“Menaklukkan” Gunung Tursina-Mount Sinai di Usia Senja
(Bagian Ketiga-Selesai)
Angin dingin Pegunungan Tursina masih membelai sejuk. Mentari pagi masih tampak malu-malu menampakkan wajahnya. Mungkin sungkan pada mereka yang berusia senja yang berada disana. Apakah dengan senyum sumringahnya atau dengan canda ceria bahagia mereka. Entahlah!
Pemimpin rombongan membiarkan mereka larut dalam “Euforia” kemenangan. Mereka tersenyum selepasnya. Tanda bahagia tak terkira. Tak menyangka diusianya, bisa berada 2.285 M Dpl jauh di atas puncak sana. Tak bisa dibayangkan apa kata anak dan cucu-cucu mereka. “Eyang atau Oma ku memang luar biasa”
Kecerian mereka terus berjalan seiring waktu. Hari mulai menghangat. Sudah sepatutnya karena sekarang sudah pukul 07.44. Pemimpin rombongan yang bijak itu menambah waktu 10 menit lagi agar keceriaan itu tak cepat berlalu. Walau hatinya risau tak menentu, karena ia tahu pasti bahwa mereka yang jauh di bawah sana, sudah gelisah nenunggu.
Biasanya beberapa rombongan yang dipimpinnya akan tiba di atas puncak Gunung Tursina pada pukul 05.10. Paling lambat 05.30, ini yang selambat-lambatnya. Dan sudah akan berada di bawah kembali pada pukul 08.30. Untuk Kali ini? Pengecualian luar biasa. Semua jauh dari estimasi waktu.
Sepuluh menit berlalu dan rombongan siap untuk mengakhiri misi. Beberapa diantara mereka masih enggan melangkah bahkah ada yang masih sibuk memilih, batu cendramata khas Gunung Tursina. Ya…namanya wanita. Itu sudah menjadi bagian kodratnya.
Perjalanan turun bukanlah hal yang mudah. Bahkan dibilang jauh lebih berat dari naiknya. Beban tubuh menjadi tertumpu pada lutut mereka yang sudah berusia senja. Dimana elastisitas dan kekuatannya sangat lemah dan berisiko luar biasa bila salah melangkah.
Memastikan mereka bergerak bersama adalah tujuan yang direncanakan pemimpin rombongan. Dipesan pada setiap peserta agar memegang erat tangan pendampingnya. Ini akan memberi energy ganda agar jalan turun terasa rata. Artinya, “dengkul tua” itu tidak terforsir karena beban berat yang diterimanya. Yang tidak memiliki pendamping Badui atau anggota group lainnya, disarankan memanfaatkan tongkat sebagai pijakan tambahan agar mengurangi berat tubuhnya.
Jam ditangan pemimpim rombongan sudah menunjuk angka 08.10. Ada kurang lebih 20 menit berlalu hanya untuk menunggu para Ibu yang masih asyik memilih sesuatu yang unik. Aneka Batu Gunung Tursina. Biarlah! Toh… mereka tak akan pernah lagi singgah disana. Itu namanya Bijak walau tidak enak. Mana ada yang enak, yang namanya menunggu!
Kecuali menunggu kekasih untuk janji di malam minggu. Kalau ini sih…tak peduli berapa lama waktu berlalu. Waktu sewindu hanya rasa seminggu. Jatuh cinta memang berjuta rasanya. Woy….sudah!!! Jangan lari terlalu jauh kesana. (Sorry ya…ingat masa muda, walau sekarang juga belum tua). Ok…sampai dimana tadi ya ???
Idealnya rombongan peziarah harus sudah mulai turun pukul 06.30. Selambat-lambatnya pukul 06.45. Setelah usai menunaikan “Kebutuhan” Sholat Subuh dan melepaskan Euforia penaklukkan. Semua orchestra keindahan alam Sang Kuasa mulai ditampilkan. Bak seorang Dirigent Orchestra memperkenalkan para musisi pendukung dengan alat musik ditangannya. Satu demi satu keindahan alam itu bermunculan. Nyaris di sekeliling puncak gunung Tursina
Setiap detik berlalu, maka keindahan baru itu muncul di atas pucak Gunung Tursina. Seolah seorang Qori bersuara indah membaca ayat-ayat suci Al Quran dari mushola kecil di sebelah kanannya dan bagaikan menyanyikan Kidung indah penyanyi Gereja dari Kapel sebelah kiri sana. Syahdu. Semua hanya bisa terekam dalam kalbu.
Alam di sana menampakan keindahan sesungguhnya. Setiap detik. Setiap waktu. Ini hanya satu titik debu keindahan Ciptaan Allah Azza wa Jalla di dunia fana. Tak kan pernah terbayangkan betapa luar biasa dahsyatnya keindahan surga yang di janjikan Nya bagi mereka yang meyakini Nya. In syaa Allah, kita semua masuk di antara mereka, Allahuma aamiin, Ya Mujibassailin.
Sejatinya semua keindahan itu bermakna general. Berlaku sama untuk semua yang hadir di atas puncak sana. Tapi tidak bagi mereka yang hadir disana dengan Iman. Dengan ketulusan dan keikhlasan. Semua keindahan itu menjadi begitu dahsyat menggelora dalam dada. Laksana para malaikat melukis satu demi satu setiap titik keindahannya. Detil tanpa cela. Laksana titik dalam sebuah gambar. Makin sedikit makin samar. Makin padat makin nyata. Itulah gambaran sesungguhnya. Susah dicerna buat mereka yang tak terbiasa namun mudah dipahami buat mereka yang selalu dekat dengan Nya.
Langkah turun perlahan peziarah itu dimulai. Satu dua langkah lancer. Yang kesekiannya pasti agak banyak tertahan. Karena yang di depan rombongan berjalan sangat perlahan. Kecepatan kami bagaikan mereka yang baru berlatih kendaraan di presneling 1 dengan tekanan gas yang sangat perlahan.
Lima belas menit berlalu, hanya selemparan batu yang baru kami tempuh. Kapan sampainya nih!!! Karenanya, pemimpin rombongan merubah strategi. Mereka yang masih ”sedikit muda” ditempatkan dibagian depan dan yang sangat lamban berjalan ditempatkan di belakang. Upayanya berhasil. Laju kecepatan naik di presneling 2. Lumayan!
Banyak tanjakan terjal 45 derajat bahkan lebih yang tadi malam harus di daki kini harus dituruni. Berat rasa hati ini. Ngeri! Kalau naik tadi hanya tenaga dan semangat ekstra. Turunnya harus ditambah sabar dan doa. Sementara dengkul tua ini semakin payah memikul derita. Untungnya mereka semua tak pernah mengeluh. Luar biasa.
Dalam jalur penurunan Gunung Tursina, Pemimpin rombongan mendapat “Bonus” Seorang ibu dengan berat 70 Kg terlepas dari pendamping naiknya. Rupanya sang pendamping; yang juga peserta, ingin sedikit bebas merdeka. Toh misi telah terselesaikan. Ini hanya bagian penutupan pendakian. Laksana makan malam dia bebas memilih menu penutup yang idamankan. Semua berjalan normal tanpa ikatan, tanpa beban.
Namun naluri kepemimpinan pimpinan rombongan melihat bahwa wanita ini akan ada banyak hambatan diperjalanan bila dilepas berjalan sendirian. Dan tanggung jawab itu pun diambilnya. Dijadikan dirinya sebagai pendamping jalan. Memastikan bahwa tidak akan ada persoalan yang akan datang kemudian, untuk semua yang beranjak pulang.
Komando terus diberikan. “Jangan terlalu cepat berjalan, kasihan yang ketinggalan”. Dalam tiga perempat perjalanan mereka patuh. Berhenti. Istirahat dan saling menunggu. Namun jalan menurun dengan kecepatan lambat, pasti berat dan jenuh. Apalagi bagi mereka yang sedikit merasa kuat. Gerak lambat juga membuat otot cepat lelah karena tekanan tubuh ke bagian lutut meningkat. Kondisi ini sangat dipahami pemimpin rombongan. Dan akhirnya…istruksi berubah. “Jalanlah secepat Anda bisa. Hati-hati dan tetap waspada pada jurang yang menganga. Tunggu kami di basecamp sana”
Bagaikan kilat merekapun berlomba turun dengan penuh semangat, walau kehati-hatian tetap melekat. Tinggal kami berempat yang harus jalan sedikit tersendat. Seorang ibu yang memohon izinnya ikut pendakian 3 kali dari suami tercinta ditemani satu-satunya anak muda yang baik budi dan Pemimpin rombongan dengan seorang ibu yang kehilangan pendamping.
Lambat bergerak namun pasti. Tangga batu besar, kecil, tajam kadang kami lalui. Setapak demi setapak jalan kami tempuh. Istirahat lagi terus berganti-ganti. Kami dua laki-laki sejati ini dengan tulus tersenyum dikulum. Memastikan bahwa Beliau berdua tenang walau sudah tak nampak teman-teman seperjuangan. Terlihat kecil di bawah sana. Nyaris hilang dari pandangan.
“Tenang saja, kita pasti sampai di bawah sana” itu yang selalu disampaikan pemimpin rombongan pada mereka berdua. Estimasinya, kami dan mereka yang telah turun akan berselisih satu jam tiba di Basecamp atau 84 kali putaran lap motor GP Valentino Rossi atau Marc Marquez di Catalunya.
Sudah begitu banyak rombongan yang menyelisihkan kami. Kalau ini perlombaan F1 atau GP, pasti team di Pitstop sudah pada angkat kaki. Tapi kami tetap gigih dan tak peduli. Setapak-demi setapak terus dilalui sampai akhirnya penderitaan itu pun berlalu. Bayangan garis finis mulai terlihat. Semakin lama semakin jelas. Kami mulai tancap gas. Bagaikan Marc Marquez yang menyalip Valentino Rossy di lap terakhir menuju garis finis.
Tepuk sorak bahagia teman sependakian pun bergema saat kami tiba selamat di tenda. Rasa letih luar biasa mulai terasa. Terutama ditangan kanan ini, dimana beban 70 Kg itu seakan masih menempel terus mulai dari saat turun pendakian tadi. Alhamdulillah semua terbayar dengan keselamatan sempurna bagi semua peserta. Luarbiasa!
“Beri kami waktu sepuluh menit dan kita akan beriringan turun naik onta” itu kata pemimpin rombongan saat tiba. Ia sadar sepenuhnya, programnya sudah jauh dari jadual sebenarnya. Dan yang lebih mengkhawatirkannya adalah “kekhawatiran mereka yang menunggu di bawah sana” Ini hal yang sangat tidak biasa. Takut ada masalah yang serius pada istri, suami atau teman seperjalanannya. Komunikasi HP disini tak berarti. Tak ada sinyal yang menjangkau. Blank.. blass…. tak sedikitpun ada sinyal. Mati Total!
Namun Pemimpin Rombongan memenangkan diri. Ini semua masih dalam kendali. Karena ia tahu pasti team support di bawah sana mengetahui kondisi peziarah yang berusia senja. Pasti ada perlakuan beda dengan rombongan-rombongan sebelumnya.
Kini Badui pemilik onta pun mengatur. Satu-persatu peziarah naik kepunduk Ontanya. Sudah terbayang lagi rasa nyeri dan ngilu saat berada di atas Onta sana. Bak rombongan kafillah dengan Ontanya, kami pun jalan beriring. Perlahan turun. Menuruni Gunung Tursina. Kini mereka yang di atas ontapun terperangah. Jalan yang dilalui tadi malam bersama onta ternyata curam berliku penuh jurang di kiri kanan.
Jalan yang seharusnya panjang terasa dekat, karena senang. Panas terik yang menyengat dibiarkan saja menjilat tubuh mereka. Sebagian besar bahkan sudah melepaskan “perangkat perangnya” yang melekat. Seperti; Sal, Sarung tangan, Jaket atau Topi Hangat. Dan…akhirnya tibalah mereka ditujuan. “Basecamp Camel Station”
Beberapa orang yang mendapat pendampingan dari Badui Gurun Tursina menemui mereka. Hampir semua memberi lebih upah lebih dari yang sebelumnya mereka minta. Bahkan banyak yang memberinya 3 kali lipat atas bantuan dan kebaikan mereka. Barakallahu.
Setelah berkumpul kami berbagi diri naik mobil kecil menuju penjemputan Bus. Tak dinyana, tak disangka. Semua Peserta lain yang tidak ikut hadir menjemput. Isak tangis dan haru berbaur jadi satu. Rasa khawatir dan rindu pada Istri, Suami atau Teman seperjalanan telah mengikat rasa cinta mereka jadi satu. Luar biasa seru!
Perlahan bus kembali ke hotel. Memberi kesempatan Para Pendaki Berusia Senja ini mandi dan berbenar diri. Empat puluh lima menit berlalu. Kami pun semua telah berkumpul dalam Bus yang akan membawa kami kepemberhentian rute program berikutnya. Hotel Movenpic di Sharm El-Sheik, Egypt. Terbayang kenikmatan tidur disana.
Saat bus baru lima menit beranjak. Pemimpin rombongan itu memantau semua anggota groupnya. Seratus persen pendaki Usia senja itu lelap dalam buaian tidurnya. Ada senyum lepas di bibir, sekan kemenangan itu tak kan pernah berakhir.
(Selesai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H