Dalam syair lagu ini nampak bahwa ada pihak yang terluka akibat poligaminya si bapa, yaitu si istri pertama. Secara naluri, memang mana ada sih perempuan yang benar-benar mau dipoligami. Sialnya lagi dalam budaya kita perempuan tak berhak poliandri. Tidak adil bukan?
Beberapa saudara saya adalah pelaku poligami. Uwakku-saat ini usianya 80-an tahun-poligami saat masih muda karena dari istri pertama tidak memiliki keturunan, dan dari istri keduanya kini punya tiga anak. Kelihatannya kehidupan rumah tangga mereka rukun-rukun saja tuh. Saat uwakku kini terbaring lumpuh karena usia tua, ia dirawat oleh dua istrinya secara bergantian. Ini contoh kisah bahagia keluarga poligami.
Lain lagi dengan kisah sepupu perempuanku. Dulu saat baru lulus SMA langsung dipoligami oleh kuwu (kepala desa) desa tetangga. Sayangnya istri tuanya tak rela dan ngamuk-ngamuk melakukan terror. Jadilah rumahtangga sepupuku ini tidak bertahan lama, paling hanya satu bulan saja, lalu bercerai begitu saja.
Saat itu pamanku juga banyak yang mengkritik, kenapa sih merelakan anaknya dipoligami? Padahal belasan pemuda lajang di desaku sudah antri ingin meminang anaknya. Apa pamanku silau dengan harta si kuwu yang selalu datang ke rumahnya dengan mengendarai jeep hardtop, lalu ngasih ini dan itu? Apa silau pula dengan jabatan kuwu-nya?
Apa jawaban pamanku: ieu mah tos takdir, lain ti eta kulawarga urang teh aya turunan nyandung (ini sudah takdir, lagian di keluarga kita ada keturunan poligami).
Hah...berarti gue ada keturunan poligami donk? Wah...wah...wah...
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H