Mohon tunggu...
Kusworo
Kusworo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penjelajah Bumi Allah Azza wa Jalla Yang Maha Luas Dan Indah

Pecinta Dan Penikmat Perjalanan Sambil Mentadaburi Alam Ciptaan Allah Swt

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pesona Jalur Kapal Pesiar Sungai Nil dari Aswan ke Luxor (Bagian Pertama)

5 September 2021   06:00 Diperbarui: 5 September 2021   21:51 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mausoleum Aga Khan III - Sultan Muhammad Shah (Dokumen Pribadi)

Siang itu matahari sedikit menyengat.    

Menyengat hangat bumi Aswan, Mesir,  dekat dermaga Kapal Pesiar Sungai Nil.   Tinggal tiga buah kapal yang masih terparkir. menanti penumpangnya hadir.   

Satu diantaranya “milik” group kami.  Kapal pesiar paling mewah diantara yang pernah hadir. 

Wajah lelah setelah dari pagi pelesir ke Abu Simbel segera kembali ke kabin masing-masing.  Berjanji  berkumpul kembali di deck 3 untuk makan siang pada pukul 13.30 waktu setempat.    

Makan siang yang sedikit telat.  Tapi kami yakin mereka akan merasa puas, karena banyak makanan nikmat dan lezat.

Hadir lebih awal di restaurant deck 3 membuat kami bisa mengatur group di posisi yang tepat.  Dekat  jendela kaca yang cukup lebar, sehingga pemandangan indah bisa mudah terlihat.  Tak lama restaurant pun penuh dengan peserta, mengambil posisi duduk dan siap dilayani.  Makan siang kali ini kami hanya duduk manis mengelilingi meja, siap dilayani apa yang kami suka.

Sebagian besar peserta memesan “Nasi Mandhi”  Masakan khas masakan Timur Tengah yang terbuat dari brasmati yang diolah dengan rempah-rempah khusus dicampur kismis, bawang bombai, potongan tomat, cabai hijau besar yang dibakar, timun dan kambing bakar.  Mereka yang tak suka kambing bisa memilih ayam atau ikan sebagai teman makan.  Disajikan dengan 2 jenis foul kacang dan  minyak zaitun segar.  Wow…nikmat bukan kepalang!

Ada juga Hummus, yaitu kacang dan wijen yang digiling halus berbentuk bubur yang di atasnya dituangkan minyak zaitun; Maotabel, yaitu makanan berbahan dasar terong yang digiling ditambah aneka rempah-rempah dengan cita rasa sedikit pedas; serta Tabouleh, sayuran yang dicincang halus ditambah tomat, bulgur dan daun mint kemudian ditambah minyak zaitun.   Dengan cita rasa sedikit asam.   Ini salad khas Timur Tengah.

Dengan makanan pembuka sup kacang merah yang berbentuk cream atau Sup Harira yang terbuat dari campuran kentang, wortel, kacang dan rempah-rempah kental berisi potongan daging sapi.

Disajikan juga lumpia khas Timur Tengah yang disebut Sambosa;  Kafta, daging domba yang digiling dengan campuran bumbu bawang yang dibentuk seperti bola lalu di goreng atau di oven dan disajikan dengan saus pedas.

Untuk yang suka manis, mereka menyajikan Baklava, hidangan khas Turkey berupa kue yang terbuat dari lapisan phyllo pastry berisi kacang cincang yang diberi madu. Juga ada Basbousa, kue bertekstur lebut dan empuk dengan taburan kacang diatasnya. Makanan tradisional yang terkenal di Turkey.  Biasanya makanan ini menjadi dessert yang sangat digemari peserta.

Rasanya makan siang ini begitu nikmat.  Terlihat dari semua peserta tour yang menghabiskan semua makanan yang dipesan. Beberapa penikmat makanan lezat bahkan minta tambah “Nasi Mandhi” yang nikmat.  Termasuk pemimpin rombongan group ini. Maklum Bro!  Lapar berat!

Makan Penuh Selera Dengan Hidangan Khas Timur Tengah (Dokumen Pribadi)
Makan Penuh Selera Dengan Hidangan Khas Timur Tengah (Dokumen Pribadi)

Saat menikmati makan siang, kapal pesiarpun mulai berjalan.  Memulai sebuah rute perjalananan panjang dari Aswan hingga Luxor. Untuk menikmati indahnya pemandangan alam dan mengunjungi Situs-situs Peradaban Mesir Kuno di sepanjang rute perjalanan.

