk mencapai berbagai kepentingan multi sektor. Pola yang telah terdokumentasikan dengan baik dimana preman dan geng-nya kerap terampil menerima manfaat utama dari politik elektoral demokratis, baik sebgaai kandidiat, pendongkrak keberhasilan, maupun makelar kekuasaan yang mampu memonopoli kekuasaan dengan ancaman kekerasan dan menjalankan fungsi lainnya atas nama klien. Kekerasan non-negara terus terjadi bukan ketidak mampuan negara untuk menghentikannya, namun karena kenyataan bahwa elite-elite politik dan ekonomi mengandalkan kekerasan itu untuk mengonsolidasi kekuasaan dan kepentingan sendiri (Masaki dan Rozaki, 2006, hlm. xi).

Legitimasi negara bergantung pada keberhasilannya dalam mengontrol sarana sekaligus penggunaan kekerasan didalam teritorinya. namun dalam hal ini seperti yang dikatakan oleh Spinoza (dalam Wilson, 2021) terjadinya suatu paradoks dengan negara sebagai penegak hukum namun memberikan suatu previladge terhadap salah satu kelompok hanya dengan alasan jasa dari praktik kekerasan untuk menyokong penguasa itu sendiri…Apabila praktik kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat vigilante tujuannya untuk menopang legitimasi kekuasaan penguasa dan membantu dalam pengamanan posisinya maka praktik koersif tersebut diizinkan, namun jika untuk melawan kemapanan penguasa jelas praktik tersebut bertentangan dan negara wajib mengambil alih pengamanannya sendiri melalui berbagai instrumen yang disiapkan, baik itu berdasar pada prosedural hukum ataupun secara serampangan.

Pengamanan oleh negara disini adalah bahwa sebagai ganti jasa pengamanan yang diberikan oleh negara kepada konstituennya, negara mendapat akses atas sumber daya, yang lazimnya diperoleh melalui upeti berbentuk pajak. Konsep jasa pengamanan menyiratkan multiplisitas para pengguna kekerasan yang saling berinteraksi secara simlutan bertindak sebagai ancaman sekaligus perlidungan, secara sederhana dapat dikatakan bahwa negara sebagai sumber ancaman dan solusi dari ancaman itu sendiri.

Pengamanan legitimasi negara dari Preman

Pada akhir 1970an, beberapa organisasi pelaku kekerasan non-negara menjadi lebih mapan dan profesional, mereka mengembangkan jasa pengamanan swasta sampai dipandang mampu menyaingi dan menjadi tantangan otoritas kepolisisan. Ketakutan yang terbseit dibenak militer dan polisi adalah kemungkinan bahwa geng-geng dan para pengusaha keamanan ini bersatu ke dalam premanisme struktural yang lebih luas mengingat persepsi bahwa polisi lebih mahal dan kurang ampuh menangani keamanan ketimbang geng.

Sebagai respon, Kapolri A. Djamin merancang struktur pengawasan teritorial ektensif yang dikenal sebagai sistemn keamanan lingkungan atau siskamling, dengan maksud membawa kelompok-kelompok ini kembali ke bawah kendali polisi (Wilson, 2021, hlm. 91). Sistem siskamling menciptakan peran resmi baru bagi geng-geng lokal, ada yang direkrut menjadi hansip dan ronda malam diserahi tanggung jawab atas keamanan lingkungan, sementara Satpam memiliki tugas menjaga dunia usaha, terminal bus, dan tempat-tempat umum yang kesemuanya ini dikoordinasikan secara terstruktur oleh divisi kepolisian yang dibentuk secara khusus untuk ini yaitu Bimbingan Masyarakat (Binmas). Merupakan suatu pilihan logis jika para preman dan pengusaha keamanan swasata merupakan sasaran siskamling untuk perekrutan, baik preman maupun pengawasan lingkungan merupakan alat yang cukup efektif bagi pemantauan sehari-hari masyarakat, serta siskamling menjadi wadah pengintegrasi dalam mesin pengawasan birokratik.

Pemberlakuan siskamling seyogyang untuk menghilangkan kejahatan dengan mempersempit sampai tingkat lokal, dan negara dalam hal ini menarik kembali garis kontrol teritorial dan sekaligus dengan itu merekonfigurasi baras-batas diskursif yang menentukan sumber perlindungan yang absah, suatu kelompok yang tetap bergerak diluar sistem ini tanpa perlindungan yang kuat atau organisasi kepemudaan yang direstui negara seperti Pemuda Pancasila, dengan mudahnya akan dicap sebagai penjahat dan proses pembersihan dengan dalih kemanan negara menggunakan cara ekstrim akan diberlakukan kemudian sebagai penegasan kembali legitimasi kekuasaan dari negara terhadap rakyatnya.

