Dalam kasus ini, penggunaan bahasa sebagai alat perjuangan benar-benar terasa ketika negara penjajah melakukan diskriminasi terhadap kelompok tertentu.Â
Di Indonesia misalnya ada tulisan "pribumi dan anjing dilarang masuk" dalam suatu bangunan milik kolonial Belanda. Umumnya ditulis dengan bahasa Belanda dan di bawahnya ada bahasa Melayu yang menegaskan bahwa bahasa Belanda lebih baik daripada bahasa pribumi yang dianggap sebagai kelas ketiga dalam strata sosial.
Diskriminasi bahasa kerap kali menyakiti masyarakat secara perlahan. Oleh sebab, itu pada era pergerakan muncul gagasan agar perlawanan melawan kolonialisme perlu melibatkan peran bahasa agar masyarakat bisa bersatu.
Dalam sumpah pemuda, bahasa Indonesia menjadi pilihan karena mampu mengakomodir berbagai kelompok yang berbeda tetapi bisa dipahami oleh orang banyak. Bahasa Indonesia sendiri merupakan pengembangan dari bahasa Melayu pasar yang sudah populer sejak era Kerajaan Sriwijaya.Â
Kemudian bahasa ini juga masih dipakai oleh masyarakat umum karena tidak semua orang Nusantara kala itu bisa berbahasa Belanda kecuali para pejabat dan pengusaha yang dekat dengan Belanda.Â
Tapi hanya sederhana yakni pemimpin bahasa, pergerakan kemerdekaan suatu negara bisa lebih cepat dilakukan. Penyampaian propaganda dan juga semangat perjuangan kala itu menggunakan bahasa Indonesia sebagai media perlawanan terhadap tulisan-tulisan Belanda yang mencegah masyarakat berpikir kritis.Â
Karena itu, bahasa menjadi alat yang sangat powerful sekaligus mampu memecah belah suatu kelompok. Jika yang menggunakan orang bijak, negara akan lebih cepat maju dan sebaliknya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H