Mohon tunggu...
Dian Herdiana
Dian Herdiana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Kota Bandung

Mencari untuk lebih tahu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perbedaan Smart Village dengan Smart City

29 Juli 2019   00:08 Diperbarui: 1 Agustus 2019   00:49 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dilihat dari perkembangan teknologi informasi, konsep smart village tidak bisa dilepaskan dari perkembangan konsep smart city, hal ini didasarkan kepada alasan bahwa desa sebagai unit pemerintahan terendah dalam struktur pemerintahan Indonesia juga memerlukan pembaharuan dan adopsi terhadap perkembangan teknologi informasi, sehingga dengan menerapkan teknologi informasi akan mendorong percepatan pengembangan smart city yang tengah dilaksanakan (Aditama, 2018; Badri, 2016; Mayoan, 2016).

Apabila dilihat dalam konteks karakter pembangunan, desa memiliki pola pembangunan yang berbeda dengan kota. Desa merupakan kesatuan unit dari suatu entitias masyarakat yang memiliki karakter dan tradisi yang khas yang mana masyarakat menjadi bagian terdepan dan penggerak utama pembangunan, sehingga desa diasosiasikan sebagai kesatuan masyarakat hukum (Rauf, 2016; Salim, 2016; Suparman, 2016), desa juga merupakan kesatuan homogenitas masyarakat yang sederhana dengan mata pencaharian homogen (Purwanto, 2004; Sulistiyono, Surwanto, & Rindarjono, 2015).

Kota dengan heterogenitas dan mobilitas masyarakatnya yang tinggi memiliki pola perkembangan yang kompleks dari berbagai unsur pembangunan, mulai dari pemerintahan, ekonomi, industri, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya, sehingga pembangunan kota didasarkan atas keterjalinan kompleksitas berbagai unsur yang ada di dalamnya.

Dikaitkan dengan konteks pemanfaatan teknologi informasi, maka smart city ditunjukan untuk peningkatan kualitas hidup dan optimalisasi keterjalinan berbagai aspek yang ada, sebagai mana konsep yang dibuat oleh pemerintah yaitu bagaimana smart governance, smart economy, smart infrastructure, smart people, smart environment dan smart living menjadi satu kesatuan yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemudahan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar yang pada akhirnya akan tercipta kondisi kehidupan perkotaan yang baik dengan berbasis kepada pemanfaatan teknologi informasi (Makkelo, 2017; Nurmandi, 2015; Simorangkir, 2016; Utomo & Hariadi, 2016; Yulianingsih, 2015).

Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang homogen tidak bisa disamakan dengan kota dalam adopsi teknologi informasi, hal ini dikarekan pemanfaatan teknologi informasi di tingkat desa selain dihadapkan kepada homogenitas masyarakatnya, juga dihadapkan kepada lokalitas karakteristik dan budaya yang ada di desa, sehingga konsep smart city tidak bisa begitu saja diterapkan di desa dengan mengusung terminologi smart village, harus ada upaya konstruksi konseptual yang didasarkan kepada karakteristik desa.

Dari pemahaman tersebut, maka adanya pemanfaatan teknologi informasi di desa ditujukan untuk penguatan kelembagaan masyarakat, pemberdayaan, kelestarian tatanan sosial dan struktur masyarakat perdesaan sebagai sebuah kesatuan hukum yang khas.  Atas dasar tersebut, maka upaya awal membedakan pengembangan karakteristik smart village dengan pengembangan smart city dilakukan dengan cara membedakan pendekatan dan tujuan yang ingin dicapai. 

Penjelasan Gambar:

Konteks pengembangan smart city di Indonesia, menempatkan berbagai elemen yang terdiri dari smart economy, smart infrastructure, smart governance, smart environment, smart living dan smart people sebagai unsur yang mendorong terwujudnya penerapan smart city, keberfungsian elemen-elemen tersebut menjadi dasar keberhasilan penerapan smart city. Sehingga berbagai elemen tersebut harus memiliki prakondisi kesiapan yang sama dalam adopsi teknologi informasi.

Dalam prakteknya, smart city lebih menekankan kepada pendekatan top-down, dalam artian adanya otoritas untuk mendorong dan menekan elemen-elemen yang ada untuk menjalankan fungsinya sesuai peran yang telah disusun dalam konsep smart city, yaitu institusi negara sebagai pihak yang memiliki kewenangan.

Implikasinya kepada peran pemerintah sebagai regulator yang menetapkan instrumen keberfungsian elemen-elemen smart city tersebut, pemerintah pula dengan instrumen kebijakan yang dimilikinya harus memastikan adanya aturan yang rinci, rigid dan instruksional agar semua elemen mampu bersinergi mewujudkan kolektivitas dan integrasi.

Berbeda dengan pengembangan smart city, pengembangan smart village harus dipahami sebagai kondisi yang menunjukan adanya dorongan dari bawah, yaitu dari masyarakat untuk lebih bisa menggali potensi dan meningkatkan kapasitas yang dimilikinya. Keinginan tersebut kemudian didorong oleh pemerintah desa sebagai cara untuk memberikan pembinaan dan pemberdayaan agar terwujud peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Sehingga pemanfaatan teknologi informasi dijadikan sebagai alat atau "tools" dalam upayanya mewujudkan keinginan tersebut dan bukan sebagai tujuan atau "goals".

Dari pemahaman tersebut, maka pengembangan smart village didasarkan kepada pendekatan dari bawah "bottom-up" atas prakarsa dan keinginan masyarakat, sehingga adanya penguatan kelembagaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah desa melalui pembinaan dan pemberdayaan masyarakat dengan pemanfaatan teknologi informasi sepenuhnya dilakukan dalam kapasitas pemerintah sebagai fasilitator.

Dengan begitu, maka sasaran masyarakat yang dituju jelas merupakan kategori masyarakat menengah, miskin dan belum terberdayakan, sehingga pengembangan teknologi informasi mampu mendorong kelompok masyarakat tersebut mencapai peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup.

Pengembangan smart village dalam prosesnya memerlukan analisis yang baik mengenai berbagai nilai, karakter dan norma yang ada di masyarakat, hal ini menjadi penting dikarenakan masyarakat ditempatkan sebagai customer dari teknologi informasi. Masyarakat diberikan prioritas mengenai potensi dan karakter mana yang ingin dikembangkan dan dilembagakan melalui dukungan teknologi informasi, sehingga akan tercipta pemanfaatan teknologi yang tepat guna didasarkan kepada kebutuhan dan karakter masyarakat dalam kerangka smart village.

Alasan lainnya yaitu dengan adanya identifikasi secara mendalam terhadap berbagai nilai, karakter dan norma yang ada, maka akan menentukan ukuran dari teknologi informasi yang akan dipergunakan, mengingat adopsi teknologi informasi dalam prakteknya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga pada akhirnya diharapkan akan terjalin kesesuian antara nilai, karakter, norma dan masalah dengan teknologi informasi dalam pengembangan smart village.

Dari pemahaman tersebut, menunjukan bahwa terdapat perbedaan tujuan pengembangan smart village jika dibandingkan dengan smart city, penyesuaian teknologi informasi dengan nilai, karakter dan norma yang ada di desa akan mampu menciptakan sinergitas diantara keduanya dan akan mampu mewujudkan pemberdayaan, penguatan kelembagaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan yang didasarkan atas pemanfaatan teknologi informasi.

Keterangan: Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal dengan judul: Pengembangan Konsep Smart Village Bagi Desa-Desa di Indonesia

Tautan/Link artikel penuh di jurnal IPTEK-KOM: jurnal.kominfo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun