Jagad maya dihebohkan dengan adanya video keluhan salah satu orangtua mahasiswa yang "mengutuk" pejabat kampus di salah satu univerisitas di Kota Bandung mengenai mahalnya biaya wisuda.
Orangtua tersebut menilai tidak masuk akal biaya wisusda mencapai 3.7 juta sedangkan acara wisuda dilaksanakan secara daring. Lanjutnya, orangtua mahasiswa tersebut menuntut pihak kampus untuk mengembalikan uang wisuda tersebut.Â
Sebagai warga masyarakat pada umumnya, saya sangat memahami keluh kesah apa yang diutarakan oleh orangtua tersebut.
Namun di sisi lain kapasitas saya sebagai dosen yang juga kebetulan pernah menduduki salah satu jabatan kampus dan pernah juga terlibat langsung dalam kegiatan wisuda merasa "perlu" berbicara mengenai permasalahan heboh mahalnya biaya wisuda.
Dalam kapasitas ini, saya akan menjelaskan mengenai sedikit "urusan dapur" perguruan tinggi swasta pada umumnya yang mungkin masyarakat umum tidak mengetahuinya, tanpa menyudutkan pihak manapun.
Pertama, Pengelolaan Dibawah Yayasan Pendidikan Tinggi.
Berbeda halnya dengan perguruan tinggi negeri yang pengelolaannya berada di bawah pemerintah, yang mana ada anggaran yang dikeluarkan negara melalui APBN, perguruan tinggi swasta pengelolaannya berada di bawah suatu yayasan perguruan tinggi, dalam prakteknya pengelolaan keuangan tidak akan lepas dari campur tangan yayasan.
Akan menjadi masalah kemudian yaitu sejauh mana komitmen yayasan dalam pengelolaan perguruan tinggi tersebut, dalam masalah ini yaitu pengelolaan keuangan kampus.
Secara realita, ada yayasan yang profesional, transparan dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam menjalankan suatu perguruan tinggi.
Tetapi tidak menutup mata bahwa ada juga yayasan yang menerapkan nilai organisasi tertutup, tradisional, tidak transparan, bahkan dikelola dengan manajemen "keluarga".
Perbedaan inilah yang berakibat kepada adanya disparitas pengelolaan yayasan perguruan tinggi yang berimplikasi kepada transparansi pengelolaan keuangan kampus, yayasan pendidikan tinggi yang profesional akan transparan mengenai pengelolaan keuangan.
Bahkan, sirkulasi keuangan akan diaudit oleh akuntan publik untuk kemudian dipertanggungjawabkan di forum resmi kampus, seperti di rapat senat.
Begitupun sebaliknya dengan yayasan yang bersifat tertutup. Maka jangan harapkan adanya transparansi keuangan kampus, apalagi adanya akuntan publik untuk mengaudit sirkulasi keuangan kampus yang hasilnya dapat dipertanggung jawabkan di forum akademik.
Kedua, ada "hak" Yayasan Perguruan Tinggi dalam Penyelenggaraan Kampus.
Kehadiran Yayasan Perguruan Tinggi dalam pengelolaan kampus berimplikasi kepada adanya "hak" dalam penyelenggaraan perguruan tinggi, yang mana lagi-lagi akan ditentukan oleh nilai organisasi yang dianut oleh yayasan tersebut, bagi yayasan yang bersifat profesional mereka sudah mampu memisahkan antara kegiatan yayasan dan kegiatan kampus.
Namun bagi yayasan yang pengelolaannya tidak profesional, tidak hanya turut campur dalam penyelenggaraan kegiatan kampus, bahkan pejabat-pejabat kampus merupakan "boneka" yayasan yang dalam melaksanakan kegiatan kampus menjalankan apa yang jadi keinginan yayasan tersebut.Â
Ketiga, Setoran "jatah" bagi Yayasan Perguruan Tinggi.Â
Lancarnya kegiatan yayasan akan turut dibiayai oleh uang dari perguruan tinggi yang berada di bawah pengelolaannya. Ada yayasan yang menjadikan kampus sebagai sumber "rezeki", sehingga setiap pungutan yang dilakukan kepada mahasiswa akan dipotong sebagai "uang sumbangan yayasan", termasuk di dalamnya uang untuk kegiatan wisuda, sehingga uang yang dibayarkan mahasiswa untuk suatu kegiatan kampus tidak sepenuhnya diperuntukan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan tersebut.Â
Menjadi masalah kemudian yaitu, besaran "jatah" yang diambil yayasan, yang mana ada yayasan yang mengambil jatah "sedikit", namun ada juga yayasan yang mengambil jatah "banyak" dan "sangat banyak", sehingga iuran dari kegiatan kampus yang harus dibayar menjadi tidak rasional.
Yayasan perguruan tinggi yang profesional, lagi-lagi akan dapat mempertanggung jawabkan penggunaan uang yayasan tersebut, bahkan akan memberikan kembali uang yang telah "ditarik" dari mahasiswa dalam bentuk pemberian sarana prasarana dan layanan kampus bagi mahasiswa.
Tapi, bagi yayasan yang tidak profesional, besarnya uang yang telah ditarik tidak akan kembali ke mahasiswa, ia akan mengalir tanpa diketahui ujung pangkalnya.
Masalah uang sumbangan yayasan ini yang dalam dunia kami, bahasan di kalangan para dosen dikenal dengan istilah "yayasan rewog" atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan rakus, yang mana yayasan terlalu mengambil banyak keuntungan dari sirkulasi keuangan kampus tanpa adanya imbal jasa baik bagi mahasiswa maupun bagi dosen dan tenaga kependidikan, bahkan dalam beberapa kasus merugikan mahasiswa yang mana biaya perkuliahan tidak sebanding dengan fasilitas kampus yang didapat.Â
Lalu, bagaimana selanjutnya?
Bagi pergurun tinggi yang profesional dan disokong oleh yayasan yang profesional juga tidak akan pernah menjadi masalah ketika publik menanyakan mengenai penyelenggaraan kegiatan kampus, termasuk menanyakan pengeluaran dalam kegiatan wisuda.
Sebab, kampus yang dikelola secara profesional akan bersifat transparan dan memberikan infomasi kepada publik yang menjadi bagian dari kampus mengenai informasi yang sudah menjadi haknya.
Sebaliknya, jangan harapkan hal serupa akan didapat apabila perguruan tinggi dikelola dengan tidak profesional, bahkan dikelola dengan asal-asalan.Â
Dari penjabaran tersebut, tanpa membela para dosen maupun pejabat kampus, maka dosen dalam dunia kampus, khususnya di kampus swasta bukan merupakan aktor satu-satunya yang mana setiap kesalahan kebijakan berujung kepada kesalahan dosen, bisa saja di kampus swasta.
Rajinnya yayasan "mengepel" lantai kampus hingga mengkilap dan licin, menyebabkan dosen terpeleset dan ditertawakan mahasiswanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H