Kami mengajak peserta untuk naik ke deck teratas kapal pesiar untuk menikmati udara segar.   Menikmati pesona alam di sepanjang jalur sungai Nil.   Udara panas di luar seakan memudar dihembus angin segar sungai Nil.   Tak lama terlihat di sisi kanan sebuah pulau. “Pulau Philae” yang dikenal dengan julukan “Pearl of Agypt”

Pulau yang dulu lebih dikenal dengan tempat pemakaman “Osiris” salah satu dewa bangsa mesir kuno.  Dewa kesuburan, pertanian, akhirat, kebangkitan, kehidupan dan tumbuh-tumbuhan.   Pulau yang dikeramatkan, yang seakan menurut kepercayaan mereka, burung pun tak akan bisa terbang di atasnya dan ikan tak akan bisa berenang  mendekatinya.   Di atasnya di bangun sebuah kuil pemujaan.

“Pulau Philae” dan kuil di dalamnya yang sekarang adalah bukan pulau yang aslinya.   Awalnya Pulau Philae terletak di daerah rendah yang akan tenggelam oleh peluapan air danau Nasser dalam awal proyek pembangunan Dam Aswan bawah-rendah pada 1902, yang dilanjutkan dengan pembangunan Dam Aswan Atas-Tinggi, pada 9 Januari 1960  dan selesai pada 21 Juli 1970.

Nasibnya sama dengan Abu Simbel dan beberapa situs peradaban Mesir kuno lainnya. Nyaris tenggelam akibat proyek bendungan Aswan.  Akhirnya Pemerintah Mesir dan UNESCO melakukan pemindahan Bangunan dan Kuil-kuil dipulau Philae ke pulau Agilkia.  Hingga sekarang pulau tersebut tetap dikenal sebagai  “Pulau Philae”

Dalam perkembangannya Pulau Philae tidak melulu dikenal sebagai pulau yang bernilai sakral atau keramat.   Letaknya yang cukup strategis menjadinya sebagai pulau transit perdagangan di jalur sungai Nil ke penduduk Nubia, kelompok etnik yang sekarang lebih dikenal dengan Sudan Utara.  

Termasuk di dalamnya penduduk etnik di Mesir Selatan. Mereka dikenal sebagai etnik yang memiliki ketrampilan tinggi memanah dan melempar lembing atau tombak.

Pulau Philae - The Pearlof Agypt (Dokumen Pribadi)
Pulau Philae - The Pearlof Agypt (Dokumen Pribadi)

Kapal Pesiar Sungai Nil terus bergerak, meninggalkan Pulau Philae, dengan agenda docking, merapat di suatu tempat yang disebut mereka sebagai dermaga.  

Udara segar  senyapu lembut wajah-wajah penikmat perjalanan.  Beberapa duduk di kursi dambil berdiskusi ringan.  Beberapa orang sibuk berselfie. Mengabadikan perjalanan yang penuh pesona ini.

Dibagian tengah deck teratas, di bawah sebuah canopy besar, beberapa staff kapal pesiar sibuk melayani permintaan segelas kopi atau teh yang disuguhkan bersama camilan ringan.  

Teman yang pas menikmati indahnya perjalanan. Sambil duduk bersandar kursi panjang. Menyerut kopi hangat yang nikmat.  Oooh… rasanya bak ”Juragan Minyak”  yang sedang bermalas-malasan sambil liburan. Dan bumi ini pun laksana milik tuan.

 

Duduk Santai Sambil Minum Kopi Atau Teh Plus Camilan Laksana Juragan Yang Lagi Liburan (Dokumen Pribadi)
Duduk Santai Sambil Minum Kopi Atau Teh Plus Camilan Laksana Juragan Yang Lagi Liburan (Dokumen Pribadi)

Tak lama berselang, sebuah pengeras menggema di ruangan.  Ternyata seorang staff meminta perhatian akan sebuah Situs Makam Tua di sebelah kiri kapal. Mausoleum Aga Khan III.  Makam Sultan Muhammad Shah dari Dinasti Kesultanan Fatimiyah –Ismailliyah yang menguasai Mesir (Juga Syam) dari 5 Januari 910 hingga 1171.

Meninggal pada 1957 dan dimakamkan di atas sebuah bukit dekat villa yang dirancang  arsitek Mesir, Hassan Fathy di jalur sungai Nil Aswan, Mesir.  Sang Istri, Begun Om Habibeh Aga Khan memerintahkan membangun Mausoleum untuk suaminya di dekat Villa Musim Dingin tersebut.  Pembangunannya dimulai 1957 dan selesai 1960.

Memiliki tembok dinding pembatas “crenellated”, dengan kubah besar di tengah yang memiliki jendela berdekorasi di sepanjang drum.  Ada empat buah kubah kecil di setiap dinding luar. Dan sebuah Mihrab untuk sholat.

Mausoleum nya sendiri dibangun dari batu kapur merah muda. Di dinding luar berjajar tembok pembatas dan sebuah pintu masuk satu-satunya berbentuk melengkung menjadi akses masuk ke ruang interior mausoleum.

Sebuah prasasti Al-Quran terbuat dari marmer carrara menghiasi bagian dalam makam. Makam menghadap mihrab, yang terletak di bawah kubah tengah di dinding timur makam.

Aga Khan sebenarnya meninggal dan dikuburkan di Swiss.  Namun dua tahun setelah pemakamannya jasadnya di pindahkan di Mausoleum ini pada  20 Februari 1957.  Pemakaman ulangnya di hadiri oleh Aga Khan IV, Istrinya, Begun Om Habibeh Aga Khan dan 2.000 tamu lainnya.  Sang Istri meninggal pada tahun 2000

Semula Mausoleum ini dibuka untuk kunjungan turis, namun sejak tahun 1997 dinyatakan tertutup untuk umum.

Mausoleum Aga Khan III - Sultan Muhammad Shah (Dokumen Pribadi)
Mausoleum Aga Khan III - Sultan Muhammad Shah (Dokumen Pribadi)

Kapal Pesiar Sungai Nil yang kami naiki terus melaju.   Menyusuri  aliran sungai Nil yang pada akhirnya akan bermuara ke Laut Mediterania, di wilayah Alexandria dan sekitarnya.   Tempat yang juga sangat banyak menyimpan sejarah.  (Yang kisah perjalanan kami ke sana akan ditulis terpisah, In syaa Allah)

 Sebagai pemimpin rombongan yang sering melakukan perjalanan, saya memprediksi akan tiba di "Kichener Island" saat pukul 17.00. Masih tersisa waktu dua jam kurang.   

Waktu yang tepat untuk dimanfaatkan untuk istirahat sambil “leyeh-leyeh” santai di kabin masing-masing.   Memulihkan stamina agar kuat melangkah.   Semua setuju. Tak ada yang menolak.   Karena inilah saat yang ditunggu-tunggu.

Kabin bersih cukup besar dan nyaman telah menunggu.  Sebuah kasur king size standard menanti. Diselimuti seprei putih bersih dengan dua bantal besar.  

Sebuah hiasan lucu terlihat persis di atas kasur.   Terbuat dari handuk putih dan ornament perlengkapan kamar mandi lainnya.    membentuk sebuah boneka lucu.  Satu berbentuk angsa.   Satu nya berbentuk buaya.   Membuat tersenyum melihatnya.    Wah…staff room servicenya, creatife luar biasa.

Sebuah meja kecil panjang dengan TV berukuran sedang menjadi pelengkap kamar.  Di sudut jendela kabin ada dua kursi mengapit meja kaca kecil dengan pas bunga cantik di atasnya, tempat yang pas memandang dunia, diluar sana.   Memandang pesona perjalanan jalur sungai Nil.   Cantik! 

Di sisi kanan dekat pintu masuk.   Sebuah kamar mandi minimalis tersaji.   Siap menanti tuan untuk mandi atau berbersih diri.  Sebuah shower bercaver fiber, washtafel dan semua perlengkapan mandi ada di sana.  Minimalis namun berkelas. 

Tak terasa jarum bergerak lebih cepat karena digunakan untuk beristirahat.  Saat melirik ke sisi jendela, ternyata kapal mulai merapat di dermaga.  Cepat bergerak keluar kamar langsung menuju lobby.  

Di sana Local Guide dan beberapa peserta sudah lebih awal menunggu.  Tak lama semua peserta telah berkumpul.   Mereka selalu tepat waktu.   Untuk hal yang satu ini, kita kasih komentar… ”Cakeeeep”

Kali ini kapal pesiar kami dock di dermaga dalam urutan satu, masih ada 4 kapal pesiar lain yang parkir berjajar rapi jadi satu.  Staff kapal memberi kartu tanda penumpang kapal pada setiap peserta yang akan menjadi tanda “Pass Masuk” saat kembali nanti.

Seperti dermaga lainnya di jalur sungai Nil.  Semua penumpang akan naik tangga ke atas yang sedikit membuat mereka yang berusia senja sedikit lebih banyak menghela nafas.  Tak apa…  ini Exercise!  Agar terus menjaga stamina sehat dan kuat.

Sebuah bus local membawa group menuju dermaga lain.  Dermaga khusus kapal-kapal kecil yang akan membawa kami menuju “Kichener Island”.  Tak lama, hanya berjarak sepuluh menit bus pun tiba.   Local Guide langsung mengajak kami ke dermaga, membagikan tiket masuk dan naik kapal serta membagi group menjadi 3 bagian.  Maklum group besar.