Menurut Berrtrand (2004, hlm. 325) menyebutkan bahwa orang kepercayaan Soehato, seperti Edi Nalapraya, juga Letjend. Ismail meyakini bahwa langkah yang menawarkan material kepada penjahat itu sudah gagal. Mereka beranggapan bahwa pelaku kriminal itu penjahat tanpa moral dan dengan begitu sudah tidak bias disembuhkan atau digoda melalui bujukan material, maka diperlukan pendekatan militeristik yang kasar dan keras untuk menciptakan pengamanan legitimasi negara dari para preman. Akhirnya perdebatan antara internal militer berhenti ketika Soeharto, menunjuk Benny Moerdani yang terkenal ektrimis sebagai kepala Korpkamtib. Sejak Maret 1983 hingga berlanjut pada tahun 1985 dengan daerah konsentrasi terbesarnya berada di Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jakarta banyak ditemukan mayat-mayat residivis dan penjahat kelas teri di pinggir jalan, selokan dan bahkan halaman rumah orang, diperkirakan bahawa tidak kurang dari 5.000 sampai 10.000 terduga gali atau preman dibunuh. Menurut Kroef (1984) bahwa polisi telah menyerahkan daftar residivis lokal kepada militer dan menjadi buruan tembak mereka. Secara khusus tato menjadi stereotif dalam operasi ini, dipandang sebagai tanda idnetifikasi simbolis dunia kejahatan untuk mencirikan sasaran pembunuhan yang potensial, walaupun tidak semunya yang bertato ini merupakan termasuk kelompok preman atau pelaku kekerasan (Barker, 1998, hlm. 26).

Menurut Wilson (2021, hlm. 94) eksekusi sewenang-wenang dijalankan oleh pasukan juru tembak dengan niatan jelas menyebarkan ketakutanm cara eksekusi yang tidak beradab tidak jarang diperlihatkan ditempat umum dan mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja. ketidakjelasan yang timbul akibat keengganan negara untuk menjelaskan siapa sebenernya yang berada dibalik pembunuhan membuat pern menjulukinya sebagai “penembakan misterius” (Petrus). Kondisi korban petrus ditandai dengan tidak adanya identitas dalam keadaan tidak bernyawa dengan kedua tangan terikat di belakang, mayat ditemukan dengan tiga luka tembakan di kepala atau mati karena bekas tercekik. Selain itu, biasanya di atas tubuh mayat diletakkan uang Rp 10 ribu untuk biaya penguburan mayat.

Meskipun negara mengelak terlibat dalam kejadian tersebut. Namun pada akhirnya ada sebuah pengakuan, seperti yang diungkapkan James T. Siegel dalam bukunya yang berjudul Penjahat Gaya (Orde) Baru yang diterjemahkan dari buku A New Criminal Type in Jakarta Counter Revolution Today. Para korban pembunuhan berasal dari geng liar kelas teri yang bekerja bagi partai pemerintah, Golkar, dalam pemilu satu tahun sebelumnya, kemudian dicampakkan ke kehidupan mereka semula (Siegel, 2000, hlm. 152). Tujuan petrus sendiri menurut Wilson (2021, hlm. 96 ) adalah untuk memecah berakarnya jaringan preman dan bisnis keamanan swasta, meneror geng-geng yang tidak terintegrasi ke dalam siskamling agar tunduk, melemahkan basis kekuatn para penantang potensial kekuaasaan Soeharto dan juga menghabisi setidaknya beberapa penjahat sungguhan yang memang bengis.

Seperti diakui oleh Soeharto kemudian dalam biografinya pada tahun 1989m Petrus bertujuan sebagai terapi kejut (Dwipayana dan Ramadhan, 1989, hal. 389). Dengan ini negara berhasil, bukan hanya dalam kaitannya dengan gali melainkan dengan masyarakat secara keseluruhan, bahwa negara menunjukan kemampuan dan kemauan secara fisik untuk menghilangkan setiap tantangan terhadap kekuasannya. Betapapun besar reputsi geng preman dalam taraf lokal, kekuasaan dan eksistensi mereka pada akhirnya bergantu pada beking jejaring politik yang berafiliasi bukan hanya sekedar dengan negara, tapi Soeharto.

Referensi

Barker, J. (2018). State of Fear: Controling the criminal contagion in Suharto’s New Order. In Violance and the State in Suharto’s Indonesia (pp. 20–53). Cornell University Press.

Bertrand, R. (2004). “Behave like enraged lions”: civil militias, the army and the criminalisation of politics in Indonesia. Global Crime, 6(3–4), 325–344

Cribb, R. (2008). Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution, 1945–1949. Equinox Publishing.

Dwipayana, G., & KH, R. (1989). Soeharto, pikiran, ucapan, dan tindakan saya: otobiografi. Citra Lamtoro Gung Persada.

James T. Siegel. 2000. Penjahat Gaya (Orde) Baru Eksplorasi Politik dan Kriminalitas. Yogyakarta : LkiS.

Stoler, A. L. (1988). Working the revolution: Plantation laborers and the people’s militia in North Sumatra. The Journal of Asian Studies, 47(2), 227–247.

Okamoto, M., & Rozaki, A. (2006). Kelompok kekerasan dan bos lokal di era reformasi. Diterbitkan kerjasama Center for Southeast Asian Studies (CSES), Universitas Kyoto, Jepang [dengan] IRE Press, Yogyakarta.

Van der Kroef, J. M. (1984). “ Petrus”: Patterns of Prophylactic Murder in Indonesia. Asian Survey, 25(7), 745–759.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (Vol. 1). Univ of California Press.

Wilson, I. D. (2018). Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru. Tanggerang: Marjin Kiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun