Ketika layar notebook menayangkan nilai kurs dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah hari ini sebesar Rp16.274,97 per satu dolar AS, Di dalam gedung, di balik layar monitor dan meja rapat para pemangku kebijakan, ada kegelisahan yang tak tampak, namun kecemasan terasa begitu nyata. Melemahnya rupiah bukan sekadar angka di layar, tetapi sebuah cerita yang dihadapi bangsa Indonesia yang terangkum dalam tantangan ekonomi domestik dan dinamika di tengah arus global.
Dari Jakarta hingga Wallstreet
Nilai rupiah terus melemah bahkan telah melebihi jauh dari angka psikologis sebesar Rp 15.500 per dolar AS. Ditengarai Federal Reserve di Amerika Serikat menjadi salah satu penyebabnya.
The Fed, tahun ini kembali menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi yang membara di Amerika Serikat. Semoga kobarannya tidak seganas kebakaran di Los Angeles sana. Gelombang resonansinya, bergema hampir ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Para investor menangkap dengan naluri bisnisnya sebagai sinyal agar segera menurunkan tekanan gas ekspansi bisnisnya. Menurunkan pedal kopling di gigi terendah, mencari perlindungan di aset dolar yang dianggap paling aman dengan menarik dana penanaman modalnya di negara-negara berkembang.
Pertumbuhan ekonomi Paman Sam yang semakin menguat, membuat dolar semakin perkasa terhadap mata uang negara lain, termasuk Indonesia.
Di sisi lain ketidakpastian global, dengan gejolak politik dan ekonomi global, seperti perang dagang, krisis energi, atau konflik geopolitik, membuat investor mencari aset yang paling aman, seperti dolar, emas atau obligasi negara maju.
Cerita Dunia Bisnis
Namun, cerita tidak hanya berhenti disana. Ada narasi tentang ketergantungan Indonesia pada komoditas ekspor seperti minyak, Batu bara, CPO (minyak kelapa sawit) dibalik pelemahan rupiah.
Kala harga-harga komoditas tersebut turun akibat perlambatan ekonomi global, maka neraca perdagangan mulai tertekan. Bila tekanannya semakin besar, surplus yang sebelumnya menjadi penyangga rupiah kini semakin menyusut dan melemah.
Lembaran ceritanya terus berlanjut, terjadi defisit transaksi berjalan (Current Account deficit) kala nilai semua impor barang dan jasa melebihi nilai ekspor. Defisit menekan ketersediaan devisa yang secara pasti mempengaruhi stabilitas rupiah.