Mohon tunggu...
Kusworo
Kusworo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penjelajah Bumi Allah Azza wa Jalla Yang Maha Luas Dan Indah

Pecinta Dan Penikmat Perjalanan Sambil Mentadaburi Alam Ciptaan Allah Swt

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Sustainability Prosperity : Bisakah Digapai Dalam Dunia Yang Belum Seimbang

17 Januari 2025   05:30 Diperbarui: 16 Januari 2025   21:36 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doughnut Economics sebuah model ekonomi Kate Rawort | Thebigrais.fr

 

Saat revolusi industry, kemajuan teknologi, dan digitalisasi membawa manusia ke dunia masa depan yang gemilang, ternyata ada sebuah ironi yang tak terhindari dalam proses pembangunannya. Kala prosesnya, menanam benih kehancuran ekologis yang terus mengintai untuk semua generasi. Ternyata kemakmuran material yang kita lihat dan nikmati hari ini terwujud dari eksploitasi alam, yang terkadang lebih brutal dari film perang yang penuh dengan aksi kekejaman di dalamnya. Dan alam hanya pasrah menerima perlakuan terhadapnya.

Namun sejatinya alam tidak tinggal diam. Saat terompet peringatan dari pemanasan global semakin nyaring terdengar. Di saat gletser di Alaska dan Antartika mulai mencair dengan cepat. Kala burung-burung endemik bermigrasi tidak pada waktunya. Dan di saat ratusan jiwa tergetak tanpa nyawa karena sengatan hawa panas luar biasa di beberapa belahan dunia. Maka kita dipaksa untuk mempertanyakan : Apakah planet bumi kita dan masa depannya dipertarunkan bahkan dikorbankan untuk menggapai kemakmuran dalam makna sesungguhnya?


 

Sebuah Stimulus Mengalisis 

Artikel membahas konsep Kemakmuran Berkelanjutan, Sebuah Model Bisnis Masa Depan, ditulis Dr.Acong Dewantoro Marsono, M.B.A. Seorang Dosen Senior di Perbanas Institut dalam buku "Beyond Value" Strategis for a Sustainable Futere, memberi stimulus menganalisis Sustainable Prosperity dengan gaya lebih popular. Membumikan sebuah konsep besar agar dapat dipahami dengan mudah.

Buku penuh gagasan dan inspirasi segar akademisi dan praktisi ini merupakan seri ke-2 dari kiprah Perbanas Institut untuk dunia Pendidikan dan Bisnis Berkelanjutan. Buku edisi pertamanya berjudul "Beyond Profit" The Power of Sustainability Strategy.  

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Rektor Perbanas Institut mengatakan."Keunggulan buku ini terletak pada pendekatan holistiknya yang mengintegrasikan tiga dimensi fundamental : partnership, prosperity, dan peace".

Pertumbuhan Ekonomi, Sebuah Mantra Universal

Para ekonom menjadikan Gross Domestic Product-GDP seakan mantra bisnis universal untuk mengukur kesejahteraan. Angka dan pertumbuhan ekonomi menjadi parameter tingkat keberhasilan. Semua tidak ada salahnya. GDP sejatinya memang mengukur kinerja ekonomi. Pertumbuhan GDP dari waktu ke waktu mengindikasikan kecepatan perekonomian berkembang. Wujud angkanya yang positif berarti ekonomi sehat, sedangkan kontraksi menandatakn resesi.

Ia juga menjadi indikator kesejahteraan material. Angka yang tinggi bermakna standar hidup yang lebih baik, walaupun hanya mencakup kesejahteraan material. GDP menjadi panduan kebijakan ekonomi. Dengannya penguasa negara dan bank sentral merancang kebijakan fiskal (anggaran negeri), dan mengatur kebijakan moneter (suku bunga). Satu lagi, dengannya kita bisa memperbandingkan ukuran dan kekuatan ekonomi antar bangsa, baik secara nominal maupun berdasarkan paritas daya beli.

Dunia memang sangat terobsesi dengan angka, dan pertumbuhan ekonomi menjadi parameter keberhasilan. Seolah semua adalah mantra universal untuk mendapat kesejahteraan. Namun ketika banjir bandang sering melanda kota, kebakaran hutan meluas tanpa mampu mengendalikannya,  suhu semakin panas, udara semakin sesak dan pengap, dan lautan sering bergejolak membara, lalu apa artinya semua angka hebat itu?

Jason Hickel dalam buku Les is More mengkritik keras para kapitalis ekstratif, merujuk pada sistem ekonomi yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam secara massif untuk menopang produksi, konsumsi, dan akumulasi modal. Ia menyebut system ini sebagai "Perang terhadap kehidupan".

Poin utama kritiknya adalah  eksploitasi sumber daya dan pertumbuhan tak terbatas di atas keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan sosial. Argumennya menyatakan: masyarakat modern terjebak dalam logika konsumsi tak berujung. Kapitalisme mendasarkan keberhasilannya pada pertumbuhan ekonomi yang terus menerus, meskipun sumber daya planet bersifat terbatas.

Tidak hanya merusak lingkungan, sistem ini juga menciptakan ketimpangan sosial. Negara berkembang "diperbodoh" menjadi supplier bahan mentah yang merusak alam dan meninggalkan jejaknya secara nyata. Yang berujung pada ketidakadilan ekonomi. Sebuah paradok kehidupanpun terjadi: Pertumbuhan yang dirayakan sebagai kesuksesan, justru menggerogoti fondasi ekologis yang menopang kehidupan.

Menurut Hickel, dunia tidak kekurangan sumber daya, tapi kekurangan kebijaksanaan untuk menggunakan sumber daya secara bijak. Alih-alih mengukur keberhasilan dengan pertumbuhan tak terbatas, ia menyerukan keseimbangan antara manusia dan alam. Prinsip utamanya adalah: cukup, bukan lebih.

 

Sebuah Alternatif Sederhana Namun Revolusioner

Adalah Kate Rawort, Wanita ekonom Inggris yang memperkenalkan konsep Doughnut Economics sebuah model ekonomi yang menyeimbangkan antara kebutuhan dasar manusia dan batasan planet. Salah satu konsep model yang tengah popular dalam konsep sustainability. Anda tahu donat? Bayangkan. Lingkaran dalam mereperestasikan kebutuhan dasar manusia (makanan, air, Pendidikan Kesehatan, dan sebagainya). Lingkaran luar adalah batas ekologis panet bumi. Diantara kedua lingkaran, adalah zone aman dimana manusia dapat berkembang tanpa merusak lingkungan. Sebuah penggambaran sederhana namun revolusioner.

Bagaimana mempraktekkannya ? Itulah tantangannya. Negera-negara maju digambarkan sebagai Narrator ulung. Juru kampanya penyelamat bumi. Paling jago kalau ngomong konsep berkelanjutan. Menjadi pencipta fatwa keberlanjutan. Tapi faktanya?  Mereka tetap menjadi konsumen terbesar energi fosil di dunia. Bagi negara berkembang kondisi ini menjadi sebuah dilemma besar. Tak mungkin rasanya mengejar pembangunan tanpa mengulangi kesalahan yang sama ?

Doughnut Economics sebuah model ekonomi Kate Rawort | Thebigrais.fr
Doughnut Economics sebuah model ekonomi Kate Rawort | Thebigrais.fr

Transformasi Menuju Kemakmuran Berkelanjutan

Menuju kemakmuran berkelanjutan memerlukan transformasi yang harmoni di tiga dimensi utama sustainability. Ekonomi, Sosial, dan ekologis. Sebuah proses sistemik. Bertujuan menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Memastikan kesejahteraan jangka panjang tanpa merusak planet bumi.

Ekonomi Regeratif menjadi pilar utama dengan pengalihan kegiatan ke ekonomi hijau. Sistem berbasis energi terbarukan menggantikan bahan bakar fosil. Energi surya, angin, dan hidroelektrik menjadi pilihan utama. Desain Circular economy yang mengadobsi model ekonomi melingkar. Menekankan daur ulang, penggunaan ulang, dan pengurangan limbah. Apresiasi dan penghargaan terhadap nilai non-material dengan investasi berfocus di sosial, Pendidikan, dan Kesehatan.

Dari aspek Keadilan Sosial harus dilakukan redistribusi kekayaan. Mengurangi kesenjangan enonomi melalui kebijakan progresif seperti pajak karbon, upah minimum yang layak, dan program kesejahteraan universal. Inklusi sosial dengan memberikan akses yang adil terhadap Pendidikan, Kesehatan, air bersih, dan kesempatan kerja bagi semua kalangan, termasuk kelompok marginal. Mendorong partisipasi komunitas masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan Keputusan, terkait isu-isu yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.

Dari sisi Ekologis diperlukan restorasi ekosistem. Menghidupkan Kembali hutan, lahan basah, dan ekosistem lainnya melalui reforestasi dan konservasi. Melakukan konsep pertanian Regeneratif dengan meningkatkan Kesehatan tanah, keanekaragaman hayati, dan ketahanan iklim. Pengelolaan sumber daya berbasis lokal juga sangat penting dilakukan dengan memberikan kekuasaan kepada komunitas lokal untuk mengelola sumber daya secara bijak.

Semua pendekatan transformasi kemakmuran berkelanjutan harus berpegang pada prinsip Holistik, Intergenerasional, dan adaftif. Holistik merujuk pada pendekatan keterkaitan antara ekonomi, masyarakat, dan ekologi dan memahaminya bahwa satu elemen tidak bisa diperbaiki tanpa memperhatikan yang lain. Intergenerasional artinya memastikan bahwa kebutuhan generasi saat ini terpenuhi tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang. Sementara Adaftif bermakna membangun system yang fleksibel dan mampu berafatasi dengan perubahan global, seperti perubahan iklim atau krisis ekonomi.


Paradigma Baru

Merubah mindset masyarakat memang tak semudah membalik telur dadar, kalau pun salah membaliknya tetap enak dimakan. Merubah minset atau cara berpikir perlu revolusi cara berpikir. Disinilah Pendidikan dan budaya memegang peranan penting. Masyarakat perlu diajak mengubah cara berpikirnya dari konsumsi menuju koeksistensi. Dari eksploitasi menuju harmoni. Jadi, Kemakmuran berkelanjutan bukan hanya soal kebijakan, tapi revolusi cara berpikir.

Kalau Selandia Baru telah memprioritaskan kesejahteraan dalam anggaran nasionalnya. Dan Bhutan memiliki  "Gross National Happiness" menempatkan kebahagiaan rakyat di atas pertumbuhan ekonominya.  

Kalau untuk Indonesia, mungkin "Indeks Kesejahteraan Nusantara" (IKN) bisa menjadi Indikator baru yang menggantikan ketergantungan pada GDP sebagai tolak ukur keberhasilan. Focusnya pada Kesejahteraan Sosial, yang diukur dari akses masyarakat terhadap Pendidikan,Kesehatan, dan peluang ekonomi. Lalu Keseimbangan Ekologis, menilai perlindungan terhadap hutan, laut, dan keanekaragaman hayati, sekaligus mengurangi jejak karbon. Kebahagiaan Kolektif, yang memadukan tradisi gotong royong sebagai dasar nilai sosial. Dan Budaya Lokal, yang menghitunh kontribusi budaya, adat, dan bahasa daerah dalam memperkuat identitas nasional.

Sebuah Visi Untuk Masa Depan

Pelajaran tentang waktu terkadang banyak orang yang tak mengerti. Detik, menit,..hari dan bulan berlalu tanpa disadari. Tanpa perubahan berarti. Padahal sejatinya waktu adalah kemewahan yang tidak lagi kita miliki. Dia pasti pergi dan tak kembali lagi.

Sama halnya dengan Kemakmuran Berkelanjutan tidak akan datang dari satu kebijakan besar atau satu inovasi teknologi. Ia lahir dari Revolusi Cara Berpikir. Lahir dari tindakan kolektif dimana pergeseran budaya, keberanian politik, dan rasa tanggung jawab global yang mendalam terjadi.

"Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita; kita meminjamnya dari anak cucu kita." Sebuah mantra warisan bumi yang harus dihayati makna dalam realita sesungguhnya. Bumi tak seperti bait lagu kasih sayang seorang ibu. "...hanya memberi tak harap kembali...". Bumi setelah memberi berharap kembali, dengan menjaganya, merawatnya, dan melestarikannya.

Tantangannya sekarang adalah bagaimana kita membayarnya kembali, tanpa melampaui batas ekologis yang sudah genting. Jawabannya mungkin tidak sederhana, tetapi satu hal pasti: masa depan kita bergantung pada bagaimana kita mendefinisikan ulang kemakmuran hari ini.

Jkt/16012025/Ksw/114

#Kompasioner adalah Mahasiswa Pascasarjana Perbanas Insitute

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun