Awal dekade 2000-an nama Muhammad Bakir kerap disebut-sebut sebagai pelopor sastra Betawi. Padahal namanya lama dilupakan dalam bingkai sejarah sastra Indonesia.
Muhammad Bakir muncul sebagai tokoh baru sastrawan Betawi dengan cerita-cerita imajinatif yang bersifat tradisonal, mengajarkan tentang moral. Namun selingkali dibumbui dengan realitas dan modernitas.
Dalam buku Katalog  Naskah Pecenongan: Koleksi Perpustakaan Nasional (2014:3) Meskipun Muhammad Bakir tergolong pengarang dari periode lama, yaitu masa peralihan antara sastra "klasik" dan sastra "modern" pada akhir abad ke-19. Karya Muhammad Bakir justru menunjukkan bahwa kedua kategori tersebut perlu memakai tanda petik, karena sastra lama tidak selalu "klasik" sedangkan sastra baru tidak selalu "modern".
Menurut Chambert Loir dalam  bukunya yang berjudul Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu, Muhammad Bakir dan Kawan-kawan: Lima Belas Karangan tentang Sastra Indonesia Lama (2014: 314) Muhammad Bakir muncul berkat penemuan adanya hubungan erat antara 26 naskah Melayu  yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta (didapatkan oleh Bataviaasch Genotschap van Kunsten en Wetenschappen pada 1889 dan 1899), 10 naskah yang tersimpan di Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet seksi Leningrad (diproduksi pada 1912 dari Dr. W. Frank), dan 7 naskah di perpustakaan Universitas Leiden (sebagian besar berasal dari peninggalan H.N. van der Tuuk).
Dari penelitian hubungan naskah di tiga tempat tersebut muncullah silsilah keluarga Fadli sebagai keluarga Sastrawan Betawi. Naskah-naskah tersebut memiliki tanda tangan Muhammad Bakir, Safirin, dan Ahmad Beramka.
Didukung pula dengan kolofon-kolofon yang menyatakan jati diri penulis, tempat tinggal, dan kehidupan penulis. Sehingga diketahui bahwa mereka bertiga ialah satu keluarga, yaitu keluarga Fadli. Berikut tampilan bagan keluarga Fadli menurut Chambert Loir (2014:317)
Koleksi naskah-naskah yang berada di Perpustakaan Nasional sekarang ini kebanyakan berasal dari koleksi yang dikumpulkan pada era kolonialisme Belanda oleh Bataviaasch Genootchap van Kusten en Wetenschappen mulai tahun 1780-an.
Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, koleksi tersebut menjadi milik Museum Nasional, kemudian kembali berpindah tangan ke Perpustakaan Nasional.
Karya-karya keluarga Fadli menggunakan aksara Arab Melayu, dan menggunakan bahasa Melayu Tinggi Betawi. Namun, masing-masingnya mempunyai ciri khas tersendiri dalam menulis.