Komando terus diberikan. “Jangan terlalu cepat berjalan, kasihan yang ketinggalan”. Dalam tiga perempat perjalanan mereka patuh. Berhenti. Istirahat dan saling menunggu. Namun jalan menurun dengan kecepatan lambat, pasti berat dan jenuh. Apalagi bagi mereka yang sedikit merasa kuat. Gerak lambat juga membuat otot cepat lelah karena tekanan tubuh ke bagian lutut meningkat. Kondisi ini sangat dipahami pemimpin rombongan. Dan akhirnya…istruksi berubah. “Jalanlah secepat Anda bisa. Hati-hati dan tetap waspada pada jurang yang menganga. Tunggu kami di basecamp sana”
Bagaikan kilat merekapun berlomba turun dengan penuh semangat, walau kehati-hatian tetap melekat. Tinggal kami berempat yang harus jalan sedikit tersendat. Seorang ibu yang memohon izinnya ikut pendakian 3 kali dari suami tercinta ditemani satu-satunya anak muda yang baik budi dan Pemimpin rombongan dengan seorang ibu yang kehilangan pendamping.
Lambat bergerak namun pasti. Tangga batu besar, kecil, tajam kadang kami lalui. Setapak demi setapak jalan kami tempuh. Istirahat lagi terus berganti-ganti. Kami dua laki-laki sejati ini dengan tulus tersenyum dikulum. Memastikan bahwa Beliau berdua tenang walau sudah tak nampak teman-teman seperjuangan. Terlihat kecil di bawah sana. Nyaris hilang dari pandangan.
“Tenang saja, kita pasti sampai di bawah sana” itu yang selalu disampaikan pemimpin rombongan pada mereka berdua. Estimasinya, kami dan mereka yang telah turun akan berselisih satu jam tiba di Basecamp atau 84 kali putaran lap motor GP Valentino Rossi atau Marc Marquez di Catalunya.
Sudah begitu banyak rombongan yang menyelisihkan kami. Kalau ini perlombaan F1 atau GP, pasti team di Pitstop sudah pada angkat kaki. Tapi kami tetap gigih dan tak peduli. Setapak-demi setapak terus dilalui sampai akhirnya penderitaan itu pun berlalu. Bayangan garis finis mulai terlihat. Semakin lama semakin jelas. Kami mulai tancap gas. Bagaikan Marc Marquez yang menyalip Valentino Rossy di lap terakhir menuju garis finis.
Tepuk sorak bahagia teman sependakian pun bergema saat kami tiba selamat di tenda. Rasa letih luar biasa mulai terasa. Terutama ditangan kanan ini, dimana beban 70 Kg itu seakan masih menempel terus mulai dari saat turun pendakian tadi. Alhamdulillah semua terbayar dengan keselamatan sempurna bagi semua peserta. Luarbiasa!
“Beri kami waktu sepuluh menit dan kita akan beriringan turun naik onta” itu kata pemimpin rombongan saat tiba. Ia sadar sepenuhnya, programnya sudah jauh dari jadual sebenarnya. Dan yang lebih mengkhawatirkannya adalah “kekhawatiran mereka yang menunggu di bawah sana” Ini hal yang sangat tidak biasa. Takut ada masalah yang serius pada istri, suami atau teman seperjalanannya. Komunikasi HP disini tak berarti. Tak ada sinyal yang menjangkau. Blank.. blass…. tak sedikitpun ada sinyal. Mati Total!
Namun Pemimpin Rombongan memenangkan diri. Ini semua masih dalam kendali. Karena ia tahu pasti team support di bawah sana mengetahui kondisi peziarah yang berusia senja. Pasti ada perlakuan beda dengan rombongan-rombongan sebelumnya.
Kini Badui pemilik onta pun mengatur. Satu-persatu peziarah naik kepunduk Ontanya. Sudah terbayang lagi rasa nyeri dan ngilu saat berada di atas Onta sana. Bak rombongan kafillah dengan Ontanya, kami pun jalan beriring. Perlahan turun. Menuruni Gunung Tursina. Kini mereka yang di atas ontapun terperangah. Jalan yang dilalui tadi malam bersama onta ternyata curam berliku penuh jurang di kiri kanan.
Jalan yang seharusnya panjang terasa dekat, karena senang. Panas terik yang menyengat dibiarkan saja menjilat tubuh mereka. Sebagian besar bahkan sudah melepaskan “perangkat perangnya” yang melekat. Seperti; Sal, Sarung tangan, Jaket atau Topi Hangat. Dan…akhirnya tibalah mereka ditujuan. “Basecamp Camel Station”