Tiga kapal berkapasitas 10 hingga 15 orang menanti group kami.   Terlihat tiga orang penduduk asli membantu setiap orang naik kedalam kapal.   Tiga orang “kapten kapal kecil” ini mencoba bersikap manis.   Membagi senyumnya yang datar agar terlihat ramah. Tak butuh waktu panjang, kapalpun bergerak, nyaris serentak menuju Pulau Kichener.

Tak butuh waktu lama kapal boat pun tiba.   Kehadiran kami seakan disambut penduduk pulau.  Mereka berkulit hitam, sebagian besar berambut keriting dengan tinggi relatif sedang.  

Mereka adalah para pedagang yang kebanyakan dari etnik Nubian yang menawarkan kerajinan batu, berupa cincin, gelang, giwang, kalung dan sebagainya.   Ada juga yang menawarkan kerajinan kulit dan tas kain.

Setelah menaiki anak tangga, kita akan bertemu jalan semen berukuran lebar kurang lebih 5 meter  yang menuju ke beberapa arah.  Jalan tersebut akan bertemu pada titik perempatan atau pertigaan.  Pada setiap arah jalan disediakan kursi-kursi kayu panjang dan dibeberap tempat di buat canopy kayu untuk rambatan pohon berbunga lebat seperti bagenfil dan sejenisnya.

Pulau Kichener adalah Kebun Raya Kota Aswan.  Pulau berbentuk oval dengan panjang 720 meter dan lebar kurang dari 500 meter mengkoleksi seratusan lebih jenis pohon dari berbagai belahan dunia.  Karenanya pulau ini juga disebut El Nabatat; Pulau Tumbuhan atau Pulau Botani.

Pulau ini dinamakan Pulau Kichener sesuai dengan nama pemiliknya, Lord Kichner yang dianugerahi pulau ini saat menjabat sebagai Konsul Jendral di Mesir dari 29 September 1911 sampai Juni 1914.

Kecintaannya pada tanaman membuatnya mengimport berbagai tumbuhan tropis dan subtropis yang langka keberadaanya di Mesir. Dibantu kemudahan dari kementrian imigrasi setempat Kichener mampu dengan cepat merubah pulau sepanjang 720 meter itu menjadi kebun raya yang cantik di Aswan.

Koleksi Pohonnya meliputi berbagai jenis palm seperti palm raja, palm merah, palm sabal, Palem ekor tupai dll, berbagai aneka jenis pohon berbunga, seperti bogenfil, Mawar, pohon Kamboja, serta banyak jenis pohon berbatang besar lainnya.  

Tak perlu membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengeklorasi pulau Kichener.   Kamipun menikmati sejuknya suasana di pulau ini, sambil sekali-kali berdecak kagum atas usaha yang telah dilakukan Lord Kichener membuat  “Aswan Botanical Garden” ini.  Tak hanya turis mancanegara, banyak tulis local Aswan yang menjadikan Pulau Kichener sebagai tempat tamasya keluarga.

Senja mulai merona saat kami meninggalkan pulau Kichener.  Beberapa burung bangau dan burung-burung lain terlihat terbang menuju pulau, mempersiapkan peraduan malamnya yang sebentar lagi tiba di rimbunan pohon besar di Pulau Kichener.

Air sungai tampak jernih biru kemerahan diterpa sinar matahari senja yang panasnya sudah tak terasa.  Segerombolan ikan kecil menyingkir, saat kapal boat kami melaju cepat.  

Membuat mereka kocar-kacir.  Semua peserta tersenyum melihatnya.  Meskipun lelah, rasanya semua tak tampak di wajah.   Itulah senangnya pergi tur bersama mereka.

Wajah yang selalu cerah tak kenal rasa Lelah (Dokumen Pribadi)
Wajah yang selalu cerah tak kenal rasa Lelah (Dokumen Pribadi)

Senja semakin tenggelam saat kami masuk kembali ke kapal pesiar.   Program hari ini tinggal makan malam.   Selanjutnya semua peserta akan melepas lelah di dalam kabin nya yang nyaman.   

Melihat foto-foto indah di Camera atau HP dan terlelap dalam mimpi indah.   Di ayun lembut gelombang sungai Nil,  sambil terus terbayang perjalanan indah yang telah dilalui.  Dan menanti hadirnya esok hari, untuk memulai eksplorasi kembali, di peradaban Kuno Mesir yang sudah menanti. 

(Berlanjut ke bagian kedua : Mengeksplorasi Kuil Buaya di Kom Ombo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun