Acara bobo’-bobo’ bareng sambil cerita horor di tengah kegelapan malam. Pokoknya tidak ada yang boleh tidur!
So nostalgic….
Pukul 4 sore, beberapa jam sebelum keberangkatan. Mobil pick up milik keluarga Ilham sudah stand by mengantarkan oleh-oleh dan koper ke jalan poros tempat bus menunggu.
Rencana kepulangan akan dimulai pukul 7 malam. Tidak tanggung-tanggung oleh-oleh dari Tabaroge. Kelapa muda 60 buah, 5 karung pisang raja, 1 karung jeruk nipis, entah berapa kantung besar semangka ranum, gula merah, dan Kacang Sembunyi. Benar-benar SATU PICK UP!!! Syukurlah, bus yang ditumpangi bukanlah bus AC. Menjelang buka puasa, saatnya berpamitan kepada warga Tabaroge….. Sungguh berat terasa ketika kaki melangkah menuju salah satu rumah warga. Rumah pertama adalah rumah Mama Eka. Dari kejauhan telah tampak di matanya belingan air mata. Tampaknya ia sudah menebak kedatangan kami ke sana adalah ingin berpamitan. Kutahan air mataku untuk tumpah. Singkat kami cium tangannya dan berlalu dalam senyum. Hanya kalimat singkat dari kordesku, “Terima kasih, bu…” Kaki gontai berjalan menuju rumah lainnya, tak terasa air mata kami mulai tumpah. Sempat lama kami terdiam di bawah rumah Mama Hasni hanya untuk menghapus air di mata. Kami pun bertemu dengan satu persatu ibu-ibu yang telah sangat akrab dengan kami selama 41 hari di Tabaroge. Rumah keempat, akhirnya kami berhenti. Melewati masjid dimana telah berkumpul warga lainnya. Mereka terlihat menanti kami sejak tadi. Tak kami hiraukan kami kembali ke rumah Ambo’. Lama kami terisak... satu persatu slide kenangan selama 41 hari tertumpah. Mulai sejak kami tiba hingga berada di ruangan itu. Kenangan di masjid, sekolah, rumah warga… semua teringat jelas dan rapi. Benakku, sungguh luar biasa warga di sini… kebersamaan dan kekeluargaannya sungguh merasuk hingga ke hati kami. Seorang gadis manis berkulit gelap, Fika. Datang dan langsung memelukku. Air mataku tumpah. Kuingat saat malam-malam ia datang kepadaku meminta diajarkan tips untuk wawancara masuk SMA yang sekarang ia tempati. Suasana semakin hening, hanya suara tangisan yang ada. Dua gadis kecil, Sara dan Tuti mulai terisak saat Ulfa memeluk mereka sambil memberi pesan terakhir. Tidak lama datang ibu dari Fika dan Tuti beriringan memeluk kami dan berlalu pergi sambil menahan air matanya. Tuhan, kami tidak pernah menyangka akan seberat ini meninggalkan Tabaroge. Kaki kami melangkah menuruni tangga rumah Ambo’. Perasaan kami mulai tenang. Bagaimanapun kami harus berpamitan baik-baik kepada semua warga yang telah menunggu kami di masjid. Kulihat semua mata tertuju kepada kami. “Ini akan menjadi buka puasa terakhir kita di Masjid Tabaroge,,” Kami memasuki masjid sambil tersenyum, kulihat mata merah ibu-ibu yang biasa kami panggil mama di sana. Diam. Kami duduk berbaur. Masih diam. Aku pun tidak sanggup mengucapkan kata-kata perpisahan maupun pesan kesan yang pantas saat itu. Rasanya mata yang tadi diusahakan kering akan berair kembali bila suara ini keluar.
Tanpa sadar, sebentar lagi akan berbuka. Menu hari ini adalah bakso dari rumah Ambo Sakka. Lekas ibu-ibu mulai menyirami mie dan kami mulai bergerak menyusun di tempat orang akan duduk.
Terima kasih untuk warga desa Tabaroge... semoga ada jodoh untuk bertemu kembali. Amin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H